A. Konsep Dasar
Kebijakan Pendidikan
Duke dan Canady (1991)
mengelaborasi konsep kebijakan dengan delapan arah pemaknaan kebijakan, yaitu:
(1) kebijakan sebagai penegasan maksud dan tujuan, (2) kebijakan sebagai
sekumpulan keputusan lembaga yang digunakan untuk mengatur, mengendalikan, mempromosikan,
melayani, dan lain-lain pengaruh dalam lingkup kewenangannya, (3) kebijakan
sebagai panduan tindakan diskresional, (4) kebijakan sebagai strategi yang
diambil untuk memecahkan masalah, (5) kebijakan sebagai perilaku yang
bersanksi, (6) kebijakan sebagai norma perilaku dengan ciri konsistensi, dan
keteraturan dalam beberapa bidang tindakan substantif, (7) kebijakan sebagai
keluaran sistem pembuatan kebijakan, dan (8) kebijakan sebagai pengaruh
pembuatan kebijakan, yang menunjuk pada pemahaman khalayak sasaran terhadap
implementasi sistem.
Ketika memberikan pengantar
untuk paparan sejumlah kasus kebijakan pendidikan di beberapa negara maju,
Hough (1984) memberikan kontribusi sangat berarti bagi para pengkaji kebijakan
pendidikan. Kontribusi ini terutama menyangkut isu-isu konseptual dan teoretik
yang mampu memberikan kerangka pemahaman utuh bagi analisis kebijakan
pendidikan.
Hough (1984) juga menegaskan
sejumlah arti kebijakan. Kebijakan bisa menunjuk pada seperangkat tujuan,
rencana atau usulan, program-program, keputusan-keputusan, menghadirkan
sejumlah pengaruh, serta undang-undang atau peraturan-peraturan. Bertolak dari
konseptualisasi ini, misalnya, ujian nasional merupakan salah satu bentuk
kebijakan pendidikan. Ujian nasional memadai untuk dikategorikan sebagai
kebijakan karena: (1) dengan jelas dimaksudkan untuk mencapai seperangkat
tujuan, (2) senantiasa menyertakan rencana pelaksanaan, (3) merupakan program
pemerintah, (4) merupakan seperangkat keputusan yang dibuat oleh lembaga dan
atau pejabat pendidikan, (5) menghadirkan sejumlah pengaruh, akibat, dampak dan
atau konsekuensi, (6) dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan
dan peraturan lembaga terkait.
B. Daur Kebijakan
Pendidikan
Kontribusi Hough (1984) yang
juga sangat penting adalah penjelasannya mengenai tahapan-tahapan dalam proses
kebijakan. Kerangka analisis yang ditujukan pada proses kebijakan mencakup: (1)
Kemunculan isu dan identifikasi masalah, (2) perumusan dan otorisasi kebijakan,
(3) implementasi kebijakan, (4) dan perubahan atau pemberhentian kebijakan.
Pada tahap kemunculan isu dan
identifikasi masalah, dilakukan pengenalan terhadap suatu masalah atau
persoalan yang memerlukan perhatian pemerintah, masalah-masalah yang memdapat
tempat dalam agenda publik serta agenda resmi, serta mobilisasi dan dukungan
awal bagi strategi tertentu.
Pada tahap perumusan dan
otorisasi kebijakan, dilakukan eksplorasi berbagai alternatif, perumusan
seperangkat tindakan yang lebih dipilih, usaha-usaha untuk mencapai konsensus
atau kompromi, otorisasi formal strategi tertentu seperti melalui proses
legislasi, isu pengaturan atau penerbitan arahan-arahan.
Pada tahap implementasi,
dilakukan interpretasi terhadap kebijakan dan aplikasinya terhadap kasus
tertentu, serta pengembangan satu atau lebih program sebagai alternatif yang
dipilih untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Pada tahap penghentian atau perubahan kebijakan, dilakukan
penghentian karena masalah telah dipecahkan, kebijakan tidak berhasil atau
hasilnya dinilai tidak diinginkan, melakukan perubahan mendasar berdasarkan
umpan-balik, atau mengganti kebijakan tertentu dengan kebijakan baru.
Aspek kedua yang harus dikaji
dalam analisis kebijakan pendidikan adalah konteks kebijakan. Ini harus
dilakukan karena kebijakan tidak muncul dalam kebampaan, melainkan dikembangkan
dalam konteks seperangkat nilai, tekanan, kendala, dan dalam pengaturan
struktural tertentu. Kebijakan juga merupakan tanggapan terhadap
masalah-masalah tertentu, kebutuhan serta aspirasi yang berkembang.
Aspek ketiga yang harus dikaji
dalam analisis kebijakan pendidikan adalah pelaku kebijakan. Aktor kebijakan
pendidikan bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu: para pelaku resmi dan pelaku
tak resmi. Pelaku resmi kebijakan pendidikan adalah perorangan atau lembaga yang
secara legal memiliki tanggungjawab berkenaan dengan pendidikan. Aktor tak
resmi kebijakan pendidikan adalah individu atau organisasi yang terdiri dari
kelompok kepentingan, partai politik, dan media. Dalam aktor kebijakan resmi,
juga dibagi-bagi lagi --- tetapi mengikuti sistem pemerintahan negara yang
dikaji --- mulai dari pejabat senior hingga partai politik, lembaga pendidikan,
lain-lain lembaga terkait pendidikan, dan antar badan antar pemerintah.
Pada aktor informal, atau tak
resmi, terdapat kelompok kepentingan, partai politik, serta media massa.
Kelompok kepentingan ini antara lain serikat guru, asosiasi yang mewakili jenis
atau jenjang pendidikan tertentu, asosiasi yang mewakili peserta didik,
asosiasi yang mewakili pimpinan perguruan tinggi, hingga asosiasi yang mewakili
orangtua peserta didik.
Berdasarkan seluruh kajian
yang dilakukan, memang tidak mungkin untuk disimpulkan secara umum. Namun
demikian, jelas bahwa kadang-kadang kebijakan pendidikan secara terbuka dan
hati-hati dihentikan, dimodifikasi, dihaluskan, atau diganti dengan kebijakan
lain.
C. Implementasi Kebijakan
Pendidikan
Grindle (1980) menempatkan
implementasi kebijakan sebagai suatu proses politik dan administratif. Dengan
memanfaatkan diagram yang dikembangkan, jelas bahwa proses implementasi
kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang
semula bersifat umum telah dirinci, program-program aksi telah dirancang dan
sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan
sasaran-sasaran tersebut. Ini merupakan syarat-syarat pokok bagi implementasi
kebijakan publik apapun.
Tanpa adanya syarat-syarat
tersebut, maka kebijakan publik boleh dikatakan sekedar retorika politik atau
slogan politik. Secara teoretik pada tahap implementasi ini proses perumusan
kebijakan dapat digantikan tempatnya oleh proses implementasi kebijakan, dan
program-program kemudian diaktifkan. Tetapi dalam praktik, pembedaan antar
tahap perumusan kebijakan dan tahap implementasi kebijakan sebenarnya sulit
dipertahankan, karena umpan balik dari prosedur-prosedur implementasi mungkin
menyebabkan diperlukannya perubahan-perubahan tertentu pada tujuan-tujuan dan
arah kebijakan yang sudah ditetapkan. Atau aturan-aturan dan pedoman-pedoman
yang sudah dirumuskan ternyata perlu ditinjau kembali sehingga menyebabkan
peninjauan ulang terhadap pembuatan kebijakan pada segi implementasinya.
Lebih khusus lagi, dilihat
dari sudut proses implementasi, keputusan-keputusan yang telah dibuat pada
tahap rancangan atau perumusan berpengaruh terhadap lancar atau tidaknya
implementasi. Hal ini kiranya akan menjadi jelas dengan mengambil contoh dampak
tertentu yang ditimbulkan terhadap implementasi dari keputusan untuk
mengalokasikan sejumlah besar dana yang dimaksudkan unhik mewujudkan tujuan
kebijakan tertentu.
Perlu pula ditambahkan bahwa
proses implementasi untuk sebagian besar dipengaruhi oleh macam tujuan yang
ingin dicapai dan oleh cara perumusan tujuan. Dengan demikian perumusan
keputusan atau mungkin bahkan tidak dirumuskan sama sekali mengenai macam
kebijakan yang akan ditempuh serta macam program yang akan dilaksanakan
merupakan faktor-faktor yang menentukan apakah program-program tersebut akan
dapat dilaksanakan dengan berhasil ataukah tidak.
Muatan dari pelbagai kebijakan
kerapkali juga menentukan letak implementasinya. Implementasi beberapa
kebijakan tertentu biasanya hanya melibatkan sejumlah kecil satuan-satuan
pembuat keputusan kunci di tingkat nasional, misalnya aktor-aktor yang
menduduki posisi-posisi puncak.
Sebaliknya, ada pula kebijakan
yang dilaksanakan oleh sejumlah besar pambuat keputusan yang posisinya
bertebaran dalam wilayah geografis dan administratif yang luas, sekalipun
biasanya hanya melibatkan suatu organisasi birokrasi tunggal. Di samping itu
berbagai pejabat di daerah mungkin dilibatkan sebagai pelaksana-pelaksana dari
program-program yang telah dirancang.
Semakin tersebar posisi
implementasi, baik secara geografis maupun secara organisatoris-administratif,
maka semakin sulit pula tugas-tugas implementasi suatu program. Sebabnya ialah
karena makin banyak jumlah satuan-satuan pengambil keputusan yang terlibat di
dalamnya.
Keputusan-keputusan yang
dibuat pada saat perumusan kebijakan dapat pula menunjukkan siapa yang akan
ditugasi untuk mengimplementasikan berbagai program yang ada.
Keputusan-keputusan demikian ini pada gilirannya akan dapat mempengaruhi
bagaimana kebijakan itu akan diwujudkan di kelak kemudian hari. Dalam hubungan
ini mungkin akan dapat dideteksi secara dini adanya perbedaan-pebedaan tertentu
pada berbagai satuan birokrasi yang akan terlibat langsung dalam pengeloaan
program. Perbedaan itu, misalnya dalam hal tingkat kemampuan administratif atau
manajerialnya. Di antara berbagai satuan birokrasi itu mungkin memiliki staf
yang aktif, berkeahlian, dan berdedikasi tinggi terhadap keberhasilan
pelaksanaan tugas, sedangkan satuan-satuan birokrasi lainnya tidak.
Sementara itu, beberapa di
antara satuan birokrasi tersebut mungkin akan mendapatkan dukungan yang lebih
besar dari elite-elite politik yang berkuasa dan, karena itu, mereka dalam
menjalankan tugasnya akan memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan
sumber-sumber yang diperlukan. Di lain pihak, beberapa satuan birokrasi lainnya
mungkin lebih mampu menanggulangi berbagai macam tuntutan dan kendala yang
menghadang mereka.
Bentuk tujuan-tujuan kebijakan
juga membawa dampak terhadap implementasinya. Dalam hubungan ini apakah
tujuan-tujuan itu telah dirumuskan dengan jelas ataukah masih kabur, dan apakah
pejabat-pejabat politik dan administrasi memiliki komitmen yang tinggi terhadap
tujuan-tujuan tersebut ataukah tidak, pada akhirnya akan berpengaruh terhadap
tingkat keberhasilan proses implementasinya.
Dari berbagai penjelasan di
atas, jelas bahwa muatan program daii muatan kebijakan publik itu berpengaruh
terhadap hasil akhir implementasinya. Namun sebagaimana telah ditunjukkan dalam
diagram tadi, muatan program atau muatan kebijakan itu menjadi faktor yang
berpengaruh karena dampaknya yang nyata atau yang potensial terhadap lingkungan
sosial, politik dan ekonomi tertentu. Oleh sebab itu, penting sekali untuk
memperhitungkan konteks atau lingkungan implementasi kebijakan.
Dalam proses implementasi atau
pengadministrasian setiap program mungkin banyak aktor yang terlibat dalam
penentuan pilihan-pilihan mengenai alokasi sumber-sumber publik tertentu serta
banyak pihak yang mungkin berusaha keras untuk mempengaruhi keputusan-keputusan
tersebut. Berbagai pihak yang kemungkinan berpihak dalam implementasi program
tertentu ialah para perencana tingkat nasional; para politisi tingkat nasional,
regional dan lokal; kelompok-kelompok elite ekonomi, khususnya di tingkat
lokal; kelompok-kelompok penerima program dan para pelaksana atau para birokrat
pada tingkat menengah atau bawah. Aktor-aktor tersebut mungkin terlibat secara
penuh ataukah tidak dalam implementasi program tertentu sedikit banyak akan
ditentukan oleh muatan program dan bagaimana bentuk pengadministrasian
programnya.
Masing-masing aktor mungkin
mempunyai kepentingan tertentu dalam program tersebut, dan masing-masing
mungkin berusaha untuk mencapainya dengan cara mengajukan tuntutan-tuntutan
mereka dalam prosedur alokasi sumber. Seringkali terjadi, tujuan-tujuan dari
para aktor itu bertentangan satu sama lain dan hasil akhir dari pertentangan
ini serta akibatnya mengenai siapa yang memperoleh apa, akan ditentukan
strategi, sumber-sumber, dan posisi kekuasaan dari tiap aktor yang terlibat.
Apa yang diimplementasikan
dengan demikian merupakan hasil suatu tarik-ulur kepentingan-kepentingan
politik dan kelompok-kelompok yang saling berebut sumber-sumber yang langka,
daya tanggap dari pejabat-pejabat pelaksana serta tindakan dari para elite
politik yang kesemuanya itu berinteraksi dalam kelembagaan tertentu. Oleh
karena itu analisis mengenai program-program tertentu berarti pula menilai
kemampuan-kemampuan kekuasaan dari para aktor yang terlibat,
kepentingan-kepentingan mereka dan strategi-strategi yang mereka tempuh untuk
mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut serta ciri-ciri pemerintahan dimana
mereka berinteraksi. Hal ini pada gilirannya akan memudahkan penilaian terhadap
peluang untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan maupun tujuan-tujuan program.
Dalam rangka mencapai
tujuan-tujuan tersebut para pejabat akan dihadapkan pada dua permasalahan,
yaitu yang menyangkut lingkungan interaksi program dan administrasi program.
Untuk itu pertama-tama para pejabat tersebut harus memusatkan perhatiannya pada
masalah bagaimana mencapai konsistensi tujuan-tujuan yang termaktub di dalam
kebijakan. Misalnya mereka harus berusaha mendapatkan dukungan dari para elite
politik dan kesediaan dari instansi-instansi pelaksana, dari para birokrat yang
ditugasi untuk melaksanakan program dari para elite politik pada tingkat
rendah, serta dari pihak-pihak ynag diharapkan menerima manfaat program
tersebut. Selanjutnya mereka harus mampu merubah sikap menentang dari
pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh program tersebut menjadi sikap menerima
terhadapnya, serta mereka harus tetap waspada terhadap pihak-pihak yang
diabaikan oleh program tersebut, tetapi tetap bersikeras untuk memperoleh
manfaat, khususnya terhadap usaha-usaha yang mungkin mereka lakukan untuk
menggerogotinya. Upaya untuk menumbuhkan kesediaan bahkan kepatuhan dari
berbagai pihak tersebut di atas boleh jadi berarti semakin banyak dilakukan
negosiasi, akomodasi, dan lagi-lagi konflik tertentu. Namun, jika keseluruhan
tujuan-tujuan kebijakan tersebut ingin diwujudkan, maka sumber-sumber yang
dipakai untuk mendapatkan kesediaan itu tidak perlu harus mengorbankan dampak
atau sasaran pokok dari program.
Sisi lain dari masalah
pencapaian tujuan-tujuan kebijakan dan program dalam suatu lingkungan tertentu
ialah daya tanggap. Idealnya lembaga-lembaga publik semisal birokrasi harus
tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan dari pihak-pihak yang mereka harapkan
menerima manfaat sebagai upaya untuk melayaninya sebaik mungkin. Tambahan pula,
tanpa adanya daya tanggap tertentu selama implementasi, pejabat-pejabat
pemerintah akan tidak mempunyai informasi yang memadai guna mengevaluasi
prestasi dan keberhasilan suatu program.
Dalam banyak hal, daya tanggap
mungkin pula berarti bahwa tujuan-tujuan kebijakan tidak tercapai karena adanya
campur tangan individu-individu atau kelompok-kelompok yang sama, baik dalam
rangka untuk mendapatkan barang dan layanan tertentu dalam jumlah yang lebih
besar ataupun untuk menghambat jalannya program tertentu yang boleh jadi tidak mereka
terima sebagai sesuatu yang bermanfaat. Bagi administrator-administrator
kebijakan masalahnya dengan demikian adalah bagaimana menciptakan situasi yang
kondusif dan menjamin adanya respon yang memadai guna memungkinkan keluwesan,
dukungan, dan umpan balik selama proses implementasi program, sementara pada
saat yang sama tetap mengusahakan adanya kontrol yang memadai atas distribusi
sumber-sumber yang dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
digariskan dalam kebijakan itu.
Untuk membuat keseimbangan
semacam itu jelas bukan merupakan pekerjaan yang gampang, karena membutuhkan
kejelian politik tertentu dalam memperhitungkan berbagai kemungkinan tanggapan
yang muncul dari para aktor yang terlibat serta kemampuan , mereka untuk
menggagalkan tujuan-tujuan program. Oleh sebab itu, maka agar supaya efektif,
para pelaksana haruslah mempunyai kecakapan dalam seni berpolitik serta harus
mempunyai pemahaman yang baik mengenai lingkungan di mana mereka berusaha untuk
mewujudkan kebijakan publik dan program-programnya.
Masalah-masalah ideologi,
kebudayaan, aliensi politik dan peristiwa-peristiwa merupakan faktor-faktor
lingkungan lainnya yang mungkin membawa dampak tertentu terhadap proses
implementasi kebijakan publik. Lebih lanjut, karena program-program apa pun
tidaklah diimplementasikan dalam keadaan terisolasi dari kebijakan-kebijakan
publik lainnya, maka keberhasilan suatu program tertentu akan dengan mudah
dipengaruhi oleh prioritas-prioritas dari pejabat-pejabat politik ataupun hasil
akhir dari program-program lainnya. Faktor-faktor tersebut menegaskan bahwa
program-program yang muatannya serupa mungkin akan diimplementasikan secara
berbeda jika lingkungan di mana program tersebut dilaksanakan amat berlainan.
Berdasarkan kajiannya terhadap
proses pembuatan pilihan dalam implementasi kebijakan di negara-negara sedang
berkembang, Grindle (1980) mengajukan model pilihan-pilihan kritis dalam proses
implementasi. Dalam model ini, implementasi kebijakan diletakkan dalam konteks
politik-administratif.
Pada bagian pertama,
pilihan-pilihan harus dibuat berkenaan dengan defmisi kebijakan dan program,
serta pengaruhnya terhadap usaha implementasi yang mengikuti. Bagian kedua,
pilihan-pilihan harus dibuat berkenaan dengan strategi implementasi dan
konsekuensinya terhadap penyaluran program. Bagian ketiga, dipertanyakan siapa
yang memetik keuntungan? Untuk itu pilihan-pilihan harus dibuat berkenaan
dengan alokasi sumber dan konsekuensinya terhadap kelompok dan individu di
masyarakat.
D. Permasalahan Analisis dan Penilaian Kebijakan
Mengikuti kerangka kerja
analisis dan penilaian kebijakan publik (a framework for public policy
analysis and policy evaluation) Theo Jans (2007), dapat dikenali dua
kelompok permasalahan kebijakan.
Kelompok permasalahan pertama
meliputi: (1) kajian tentang bagaimana, mengapa, dan apa pengaruh yang timbul
dari adanya tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah (the study of
‘how, why and to what effect governments pursue particular courses of action
and inaction), (2) kajian tentang apa yang dilakukan pemerintah, mengapa
mereka melakukannya, dan perbedaan-perbedaan apa yang timbul karenanya (what
governments do, why they do it, and what difference does it make), dan (3)
kajian tentang sifat dasar, sebab-sebab, dan akibat kebijakan publik (the
study of the nature, causes, and effects of public policies).
Kelompok permasalahan kedua
meliputi: (1) kajian tentang bagaimana masalah-masalah dan isu-isu disusun dan
dirumuskan (how are problems and issues defined and constructed?), (2)
kajian tentang bagaimana kebijakan ditempatkan dalam agenda politik dan
kebijakan (how are they placed on political and policy agenda?), (3)
kajian tentang bagaimana pilihan-pilihan kebijakan muncul (how policy
options emerge?), (4) kajian
tentang bagaimana dan mengapa pemerintah melakukan atau tidak melakukan sesuatu
(how and why governments act or do not act?), dan (5) kajian tentang
apa saja akibat yang timbul dari kebijakan pemerintah (what are the effects
of government policy?).
Sumber: Bpk. Prof.
Sumber: Bpk. Prof.
0 komentar:
Posting Komentar