15 April 2013

BIREUEN, IBUKOTA NEGARA INDONESIA KE 3

“Walau hanya seminggu, Bireuen pernah menjadi ibukota RI yang ketiga setelah Yogyakarta jatuh ketangan penjajah dalam agresi kedua Belanda. Namun sayangnya fakta sejarah itu tidak tercatat dalam sejarah Kemerdekaan RI. Sebuah benang merah sejarah yang terputus.”

Sekilas, tidak ada yang terlalu istimewa di Pendopo Bupati Kabupaten Bireuen tersebut. Hanya sebuah bangunan semi permanen yang berarsitektur rumah adat Aceh. Namun siapa nyana, dibalik bangunan tua itu tersimpan sejarah perjuangan kemerdekaan RI yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Malah, di sana pernah menjadi tempat pengasingan presiden Soekarno.

Kedatangan presiden pertama RI itu ke Bireuen memang sangat fenomenal. Waktu itu, tahun 1948, Belanda melancarkan agresi keduanya terhadap Yogyakarta. Dalam waktu sekejap ibukota RI kedua itu jatuh dan dikuasai Belanda. Presiden pertama Soekarno yang ketika itu berdomisili dan mengendalikan pemerintahan di sana pun harus kalang kabut. Tidak ada pilihan lain, presiden Soekarno terpaksa mengasingkan diri ke Aceh. Tepatnya di Bireuen, yang relatif aman. Soekarno hijrah ke Bireuen dengan menumpang pesawat udara Dakota. Pesawat udara khusus yang dipiloti Teuku Iskandar itu, mendarat dengan mulus di lapangan terbang sipil Cot Gapu pada Juni 1948.

Kedatangan rombongan presiden di sambut Gubernur Militer Aceh, Teungku Daud Beureu’eh, atau yang akrab disapa Abu Daud Beureueh, Panglima Divisi X, Kolonel Hussein Joesoef, para perwira militer Divisi X, alim ulama dan para tokoh masyarakat. Tidak ketinggalan anak-anak Sekolah Rakyat (SR) juga ikut menyambut kedatangan presiden sekaligus PanglimaTertinggi Militer itu. Malam harinya di lapangan terbang Cot Gapu diselenggarakan Leising (rapat umum) akbar. Presiden Soekarno dengan ciri khasnya, berpidato berapi-api, membakar semangat juang rakyat di Keresidenan Bireuen yang membludak lapangan terbang Cot Gapu. Masyarakat Bireuen sangat bangga dan berbahagia sekali dapat bertemu mukadan mendengar langsung pidato presiden Soekarno tentang agresi Belanda 1947-1948 yang telah menguasai kembali Sumatera Timur (Sumatera Utara) sekarang.
Kantor Pusat Pemerintahan Bireuen
Selama seminggu Presiden Soekarno berada di Bireuen aktivitas Republik dipusatkan di Bireuen. Dia menginap dan mengendalikan pemerintahan RI di rumah kediaman Kolonel Hussein Joesoef, Panglima Divisi X Komandemen Sumatera, Langkat dan tanah Karo, di Kantor Divisi X (Pendopo Bupati Bireuen sekarang). Jelasnya, dalam keadaan darurat, Bireuen pernah menjadi ibukota RI ketiga, setelah jatuhnya Yogyakarta ke dalam kekuasaan Belanda. Sayangnya catatan sejarah ini tidak pernah tersurat dalam sejarah kemerdekaan RI.

Memang diakui atau tidak, peran dan pengorbanan rakyat Aceh atau Bireuen pada khususnya dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Republik ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Perjalanan sejarah membuktikannya. Di zaman Revolusi 1945, kemiliteran Aceh dipusatkan di Bireuen.Di bawah Divisi X Komandemen Sumatera Langkat dan Tanah Karo dibawah pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef berkedudukan di Bireuen. Pendopo Bupati Bireuen sekarang adalah sebagai kantor Divisi X dan rumah kediaman Panglima Kolonel Hussein Joesoef. Waktu itu Bireuen dijadikan sebagai pusat perjuangan dalam menghadapi setiap serangan musuh. Karena itu pula sampai sekarang, Bireuen mendapat julukan sebagai “Kota Juang”.
Kota Bireuen
Kemiliteran Aceh yang sebelumnya di Kutaradja, kemudian dipusatkan di Juli Keude Dua (Sekitar tiga kilometer jaraknya sebelah selatan Bireuen-red) di bawah Komando Panglima Divisi X, Kolonel Hussein Joesoef, yang membawahi Komandemen Sumatera, Langkat dan Tanah Karo. Dipilihnya Bireuen sebagai pusat kemiliteran Aceh, lantaran letaknya yang sangat strategis dalam mengatur strategi militer untuk memblokade serangan Belanda di Medan Area yang telah menguasai Sumatera Timur. Pasukan tempur Divisi X Komandemen Sumatera yang bermarkas di Juli Keudee Dua, Bireuen, itu silih berganti dikirim ke Medan Area. Termasuk diantaranya pasukan tank dibawah pimpinan Letnan Yusuf Ahmad, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Letnan Yusuf Tank. Sekarang dia sudah Purnawirawan dan bertempat tinggal di Juli Keude Dua, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen. Menurut Yusuf Tank, waktu itu pasukan Divisi X mempunyai puluhan unit mobil tank. Peralatan perang itu merupakan hasil rampasantank tentara Jepang yang bermarkas di Juli Keude Dua.

Dengan tank-tank itulah pasukan Divisi X mempertahankan Republik ini di Medan Area pada masa agresi Belanda pertama dan kedua tahun 1947-1948. Juli Keude Dua juga memiliki nilai historis kemiliteran penting dalam mempertahakan Republik. Terutama di zaman Revolusi 1945. Pendidikan Perwira Militer (Vandrecht), yakni untuk mendidik perwira-perwira yang tangguh di pusatkan di Juli Keude Dua.

Menurut kronolosgi sejarah yang di ceritakan oleh Yusuf Tank, tentang peristiwa sukaduka perjuangannya masa silam. Salah satu diantaranya tentang peranan Radio Rimba Raya milik DivisiX Komandemen Sumatera yang mengudara ke seluruh dunia dalam enam bahasa, Indonesia, Inggris, Urdu, Cina, belanda dan bahasa Arab. Dikatakan, “Radio Rimba Raya mengudara ke seluruh dunia 20 Desember 1948 untuk memblokade siaran propaganda Radio Hervenzent Belanda di Batavia yang yang menyiarkan bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi. Dalam siaran bohong Radio Belanda seluruh wilayah nusantara sudah habis dikuasai Belanda. Padahal, Aceh masih tetap utuh dan tak pernah berhasil dikuasai Belanda.

Dengan mengudaranya Radio Rimba Raya ke seluruh dunia, masyarakat dunia sudah mengetahui secara jelas bahwa Indonesia sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Karena itu, saat kedatangan Presiden Soekarno ke Bireuen bula n Juni 1948, dalam pidatonya yang berapi-api di lapangan terbang Cot Gapu, Soekarno mengatakan, Aceh yang tidak mampu dikuasai Belanda dijadikan sebagai Daerah Modal Republik Indonesia. Selama seminggu Presiden Soekarno berada di Bireuen, kemudian bersama Gubernur Militer Aceh Abu Daud Beureueh berangkat ke Kutaradja (Banda Aceh). Di Kutaradja Gubernur Milter Aceh mengundang seluruh saudagar Aceh di hotel Aceh. Dia menyampaikan permintaan Presiden Soekarno agar rakyat Aceh menyumbang dua pesawat terbang untuk Republik.

Bireuen Pada Jaman Kerajaan

Kabupaten Bireuen dalam catatan sejarah dikenal sebagai daerah Jeumpa. Dahulu Jeumpa merupakan sebuah kerajaan kecil di Aceh. Menurut Ibrahim Abduh dalam Ikhtisar Radja Jeumpa, Kerajaan Jeumpa terletak di di Desa Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen.

Secara geografis, kerajaan Jeumpa terletak di daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Raja Jeumpa adalah putra dari Abdullah dan Ratna Kumala. Abdullah memasuki kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang datang dari India belakang untuk berdagang. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa.

Abdullah kemudian diterima oleh penduduk pribumi dan disediakan tempat tinggal. Kesempatan itu digunakan oleh Abdullah untuk memulai menjalankan misinya sebagai Da’i Muslim. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima agama Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah.

Abdullah akhirnya dinobatkan sebagai menjadi raja dan Ratna Keumala sebagai permaisuri di negeri Blang Seupeung tersebut. Raja Abdullah kemudian menamakan negeri yang dipimpinnya itu dengan nama “Jeumpa”. Sesuai dengan nama negeri asalnya yang bernama “Kampia”, yang artinya harum.

Raja Abdullah mengatur strategi keamanan kerajaan dengan mengadakan latihan perang bagi angkatan darat dan laut. Saat itu angkatan laut merupakan angkatan perang yang cukup diandalkan, yang dipimpin oleh seorang Laksamana Muda.

Raja Abdullah meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri dan dua orang anak, yaitu Siti Geulima dan Raja Jeumpa. Setelah Raja Jeumpa dewasa dia membangun benteng pertahanan di tepi Pantai, yaitu di Laksamana (sekarang Desa Lhakmana-red). Raja Jeumpa kemudian memperistri seorang putri anak Raja Muda yang cantik jelita, bernama Meureundom Ratna, dari Negeri Indra ( kira-kira daerah Gayo). Menurut rentetan sejarah, Meureudom Ratna masih ada hubungan keluarga dengan putri Bungsu.

Kakak Raja Jeumpa, Siti Geulima dipinang oleh seorang Raja di Darul Aman yang bernama Raja Bujang. Maka atas dasar perkawinan itu antara Kerajaan Jeumpa dengan Darul Aman ( sekarang Peusangan Selatan ) terjalin hubungan lebih erat. Sesuai dengan namanya “Darul Aman” yakni negeri yang aman sentosa.

Kerajaan Jeumpa pernah diperangi oleh pasukan Cina, Thailand dan Kamboja. Mereka pernah menduduki benteng Blang Seupeung. Disebutkan, peperangan tersebut terjadi karena Raja Cina menculik permaisuri Raja Jeumpa yang cantik jelita, Meureudom Ratna. Permaisuri Raja Jeumpa itu berhasil mereka bawa kabur sampai ke Pahang (Malaysia). Namun kemudian Meureudoem Ratna berhasil dibawa kembali ke Blang Seupeueng. Setelah Panglima Prang Raja Kera yang berasal dari Ulee Kareung , Samalanga, berhasil mengalahkan Raja Cina. Pada awal tahun 1989 dua pemuda Cina, laki – laki dan perempuan mengunjungi makan Raja Jeumpa. Kepada sesepuh desa mereka mengatakan berasal dari Indo Cina, Kamboja. Mereka sengaja datang ke lokasi kerajaan Jeumpa untuk mencari tongkat nenek moyangnya zaman dahulu. Konon tongkat emas Raja Cina tersebut jatuh dan hilang saat menyerbu kerajaan Jeumpa, yang kemudian ditemukan oleh Raja Jeumpa.

Tidak diketahui persis riwayat berakhirnya masa kejayaan kerajaan Jeumpa. Begitu juga dengan penyebab mangkatnya raja Jeumpa. Namun dari cerita turun-temurun, masyarakat di sana meyakini pusara Raja Jeumpa terdapat di atas sebuah bukit kecil setinggi 40 meter, yang ditumbuhi pohon-pohon besar yang sudah berumur ratusan tahun. Makam raja itu hanya ditandai dengan batu-batu besar, yang berlokasi di dusun Tgk Keujruen, Desa Blang Seupeueng. Sedangkan makam isterinya, Maureudom Ratna, berada di Desa Kuala Jeumpa.

Bireuen Pada Jaman Kolonial (Pra Kemerdekaan Indonesia)

Kerajaan-kerjaan kecil di Aceh tempo dulu termasuk Jeumpa mengalami pasang surut. Apalagi setelah kehadiran Portugis ke Malaka pada tahun 1511 M yang disusul dengan kedatangan Belanda. Secara de facto Belanda menguasai Aceh pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menduduki benteng Kuta Glee di Batee Iliek, di bagian barat Kabupaten Bireuen.

Kemudian dengan Surat Keputusan Vander Guevernement General Van Nederland Indie tanggal 7 September 1934, Aceh dibagi menjadi enam Afdeeling (kabupaten) yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen. Salah satunya adalah Afdeeling Noord Kust van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang dibagi dalam tiga Onder Afdeeling (kewedanan).

Kewedanan dikepalai oleh seorang Countroleur (wedana) yaitu: Onder Afdeeling Bireuen (kini Kabupaten Bireuen), Onder Afdeeling Lhokseumawe (Kini Kota Lhokseumawe) dan Onder Afdeeling Lhoksukon (Kini jadi Ibu Kota Aceh Utara).

Selain Onder Afdeeling tersebut, terdapat juga beberapa daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap daerah dan rakyatnya, yaitu Ulee Balang Keureutoe, Geureugok, Jeumpa dan Peusangan yang diketuai oleh Ampon Chik.
Pada masa pendudukan Jepang istilah Afdeeling diganti dengan Bun, Onder Afdeeling diganti dengan Gun, Zelf Bestuur disebut Sun. Sedangkan mukim disebut Kun dan gampong disebut Kumi. 

Bireuen Pada Pasca Kemerdekaan RI

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Aceh Utara disebut Luhak, yang dikepalai oleh Kepala Luhak sampai tahun 1949. Kemudian, setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949, dibentuklah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan beberapa negara bagian. Salah satunya adalah Negara Bagian Sumatera Timur, Aceh dan Sumatera Utara tergabung didalamnya dalam Provinsi Sumatera Utara.

Kemudian melalui Undang-Undang Darurat nomor 7 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom setingkap kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, maka dibentuklah Daerah Tingkat II Aceh Utara.
Keberadaan Aceh dibawah Provinsi Sumatera Utara menimbulkan rasa tidak puas masyarakat Aceh. Para tokoh Aceh menuntut agar Aceh berdiri sendiri sebagai sebuah provinsi. Hal ini juga yang kemudian memicu terjadinya pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1953.

Pemberontakan ini baru padam setelah keluarnya Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1957 tentang pembentukan Provinsi daerah Istimewa Aceh dan Aceh Utara sebagai salah satu daerah Tingkat dua, Bireuen masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara. (Iskandar Norman).

Konon saat jatuhnya Yogyakarta ibukota RI kedua masa agresi 1948, Presiden RI Soekarno hijrah ke ‘Kota Juang’, Bireuen, menginap di rumah kediaman Panglima Divisi X Bireuen (Pendopo Bupati Bireuen) sekarang. Selama seminggu Presiden RI di Bireuen selama itu pula Bireuen jadi ibukota RI dalam keadaan darurat.

Presiden Soekarno sempat foto bersama di depan rumah Panglima Divisi X dengan Gubernur Militer Aceh Tgk. Daud Beureueh, Panglima Divisi X Kolonel Hussein Joesoef dan sejumlah perwira Divisi X Komandemen Sumatera 16 Juni 1948. Masa itu pusat kemiliteran Aceh Divisi X Komandemen Sumatera, Langkat dan Tanah Karo di bawah pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef berdudukan di Bireuen dengan markas persenjataan militer dipusatkan di Juli Keude Dua, tiga setengah kilometer jaraknya dari Kota Bireuen.

Mayor Purn M Yusuf Ahmad, 88, veteran pejuang angkatan ’45 warga Juli Keude Dua, salah seorang saksi hidup dan mantan Komandan Pasukan Tank Divisi X di Medan Area dalam bincang-bincang dengan Waspada, pekan lalu mengatakan, bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu menghargai jasa pahlawannya.

Peringatan 63 tahun Indonesia Merdeka di Bireuen terkesan sebagai seremoni belaka. Pasalnya, tak pernah menziarahi makam pahlawan lantaran Bireuen belum memiliki Taman Makam Pahlawan (TMP).
Dikatakan, para pejuang yang gugur dalam pertempuran di Medan Area masa itu jenazahnya tak mungkin dibawa pulang ke Bireuen. Ada yang dimakamkan di TMP Binjai ada pula yang dimakamkan di TMP Langsa, Aceh Timur. Para pejuang yang dimakamkan di TMP Langsa yang masih diingat, Geuchiek Mahmud Juli Blang Keutumba, Tgk. M. Yusuf Arifin, ujar Mayor Purn Yusuf Ahmad.

Sedangkan Panglima Divisi X Kolonel Hussein Joesoef yang berjasa dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan meninggal karena sakit lanjut usia tahun 1976 dimakamkan di Desa Glumpang Payong, Kecamatan Jeumpa, berdampingan dengan istrinya Letda Puen Ummi Salmah. Menurut M. Yusuf Ahmad lokasi pemakaman Panglima Husein Joeosoef sebaiknya dijadikan sebagai lokasi TMP ‘Kota Juang’ Bireuen, agar setiap peringatan hari Proklamasi dapat diziarahi oleh generasi penerusnya. (Waspada online).

Daerah pecahan Aceh Utara ini juga dikenal sebagai kota juang. Beragam kisah heroik terekam dalam catatan sejarah. Benteng pertahanan di Batee Iliek merupakan daerah terakhir yang diserang Belanda yang menyisakan kisah kepahlawan pejuang Aceh dalam menghadapi Belanda.
Kisah heroik lainnya, ada di kubu syahid lapan di Kecamatan Simpang Mamplam. Pelintas jalan Medan-Banda Aceh, sering menyinggahi tempat ini untuk ziarah. Di kuburan itu, delapan syuhada dikuburkan. Mereka tewas pada tahun 1902 saat melawan pasukan Marsose, Belanda.
Kubu Syuhada Lapan
Kala itu delapan syuhada tersebut berhasil menewaskan pasukan Marsose yang berjumlah 24 orang. Namun, ketika mereka mengumpulkan senjata dari tentara Belanda yang tewas itu, mereka diserang oleh pasukan Belanda lainnya yang datang dari arah Jeunieb. Kedelapan pejuang itu pun syahid. Mereka adalah : Tgk Panglima Prang Rayeuk Djurong Bindje, Tgk Muda Lem Mamplam, Tgk Nyak Bale Ishak Blang Mane, Tgk Meureudu Tambue, Tgk Balee Tambue, Apa Sjech Lantjok Mamplam, Muhammad Sabi Blang Mane, serta Nyak Ben Matang Salem Blang Teumeuleuk. Makan delapan syuhada ini terletak di pinggir jalan Medan – Banda Aceh, kawasan Tambue, Kecamatan Simpang Mamplam. Makam itu dikenal sebagai kubu syuhada lapan. 

Sumber: Rangkang e-Library

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...