Berbeda
dengan pandangan kebijakan pendidikan dan kebijakan publik berdasarkan
pendekatan filsafat moral, pendekatan ekonomi politik – khusus berkaitan
dengan fokus masalah – lebih cenderung membahas kebijakan
pendidikan yang mengarah sebagai jasa layanan public atau pribadi. Apapun
pilihan dari bentuk kebijakan pendidikan tersebut membawa konsekwensi pada
akses pendidikan dan biaya yang harus dikeluarkan oleh peserta didik.
Konsep
ekonomi politik mengacu pada penggunaan konsep-konsep ekonomi untuk memahami
dan menjelaskan masalah-masalah dan proses-proses politik. Konsep ini
menerangkan bahwa kebijakan pendidikan dan kebijakan publik mencerminkan masalah dan proses politik
sehingga dapat dijelaskan menurut pandangan dan pemikiran ekonomi.
Barang
atau jasa pendidikan dalam konsep ekonomi
politik berkaitan dengan kepentingan
publik dan kepentingan pribadi, dan
bagaimana hubungan kepentingan-kepentingan tersebut. Pemikiran ekonomi klasik dan neoklasik
mengasumsikan bahwa kepentingan
publik memiliki hubungan dengan
kepentingan pribadi biarpun keduanya
berbeda, yaitu bahwa kepentingan publik
adalah untuk menumbuhkan kekayaan
masyarakat. Menurut Adam Smith tujuan-tujuan
publik bisa dicapai tanpa harus ada
wilayah publik atau paling tidak dengan mengadakan
wilayah publik tetap ditekan seminimal
mungkin. Biarkan mekanisme pasar
bekerja dengan sendirinya, meregulasi dirinya
sendiri sehingga dapat menggantikan peranan
dari sebuah lembaga politik (Caporaso
dan Levine, 1992). Dengan kata lain,
keputusan terbaik yang dapat dibuat negara
untuk bidang ekonomi politik adalah mengarahkan
anggota masyarakat agar berusaha
mencapai tujuan-tujuan tertentu dimana
tujuan tersebut dapat dicapai sebaikbaiknya kalau
tidak ada campur tangan negara.
Negara tidak dapat bertindak lebih daripada
itu, bahkan akan lebih baik jika negara
bertidak kurang daripada itu, biarlah pasar
yang mengatur dirinya sendiri dalam pemenuhan
kebutuhan pribadi dan memenuhi
kebutuhan pribadi sama dengan memenuhi
kebutuhan publik.
Mekanisme
pasar dipercaya dapat memecahkan
masalah-masalah ekonomi politik
sehingga terjadi efisiensi yang optimum
dalam kondisi keterbatasan sumberdaya
yang dimiliki. Akan tetapi dalam
berbagai hal mekanisme pasar gagal dalam
melaksanakan fungsinya untuk mengalokasikan
sumber-sumber ekonomi secara efisien
dalam menghasilkan barang dan jasa.
Mekanisme harga tidak dapat berfungsi
sebagaimana yang diinginkan pencetus
teori ekonomi. Artinya, mekanisme harga
dalam keadaan pasar persaingan tidak sempurna
tidak dapat mengefisienkan alokasi
sumber-sumber ekonomi.
Secara
teoretis faktor-faktor yang membuat
pasar tidak berfungsi sebagaimana mestinya
adalah faktor eksternalitas, barangbarang publik
dan terjadinya monopoli dan oligopoli
(Caporaso dan Levine, 1992). Dengan
begitu, faktor relevan dengan persoalan
yang dihadapi adalah barangbarang publik,
karena itu kedua factor lainnya
(eksternalitas dan monopoli serta oligopoli)
tidak akan dipersoalkan dalam pembahasan
ini. Apa yang dimaksud dengan barang
publik? Barang publik menurut parameter
ekonomi adalah barang yang bersifat non-rival
dan non-excludable. Barang sehingga
kesempatan dan akses memperoleh pendidikan
menjadi terbatas.
Praktek komersialisasi pendidikan yang
berorientasi mencari laba atau mengakumulasi kapital, pada dasarnya mengugurkan
sifat non-ekslusif dan nonrivarly, dan hal tersebut merupakan cermin kegagalan
pasar. Dengan merujuk kepada kepentingan pendidikan untuk kemajuan bangsa
maka negara harus bertanggung jawab menyediakan layanan pendidikan seluas-luasnya
kepada warga negara, kesempatan dan akses untuk mendapatkan pendidikan
dibuka seluas-luasnya sehingga pendidikan tidak bisa digeser dari barang publik
menjadi barang pribadi.
Walaupun
muncul pendapat yang begitu deras
arusnya sekarang yang menganggap
pendidikan sebagai barang pribadi
dengan mengacu pada pemikiran bahwa
lulusan dari satuan tingkat pendidikan
khususnya perguruan tinggi akan masuk
pada pasar kerja dan memperoleh upah
atau benefit dari ilmu dan ketrampilan
yang diperoleh di satuan tingkat pendidikan
tersebut. Namun argumentasi ini tidak
terlalu kuat karena lulusan yang sudah bekerja
akan memberikan kontribusi kembali kepada
negara melalui pajak yang dikeluarkannya.
Pajak tersebut digunakan kembali
untuk kegiatan pelayanan public sehingga
tidaklah relevan mengkategorikan pendidikan
sebagai barang pribadi. Kalaupun
tetap dipaksakan pendidikan sebagai
barang publik maka konsekwensinya kesempatan
dan akses akan dibatasi sehingga
mengorbankan tujuan lebih besar yakni
mencerdaskan khidupan bangsa sebagai
modal intelektual dalam membangun
kepentingan bangsa ke depan, dan
tentunya hal ini tidak diinginkan oleh kita
semua, baik selaku warga negara maupun
sebagai elit negara.