Teknologi dan Perubahan Sosial di Pedesaan
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial di pedesaan, misalnya datangnya kolonialis dengan berbagai ciri kebudayaan yang dibawanya, pola pendidikan, sistem ekonomi, politik pemerintahan dan banyak hal yang tak mungkin dipisahkan dari faktor-faktor individual yang yang berpengaruh dengan secara tanpa disadari mampu mempengaruhi individu lainnya. Faktor yang penting dalam kaitannya dengan pembicaraan ini adalah teknologi, yang sanfat nyata berkaitan dengan perubahan sosial di pedesaan. Hal ini terjadi karena pada pasca nasional ini, selalu dijadikan sasaran utama pembangunan.
Pada masa pembangunan ini, baik itu setelah Indonesia merdeka maupun orde baru, desa secara terus menerus mengalami perubahan sosial. Masyarakat desa menerima dan menggunakan hasil penemuan atau peniruan teknologi khususnyadi bidang pertanian, yang merupakan orientasi utama pembangunan di Indonesia. Penerimaan terhadap teknologi baik itu dipaksakan ataupun inisiatif agen-agen perubah, tidak terelakkan lagi akan mempengaruhi perilaku sosial (social behavior) dalam skala atau derajat yang besar. Lebih dari itu, introduksi teknologi yang tidak tepat mempunyai implikasi terhadap perubahan sosial, yang kemudian akan diikuti dan diketahui akibatnya. Contohnya, ketika teknologi berupa traktor atau mesin penggilingan padi awal gerakan revolusi hijau sekitar tahun 60-an masuk ke desa, banyak buruh tani di pedesaan jadi pengangguran akibat tenaganya tergantikan oleh mesin-mesin traktor.
Keadaan ini menimbulkan perubahan struktur, kultur dan interaksional di pedesaan. Perubahan dalam suatu aspek akan merembet ke aspek lain. Struktur keluarga berubah, di mana buruh wanita yang biasa menumbuk padi sebagai penghasilan tambahan, sekarang hanya tinggal di rumah. Masuknya traktor menyebabkan tenaga kerja hewan menganggur dan buruh tani kehilangan pekerjaannya. Keadaan demikian menyebabkan terjadinya urbanisasi, buruhtani dan pemuda tani lari ke kota mencari pekerjaan. Hal ini kemudian memberikan dampak kepadatan penduduk yang membeludak di perkotaan, lalu menjadikan perputaran ekonomi semakin besar dan desa semakin tertinggal. Namun keadaan ini tidak sampai di sini, ketika mereka kembali lagi ke desa timbul konflik kultur akibat budaya yang terbangun selama berada di kota terbawa ke desa. Dari contoh sederhana ini dapat dibayangkan betapa akibat perubahan suatu aspek dapat merembet ke aspek lainnya.
Perubahan Multidimensional di Pedesaan
Proses pembangunan pedesaan di daerah pertanian tidak lain adalah suatu perubahan sosial. Demikian pula introduksi teknologi ke pedesaan yang bermula dari kebijakan orde baru membebek pada isu global bernama revolusi hijau menimbulkan prubahan sosial dalam berbagai dimensi. Masuknya traktor atau mesin penggiling padi ke pedesaan menyebabkan berkurangnya peranan buruh tani dalam pengelolaan tanah dan berkurangnya peranan wanita dalam ekonomi keluarga di pedesaan.
Teknologi yang masuk ke desa tersebut banyak dikuasai oleh golongan ekonomi kelas atas dan menengah di desa. Golongan tersebut dengan pendirinya akan menentukan pasaran kerja di desa. Keadaan demikian akan menggeser peranan pemilik ternak kerbau atausapi sebagai sumber tenaga kerja pengolah sawah.
Masuknyan teknologi perangkat usaha ternak sapi perah, menggeser peternak tradisional yang hanya memiliki satu sampai tiga ekor ternak. Perangkat teknologi tersebut merubah sistem beternak, dari ekonomi keluarga ke ekonomi komersial, dengan jumlah ternak yang banyak dan dikuasai oleh golongan ekonomi kuat di desa atau di kota yang menanamkan modalnya di desa. Perangkat teknologi sapi perah seperti mixer makanan ternak, cooling unit susu, sistem pengawetan dan lain-lain, memungkinkan orang untuk menangani jumlah ternak sapi lebih banyak. Hal ini memberikan bukti bahwa teknologi mengakibatkan meningkatnya ukuran usaha tani di pedesaan.
Belum lagi kebijakan-kebijakan sederhana yang ada di pedesaan. Penunjukan kepala desa sebagai ketua LKMD misalnya, hal ini mengakibatkan pengaruh Negara akan semakin dominan yang notabene tidak terlalu paham dengan kondisi sosial masyarakat desa setempat. Pola pengaruh ini bermula dari penggunaan kekuasaan yang terlalu berlebih. Dengan dalih pembangunan, para kusir delman tergeser oleh adanya transportasi angkutan pedesaan. Struktur ekonomi kembali dikuasai oleh orang-orang tertentu saja. Disini terjadi perubahan peranan LKMD, yang sebelumnya sebagai akumulasi aspirasi masyarakat berubah menjadi wadah aspirasi penguasa.
Masuknya teknologi ke desa, seperti halnya mekanisasi dalam bidang pertanian, juga mempengaruhi organisasi dan manajemen usaha tani. Mekanisasi pertanian menuntut adanya keterampilan baru bagi para pekerja. Tuntutan tersebut, dengan sendirinya membutuhkan modal yang besar sehingga melibatkan bank dan pemodal lainnya. Pengadaan modal untuk pengembangan industri atau mekanisasi di desa, ditunjang oleh kebijaksanaan pemerintah dalam bentuk pemberian pinjaman berupa kredit. Kebijaksanaan ini meransang timbulnyakeberanian untuk meminjam kredit dalam jumlah besar, tanpa diimbangi oleh sistem organisasi dan manajemen yang memadai, sehingga muncul dimana-mana tunggakan kredit, seperti bimas atau industri kecil menuggak.
Dengan terjadinya perubahan structural tersebut, tidak mampu dinafikan bahwa budaya atau kultur masyarakat pun ikut berubah. Seperti yang telah dijelaskan secara teoritis perubahan kultur sosial menyangkut segi-segi non material, sebagai akibat penemuan batau medernisasi. Artinya terjadi integrasi atau konflik unsur baru dengan unsur lama sampai terjadinya sintesis atau penolakan sama sekali.
Masuknya teknologi atau adanya mekanisasi di desa mengakibatkan banyaknya pertambahan jumlah penduduk yang menganggur, transformasi yang tidak jelas, dan pola komunikasi yang sejalan dengan perubahan komunitas di desa. Kesemuanya itu merupakan inovasi, baik itu hasil penemuan dalam berpikir atau peniruan yang dapat menimbulkan difusi atau integrasi. Peristiwa-peristiwa perubahan kultural meliputi “cultural lag”, “cultural survival”, “cultural conflict” dan ”cultural shock”.
Hal di atas juga sangat besar pengaruhnya terhadap interaksi, sebab melalui teknologi aktivitas kerja menjadi lebih sederhana dan serba cepat. Hubungan antara sesame pekerja menjadi bersifat impersonal, sebab setiap pekerja bekerja menurut keahliannya masing-masing (spesialis). Hal ini berbeda dengan kegiatan pekerjaan yang tanpa teknologi, tidak bersifat spesialis dimana setiap orang dapat saling membantu pekerjaan, tidak dituntut keahlian tertentu.
Teknologi berkaitan dengan pembatasan pekerjaan yang bersifat kerjasama, sehingga dapat menimbulkan konflik pada komunitas pertanian. Adanya teknologi, praktek-praktek saling membantu menjadi terhenti dan kerjasama informal menjadi berkurang. Proses mekanisasi di daerah pertanian menyebabkan hubungan bersifat kontrak formal. Tenaga kerja berkembang menjadi tenaga kerja formal yang kemampuandan keahliannya terbatas. Lambat laun di pedesaan akan muncul organisasi formal tenaga kerja sebagai akibat terspesialisasi dan meningkatnya pembagian kerja. Hal inilah yang oleh Durkheim dinamakan solidaritas organik (organic solidarity) yang lebih sering terjadi pada komunitas perkotaan.
Masuknya teknologi ke desa menyebabkan kontak sosial menjadi tersebar melalui berbagai media dan sangat luas, melauli perdagangan, pendidikan, agama dan sebagainya. Akibat pola hubungan yang Yng bersifat impersonal, maka ketidak setujuan atau perbedaan pendapat sulit diselesaikan secara kekluargaan, tetapi harus melalui proses peradilan. Hal ini tampak dengan adanya kebijaksanaan jaksa masuk desa, dimana sebelumnya konflik di desa cukup diselesaikan dengan oleh ketua kampong atau sesepuh desa.
Pergeseran Nilai Tradisional ke Nilai Modern
Masyarakat modern dengan nilai dan tujuan ekonomi yang lebih menonjol cenderung memandang sumberdaya pedesaan sebagai suatu komoditas yang secara ekonomi dapat meningkatkan nilai finansial bagi kelompok tertentu, dimana produktivitas dalam rentang waktu tertentu merupakan pertimbangan utama. Sebaliknya masyarakat tradisional dan para industri memandang sumber daya yang sama sebagai milik ulayat yang harus dijaga kelestariannya untuk kepentingan jangka panjang. Bagi mereka aspek pemerataan lebih penting dari produktivitas.
Kelembagaan tradisional umumnya lebih memperhatikan aspek pelestarian untuk kepentingan anak cucu mereka di masa mendatang. Namun munculnya organisasi ekonomi yang disertai nilai-nilai barat perlahan-lahan mengubah nilai radial kebersamaan kearah nilai finansial yang kurang mempertimbangkan aspek pemerataan.
Di lain pihak kalangan petani yang memiliki wawasan lebih luas dan terbuka menerima peubahan ini sebagai upaya untuk menuju kepada kecenderungan mencari sistem yang lebih terbuka sebagai jalan keluar terbaik bagi kegiatan produksi yang tengah dijalani. Kalangan ini cenderung mempertahankan usaha taninya dengan mengandalkan diri sepenuhnya (atau sebagian) kepada ketersedian input eksternal. Bagi mereka moderniasasi dapat membuka peluang inovasi, dan inovasi yang selaras dengan kebutuhan pertanian adalah inovasi yang berkaitan erat dengan input industri dan proses industrialisasi serta pemasaran yang baik.
Inovasi seperti ini cenderung menuntut hubungan yang lebih kuat dengan sistem lain diluar usaha tani setempat serta mengurangi ketergantungan terhadap hubungan internal. Sistem kerja tanpa imbalan berganti menjadi sistem upah (harian, borongan dan lain-lain). Saling ketergantungan akan kebutuhan tenaga menjadi berkurang dan hubungan dengan sumberdaya dari luar sistem usaha tani lebih bersifat ekonomis, dari pada bersifat hubungan radial seperti sebelumnya. Munculnya organisasi ekonomi yang disertai nilai-nilai Barat perlahan-lahan mengubah nilai radial kearah finansial.
Kondisi di atas bukan saja karena perbedaan persepsi terhadap tujuan pengembangan masyarakat pedesaan, namun juga disebabkan oleh perbedaan nilai dan norma sosial dan ekonomi yang dalam proses globalisasi dibawa dari nilai Barat yang lebih berorentasi ke arah nilai finansial diukur dengan peningkatan pendapatan. Sedangkan sukses dan kesejahteraan dalam nilai tradisional lebih bersifat komunal dan tercermin dari nilai-nilai lokal antara lain berupa tepo-sliro dan kerukunan individu.
Kamaluddin (1983) menyebutkan beberapa sikap tradisional dalam masyarakat yang tidak sesuai dengan keperluan pembangunan dan modernisasi. Diantaranya ialah :
(1) Sikap lambat menerima perubahan atau hal-hal yang baru sungguhpun akan menguntungkan mereka.
(2) Sikap lebih suka mencari jalan yang paling mudah dan cepat mendatangkan hasil sungguhpun tidak begitu besar, sebaliknya kurang berani memikul resiko pada usaha-usaha yang kemungkinan keuntungannya lebih besar dan sifatnya jangka panjang.
(3) Sikap kurang bertanggung jawab dalam tugas pekerjaan serta mudah untuk tidak menepati janji dalam hubungan-hubungan ekonomi.
Pada umumnya sikap-sikap hidup yang demikian itu lebih berakar dan lebih banyak terdapat di kalangan masyarakat pertanian tradisional. Dan semakin berkembang kehidupan ekonomi serta makin jauh pengaruh lingkungan alam tradisional, maka sikap hidup yang demikian itu telah semakin berkurang.
Namun demikian harus diingat bahwa munculnya sikap tersebut bukan merupakan indikasi bahwa petani tradisional tidak rasional. Sebaliknya justru kita sering merasa lebih pintar sehingga kita tidak berusaha memahami petani dari sudut pandang mereka sendiri. Apa yang dikemukan Kamaluddin di atas memang benar merupakan potret umum petani kita. Namun sebenarnya sikap mereka juga dilandasi pertimbangan rasional. Apa yang sering luput dalam pengamatan para ahli umumnya adalah bahwa petani kita juga memperhatikan aspek keamanan pangan dalam kebijakan produksi mereka, sementara kebanyakan ahli kita hanya memperhitungkan pada aspek finansial komersilnya saja. Sikap menghindari resiko (risk aversion) misalnya, ini merupakan hal lumrah bagi petani yang penguasaan resourcenya sangat terbatas. Bila gagal mereka tidak memiliki alternatif yang lain untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sementara sebagian ahli hanya melihat bahwa potensi produksinya besar, namun resiko dan pertimbangan keamanan pangan luput dari perhatian mereka.
Petani kita memang lambat menerima inovasi baru. Hal itu sebetulnya bisa dipahami dalam kaitan dengan penjelasan di atas. Mereka ingin memperoleh tingkat kepastian yang lebih tinggi bahwa hal baru tersebut memang menguntungkan. Dalam bisnis besarpun sesungguhnya pertimbangan ini juga dilakukan, besarnya resiko dan ketidakpastian merupakan faktor yang harus dipertimbangkan sebagai nilai negatif terhadap suatu usaha atau proyek yang akan dijalankan.
Sementara sifat yang ketiga tampaknya hal ini tidak merupakan sifat spesifik petani. Sifat ini juga dengan mudah kita jumpai pada pengusaha-pengusaha besar dalam berbagai bidang. Ini lebih merupakan karakteristik personal orang per orang daripada merupakan atribut umum yang melekat pada petani.
Sebagai kesimpulan, memang petani kita hidup sederhana dan bersahaja, namun salah sekali anggapan yang mengira bahwa mereka bodoh, tidak terampil dan tidak berpengetahuan. Seungguhnya mereka berpengetahuan dan terampil pada tingkat yang sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai refleksi dari kesadaran mereka akan kualitas dan kuantitas sumberdaya yang mereka kuasai. Tidak ada bukti yang kuat yang menunjukkan bahwa sikap hidup mereka tersebut dapat menghambat kemajuan, pembangunan dan modernisasi. Sebaliknya, kegiatan pembangunan justru akan terhambat kalau pelaksanaannya tidak concern dengan sifat, sikap dan potensi spesifik di lokasi.
Transformasi Struktur Pertanian di Pedesaan
Pembangunan pertanian Indonesia dalam kurun waktu 1990an sesungguhnya telah mengacu pada pendekatan agribisnis khususnya bidang pangan. Dalam arti telah melihat pentingnya keterkaitan beberapa kegiatan yang saling menunjang, walaupun tidak selalu dilakukan secara integral dalam suatu sistem. Pembangunan pabrik pupuk, pengembangan koprasi, penemuan bibit unggul, penanganan pasca panen adalah beberapa contoh kegiatan pembangunan yang memiliki keterkaitan erat dengan kegiatan usaha tani. Hal ini kemudian diwujudkan dengan mengembangkan dan melaksanakan berbagai program pembangunan pertanian. Salah satu yang dinilai paling sukses adalah Bimas padi, dengan berbagai tahap perkembangan program kegiatan dari pilot proyek hingga Supra Insus.
Namun demikian pembangunan petanian saat ini sangat terkonsentrasi pada pembangunan usaha tani (on farm). Hal ini dapat dimengerti mengingat tahap perkembangan kegiatan usaha tani Indonesia yang baru akan beranjak dari tahap subsisten menuju kegiatan yang terkait dengan pasar. Di samping itu kebutuhan yang besar akan produk pertanian, khususnya bahan pangan menyebabkan reorientasi kegiatan pertanian memang perlu dititikberatkan pada peningkatan produksi. Kondisi ini kemudian tercermin pada pembangunan pedesaan pada umumnya. Dimensi pengembangan usaha sangat dominan baik sarana dan prasarana, pembangunan kelembagaan, dan bahkan pembangunan organisasi desa.
Proses pembangunan pertanian dengan strategi peningkatan produksi telah mencapai sasaran yakni petani Indonesia mempunyai kemampuan untuk meningkatkan produksi dengan baik sehingga tercapai swasembada beras sebagai bahan pangan utama masyarakat. Tetapi terjadi masalah baru berupa kelebihan produksi (over production) yang kemudian menimbulkan kelebihan penawaran (over supply) dan akhirnya harga rendah serta nilai tukar yang merugikan petani. Dilain pihak harga input-input pertanian dan kebutuhan konsumsi mengalami peningkatan harga, sehingga petani mengalami tekanan finansial yang berat.
Secara teoritis produksi bahan baku yang tinggi dari kegiatan usaha tani kemudian menciptakan peluang usaha dalam bidang industri, penanganan pasca panen, industri pengolahan, dan pemasaran hingga tingkat eceran. Hal ini didukung data pada tahun 1988-1993, misalnya ; ekspor produk pertanian dalam bentuk bahan mentah tumbuh sekitar 5,3% setahun, sedangkan ekspor produk industri tumbuh sekitar 17,2%. Namun demikian, jika dilihat dari jenis komoditas yang dimaksudkan kedalam produk industri, ekspor plywood tumbuh sekitar 28,1%, kayu olahan lain 21,7%, karet olahan 10,5%, minyak sawit 21,7%, furniture dari rotan, kayu atau bambu 79,9%, serta kertas dan produk kertas 75,5% dimana produk-produk tersebut tergolong sebagai produk agribisnis.
Perlu dipertimbangkan tinjauan beberapa peneliti, bahwa perubahan struktur PDB tidak seiring dengan perubahan struktur penyerapan tenaga kerja yang menjadi masalah utama dalam hal proses transformasi struktural perekonomian Indonesia. Rendahnya daya serap tenaga kerja sektor industri, sektor yang paling pesat pertumbuhannya sangat memberatkan sektor pertanian. Pertama, oleh karena sifatnya yang sangat akomodatif terhadap penyarapan tenaga kerja, sektor pertanian terpaksa menampung tenaga kerja melebihi kapasitasnya, sehingga menanggung beban pengangguran yang sangat tinggi. Kedua, perubahan struktur PDB yang tidak seiring dengan perubahan struktur penyerapan tenaga kerja telah manimbulkan kesenjangan pendapatan sektoral yang sangat lebar. Ketiga, tingkat pengangguran yang tinggi dan redahnya produktivitas tenaga kerja merupakan penyebab utama tingginya proporsi penduduk yang miskin di sektor pertanian dan di pedesaan pada umumnya.
Belajar dari pengalaman ekonomi Indonesia sendiri, maupan negara-negara lain, transformasi struktural harus dapat diarahkan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkesinambungan sekaligus menunjang usaha penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian transformasi struktural yang diharapkan terjadi adalah transformasi sturktural yang seimbang.
Proses transformasi struktural ditentukan oleh pemilihan konsep industrialisasi. Pemilihan konsep industrialisasi ini sebenarnya tidak bisa langsung meniru dari negara lain yang dianggap berhasil, karena bagaimanapun juga banyak sifat-sifat spesifik masyarakat yang menjadi variabel tersembunyi yang tidak sama dengan sifat-sifat masyarakat dimana konsep industrialisasi tersebut telah berhasil diterapkan dengan baik. Bagi Indonesia, industrialisasi seyogyanya harus mendasarkan pada pengembangan kemampuan untuk memenuhi permintaan domestik dengan jenis, kualitas dan kuantitas produk yang sesuai sehingga menguasai pasar.
Pengembangan agroindustri adalah salah satu contoh bentuk kegiatan yang berorientasi pada penguasaan pasar domestik. Pengembangan agroibdustri ini bukan hanya bagi kepentingan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga bagi kepentingan penangkatan kesempatan kerja dan peningkatan ekspor. Secara menyeluruh merupakan wujud transformasi struktural ekonomi Indonesia, yaitu dari “on farm agribusiness” menjadi “off farm agribusiness” dengan agroindustri sebagai “leading sector”. Oleh sebab itu strategi transformasi perlu diarahkan agar pengembangan kegiatan “off farm” juga dapat dinikmati hasilnya oleh para petani dan masyarakat pedesaan yang saat ini telah memberi sumbangan besar pada kegiatan “on farm”.
0 komentar:
Posting Komentar