BERKENAAN dengan penerapan syariat Islam (taṭbīq al-syarī‘ah) ada satu pertanyaan penting yang selalu muncul: Apakah mungkin syariat Islam diterapkan secara kāffah? Pertanyaan ini muncul, misalnya, dari pemikir liberal Mesir, Jamāl al-Bannā dalam satu tulisannya, “Hal Yumkinu Taṭbīq al-Syarī‘ah?” (Kairo,
1426 H/2005 M). Dari sekian fakta yang ditunjukkan oleh Jamāl dalam
tulisannya, kesimpulannya hanya satu: syariat tidak mungkin diterapkan.
Pemikiran seperti ini juga menular dan dipakai rujukan kaum berpaham
liberal di Indonesia.
Pandangan Keliru
Banyak orang sering kurang paham sesungguhnya syariat Islam. Sedang yang ditangkap secuil tadi, seolah mewakili semuanya. Sehingga sering berpandangan salah dan keliru. Karena syariat Islam tidak hanya itu. Rajam (sanksi potong tangan) dan hukum cambuk hanya bagian terkecil dari cara menerapkan syariat Islam yang benar. Syariat Islam lebih agung dari itu semua. Apa yang dikhawatirkan oleh para penentang penerapan syariat Islam hanyalah konsekuensi dari beberapa pelanggaran ketentuan hukum Allah Subhanahu Wata’ala, seperti: mencuri, minum khamar dan berzina. Padahal titik-kulminasi tujuan diturunkannya syariat Islam adalah untuk kebaikan manusia. Poin ini dirumuskan dengan sangat detail oleh para ulama kita, khususnya para fuqahā’ dan uṣūliyyūn. Karya-karya mereka tentang maqāṣid al-syarī‘ah membuktikan hal itu.
Alih-alih dengan banyaknya pandangan yang keliru, lalu buru-buru mengatakan syariat Islam tidak mungkin diterapkan. Dengan alasan: masyarakat belum siap untuk itu. Padahal di balik itu semua, ada upaya untuk menggiring opini publik bahwa syariat Islam memang tidak kompatibel dengan dunia kekinian. Potong tangan dikesankan sangat mengerikan, seperti kata Fazlur Rahman, maka penjara lebih baik dan lebih optimal untuk memberikan efek jera. Begitu juga dengan zina dan pembunuhan. Karenanya ada yang berpendapat, hukum qiṣāṣ tidak harus ada, karena tidak manusiawi. Padahal, syariat Islam selalu kompatibel dan sesuau fitrah manusia, kapan dan dimanapun. (Lihat, Syekh Muḥammad al-Khiḍr Ḥusain, al-Syarī‘at al-Islāmiyyah Ṣāliḥah li Kulli Zamān wa Makān (Kairo: Naḥḍah Miṣr, 1999 M. Lihat juga, Syekh Yūsuf al-Qaraḍāwī, Syarī‘at al-Islām Ṣāliḥat li al-Taṭbīq fī Kulli Zamān wa Makān (Kairo: Dār al-Ṣaḥwah, 1993 M).
Padahal cara menerapkan potong-tangan saja dalam Islam ada aturannya. Begitu juga dengan qiṣāṣ. Tidak serta-merta pelanggar syariat mutlak dikenakan sanksi yang mereka khawatirkan itu. Apa yang dikemukakan selama ini adalah pandangan para kaum sekular, yang memang menolak syariat Islam. Padahal syariat Islam itu, kata Syekah al-Qaraḍāwī, begitu lentur, luas sekaligus luwes. Tidak rigid dan tidak kaku. (Lihat, Syekh Yūsuf al-Qaraḍāwī, ‘Awāmil al-Sa‘ah wa al-Murūnah fī al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah (Kairo: Dār al-Ṣaḥwah, 1413 H/1992 M).
Salah Paham tentang Syariat
Jika ditelusuri lebih dalam, sejatinya para penolak penerapan syariat Islam adalah orang-orang jāhil terhadap syariat Islam dan itu sendiri. Memang sudah lazim demikin, kata pepatah, “al-Nās a‘dā’ mā jahilū” (Manusia cenderung memusuhi dan membenci apa-apa yang tidak diketahuinya dengan baik). Satu contoh adalah Majalah Tempo (Edisi Senin, 17 September 2012) yang menulis kasus Putri (16 tahun) di Aceh. Putri yang bunuh diri, seolah karena syariat Islam lah sumber masalahnya.
Kasus-kasus kejahilan ilmu sering juga terjadi di kalangan aktivis pembela HAM. Misalnya pendapat mengatakan, jika syariat Islam diterapkan, maka korbannya yang paling dirugikan adalah kaum perempuan. Padahal, kehadiran syariat Islam justru melindungi kaum perempuan itu sendiri.
Akibat kekurang-fahaman terhadap syariat Islam, maka timbul pandangan negatif terhadap penerapan syariat Islam. Berbagai pandangan negatif ini kemudian menjadi global opinion yang membentuk wacana dan mengkristal menjadi satu paradigma yang jelek bahwa syariat Islam tidak perlu layak diterapkan dan diaplikasikan dalam kehidupan. Kemudian lahir usulan bentuk negara secular atau sibuk dengan mengatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah final. Dan ujungnya, wacana bahwa peran syariat Islam perlu “dinegosiasikan” ulang. (Lihat, Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Terj. Sri Murniati (Bandung: Mizan, 1428 H/2007 M).
Berbagai pandangan negatif terhadap penerapan syariat Islam, selain datang dari kaum liberal-sekular, kaum yang kurang ilmu (jahil), biasanya justru lahir dari musuh-musuh Islam itu sendiri. Akhirnya muncul semacam “pembusukan” dan “perusakan” citra syariat Islam yang dilakukan secara besar-besaran. Di lain itu, yang tak kalah penting, sebab lain penolakan penerapan syariat Islam karena banyak generasi umat ini yang sudah westernized (terbaratkan), persoalan aparat pemerintah yang memang sekular plus adanya kejumudan berpikir dan bercokolnya fanatisme mazhab. (Lihat, ‘Umar Sulaimān ‘Abd Allāh al-Asyqar, Mu‘awwiqāt Taṭbīq al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah (Yordania: Dār al-Nafā’is, 1413 H/1993 M).
Selain itu, kejahilan terhadap syariat Islam itu sendiri menjadi satu penghalang penerapan syariat Islam. Didukung oleh berbagai terpaan angin sekularisme yang begitu besar dan kencang. Syariat Islam selalu berada pada posisi vis-à-vis sekularisme. (Mannā‘ Khalīl al-Qaṭṭān, Mu‘awwiqāt Taṭbīq al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1411 H/1991 M).
Gradualitas Penerapan Syariat
Penulis berpandangan bahwa penerapan syariat Islam memang tidak bisa dilakukan tergesa-gesa. Harus adalah proses pengilmuan terlebih dahulu (ta‘līm). Tanpa ini, sampai kapanpun masyarakat, khususnya umat Islam sendiri, tidak akan pernah tahu apa itu syariat, untuk apa diturunkan dan apa manfaatnya jika diterapkan. Ta’lim diperlukan agar semua orang (khususnya umat Islam sendiri) paham hekekat dan manfaat syariat agamanya sendiri.
Sungguh ironis, bila orang mengaku Muslim, ber KTP Islam, masih ada yang berpendapat syariat Islam tak bisa diterapkan atau pendapat ‘syariat belum siap diterapkan’. Sebab hukum menerapkan syariat Islam adalah “wajib”, kapanpun. (Lihat, Ṣāliḥ ibn Ghānim al-Sadlān, Wujūb Taṭbīq al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah fī Kulli ‘Aṣr (al-Riyāḍ: Dār Valencia, 1417 H).
Namun demikin, penting dicatat bahwa penerapan syariat Islam harus dilakukan tidak terburu-buru dan harus secara gradual ( tadarruj). Ia tidak dapat diterapkan secara tiba-tiba apalagi tergesa-gesa. Karena sejatinya, konsep gradualitas (tadarruj) merupakan ajaran langsung dari Allah Subhanahu Wata’ala ketika menurunkan syariat kepada manusia melalu para nabi-Nya. (Lihat, Muḥammad Muṣṭafā al-Zuḥalī, al-Tadarruj fī al-Tasyrī‘ wa al-Taṭbīq fī al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah (Kuwait: al-Lajnah al-Istisyāriyyah al-‘Ulyā li al-‘Amal ‘alā Istikmāl Taṭbīq Aḥkām al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, 1420 H/2000 M).
Karena bagaimana pun diperlukan perlu pemahaman yang utuh mengenai syariat Islam itu sendiri. Umat Islam perlu dipahamkan bahwa syariat agamanya memiliki keterkaitan dengan syariat agama-agama sebelumnya, terutama Yahudi dan Kristen. Karena syariat agama terdahulu ada yang dipertahankan oleh Islam, karena tidak ‘basi’ ditelan zaman. Atau ada konsepnya yang dimodifikasi (islamisasi). Mereka juga perlu diajari sumber-sumber syariat Islam. Selain juga harus mengetahui kelenturan, keluasan sekaligus keluwesan syariat.
Setelah itu baru syariat diterapkan. Dalam penerapan itu pun perlu diperhatikan faktor-faktor pendukung kesuksesan penerapan syariat, seperti: membuka pintu ijtihad, segala sesuatu harus dikembaliken kepada Islam, sebagaimana yang diamalkan oleh para pendahulu yang saleh (al-salaf al-ṣāliḥ) serta harus bebas dari aturan yang mengingat dari satu mazhab tertentu. (Lihat, Syekh Yūsuf al-Qaraḍāwī, Madkhal li Dirāsat al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1414 H/1993 M). Itulah sesungguhnya fungsi proses pengilmuan (ta‘līm).
Karena itu, saat ini diperlukan secara luas dan menyeluruh menjelaskan proses pendidikan dan ta’lim ini kepada anak-anak kaum Muslim, baik di sekolah dasar, menengah hingga di perguruan tinggi tentang manfaat syariat Islam. Dengan penjelasan menyeluruh dari tingkat dasar hingga atas serta upaya secara gradual (tadarruj), kelak akan tiba saatnya masyarakat sendiri yang merasa membutuhkan kehadiran akan syariat Islam ini. Betapapun, usaha-usaha Barat dan musuh-musuh Islam terus menghalang-halangi, jika keinginan banyak orang untuk melaksanakan, tidaklah bisa dibendung.
Syariat Islam, Syariat Humanis
Sesungguhnya, bagi yang concern dalam mempelajari dan memperhatikan syariat Islam akan mendapati bahwa syariat Islam itu benar-benar humanis. Humanis karena memiliki tujuan yang sangat mulia, yaitu mengedepankan kebaikan manusia secara total (al-maṣlaḥah). Melalui konsep al-maṣlaḥah ini, para ulama, khsusunya para Uṣūliyyūn, tentang kebutuhan primer dan mendesak (al-ḍarūrah) yang benar-benar harus dipenuhi dan dinikmati oleh setiap individu, yang dikenal dengan al-ḍarūriyyāt al-khams. Kelima hak itu harus benar-benar dipelihara dan diwujudkan dengan baik, yaitu: ḥifẓ al-dīn (menjaga agama), ḥifẓ al-nafs (menjaga jiwa), ḥifẓ al-‘aql (menjaga/memelihara akal), ḥifẓ al-māl (menjaga/memelihara harta atau kekayaan) dan ḥifẓ al-nasl (menjaga keturunan). (Lihat, Syekh Muḥammad al-Ṭāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāṣid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, taḥqīq: Muḥammad al-Ṭāhir al-Mīsāwī (Yordan: Dār al-Nafā’is, 1421 H/2001 M).
Hemat penulis, konsep al-ḍarūriyyāt al-khams yang ada dalam ilmu Uṣūl al-Fiqh yang diproduksi oleh kecerdasan intelektual para ulama Islam membuktikan dengan tegas bahwa syariat Islam sungguh manusiawi alias humanis. Jika mau dibandingkan dengan konsep HAM yang diusung oleh Barat, syariat Islam “lebih HAM” daripada HAM-Barat. Karena memang poros maqāṣid al-syarī‘ah atau tujuan serta target tertinggi-terjauh dari syariat adalah Hak Asasi Manusia (ḥuqūq al-insān). (Lihat, Aḥmad al-Raisūnī, Muḥammad al-Zuḥailī dan Muḥammad ‘Utsmān Syabīr, Ḥuqūq al-Insān Miḥwar Maqāṣid al-Syarī‘ah (Doha-Qatar: Wazārat al-Awqāf wa al-Syu’ūn al-Islāmiyyah, dalam serial Kitāb al-Ummah, Muḥarram 1423 H/April 2002 M).
Syariat Islam adalah ketentuan Allah Subhanahu Wata’ala yang secara khusus dihadiahkan untuk seluruh manusia dan kemaslahatan umat manusia, bukan untuk Allah. Karena itu, sudah pasti, syariat Islam itu sangat manusiawi alias humanis ditilik dari sisi dan arah mana pun. Karena itu, disbanding dagangan Barat bernama HAM, syariat Islam itu lebih layak untuk “dibumikan”.*
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi (pengajar di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan, Sumatera Utara. Penulis buku “Salah Paham tentang Islam: Dialog Teologis Muslim-Kristen di Dunia Maya” (2012))
Sumber: Hidayatullah
0 komentar:
Posting Komentar