Nampaknya tidak berlebihan jika kita katakan bahwa Mie Aceh menyimpan
misteri kelezatan yang luar biasa. Karena sensasi kelezatan Mie Aceh
sudah lama melanda wilayah nusantara. Hal ini terbukti dengan banyaknya
resto panganan nusantara yang kerap menjadikan Mie Aceh sebagai menu
andalannya.
Ternyata, pemandangan tersebut tidak hanya terdapat di kota-kota
nusantara saja. Malah, telah mulai menyebar ke berbagai kota dunia
lainnya. Taroklah seperti, Malaysia, Singapore, Thailand, Arab Saudi,
Mesir, Jerman dan Amerika. Umumnya, panganan Mie Aceh di negara-negara
tersebut, awalnya diperkenalkan langsung oleh masyarakat Aceh yang
berdomisli di negeri itu. Kemudian, karena rasanya dinilai unik,
mendorong beberapa resto Asian Food di negara tersebut mengadopsi menu
istimewa Mie Aceh, lalu menjadikannya bagian dari menu suguhan mereka di
resto tersebut.
Sayangnya, setelah penulis menyicipi langsung beberapa suguhan Mie Aceh
di beberapa resto tanah air, baik di Bandung, Bogor dan Jakarta. Sebagai
pencinta berat kuliner khas Aceh yang satu ini. Penulis sangat kecewa.
Karena, hampir rata-rata resto-resto tersebut menyuguhkan racikan bumbu
asal jadi, atau istilah kerennya Mie Aceh dengan bumbu kanibalisme.
Sehingga sensasi kelezatan asli sama sekali tidak tersentuh lagi.
Berdasarkan pengalaman kurang puas inilah, sehingga memaksa penulis
untuk melakukan kunjungan spesial, dalam rangka menyicipi sensasi
kelezatan kuliner Aceh yang satu ini, langsung ke negeri asalnya yaitu
Serambi Mekkah.
Tepat jam 21.35 WIB minggu lalu, penulis mendarat di lapangan udara
Sultan Iskandar Muda Banda Aceh, yaitu bandara kebanggaan masyarakat
Aceh. Ternyata di sana sudah ada dua orang sobat Kompasianer yang
menyambut, kemudian langsung menuju ke hotel yang telah dibooking
sebelumnya. 30 menit kemudian, setelah beristirahat beberapa saat.
Petualangan menjelajahi kuliner Aceh pun di mulai. Suasana di Banda Aceh
memang termasuk unik, karena sebagian besar kedai kopi, hampir
rata-rata buka selama 24 jam. Sehingga membuat suasana malam pun
terlihat hidup dan semarak. Apalagi pada setiap kedai kopi, juga
menyuguhkan aneka ragam menu panganan khas Aceh. Ya sudah, karena kami
pun sedang berburu Mie Aceh, akhirnya memilih sebuah kedai kopi yang
sangat terkenal dan selalu ramai dikunjungi pelanggan di daerah Simpang
Surabaya. Setelah memesan 3 porsi Mie Aceh rebus spesial, plus bandrek
kacang, lalu kami pun sabar menanti order tersebut.
Dari kejauhan kami dapat mencium aroma tumis bumbu Mie Aceh yang sangat
khas dan menggigit. Sehingga lidah pun semakin tergoda untuk segera
menyicipinya. Ternyata memang maknyos….! Dengan rasa yang luar biasa,
karena ditaburi racikan bumbu-bumbu spesial yang tepat dan beraroma khas
serta lezat. Tanpa kami sadari, masing-masing kami telah menghabiskan
dua porsi Mie Aceh rebus spesial, luar biasa ! Apalagi didampingi dengan
minuman hangat bandrek kacang wow…., kebetulan malam itu udara kota
Banda Aceh terasa lebih sejuk, sehingga betul-betul menjadikan suasana
sangat klop dah.! Tanpa terasa, jarum jam pun telah menunjukkan 01.30,
lalu kami pun bergegas meninggalkan tempat tersebut, yang terlihat
semakin ramai saja dikunjungi oleh pelanggan. Padahal malam semakin
larut ckckckck…kerenn.
Keesokan paginya, penulis sudah berencana untuk menyebrang ke kota
Takengon. Yaitu ibukota Kabupaten Aceh Tengah. Katanya di kota tersebut
panganan Mie Aceh lebih dahsyat lagi. Terutama ramuan bumbu-bumbunya
yang sangat khas, karena disesuaikan dengan kondisi daerah yang berudara
sejuk, sebab berada pada ketinggian 2250m di atas permukaan laut.
Ternyata, sesampai di kota sejuk tersebut, penulis disambut dengan ramah
oleh seorang Kompasianer senior yaitu Pak Syukri. Akhirnya,
penjelajahan pun semakin menyenangkan. Tujuan utama adalah menyicipi Mie
Aceh khas Aceh Tengah di warung Bang Adek, yang rasanya luar biasa, di
samping harganya pun sangat-sangat murah. Satu porsi Mie Aceh rebus
daging, hanya dipatok seharga Rp. 8000 saja. Sangat jauh berbanding
dengan harga yang dijual di ibukota.
Berakhir dari warung Bang Adek. Eeehh..ternyata penulis langsung dibawa
oleh Pak Syukri ke sebuah kota kecil, yang letaknya sedikit di luar kota
Takengon, pastinya di sebuah tebing gunung. Lalu, kami pun berhenti di
sebuah coffee shop milik Haji Yusrin, yang terkenal sebagai Coffee
Expert di daerah itu. Memang benar, segelas kopi Americano dari biji
kopi super premium Gayo arabica, hasil racikan Haji Yusrin lezatnya
aduhai… Maaf kata, sederetan coffee shop yang berada di wilayah Thamrin
pun belum sebanding dengan apa yang disuguhkan Haji Yusrin kapada kami.
Memang Gayo menyimpan rahasia yang luar biasa. Apalagi jika menyangkut
dengan persoalan kopi. Wow…inilah dia gudang kopi termasyhur di dunia
dengan julukan Gayo Specialty Coffee. Di mana, selama 350 tahun terus
dicakar oleh dominasi kolonialisme Belanda, yang seakan enggan bergerak
dari negeri antara itu walau hanya sejengkal saja.
Karena malampun sudah semakin menggulita, apalagi udara dingin datang
semakin menusuk pori-pori kulit, kami pun bergegas kembali dengan
membawa pengalaman petualangan kuliner Mie Aceh dan Kopi Gayo yang
sulit untuk dilupakan, karena sensasinya yang luar biasa.
* Oleh: Masykur A. Baddal
* Oleh: Masykur A. Baddal