TANGGAL 4 Januari 1809, hari kelahiran Louis Braille, diperingati
oleh dunia internasional sebagai "Hari Braille". Betapa tidak, berkat
kelahiran anak tunanetra asal Perancis inilah maka lebih dari 40 juta
orang tunanetra di seluruh dunia dapat belajar membaca dan menulis, dan
oleh karehanya dapat mengenyam pendidikan sebagaimana rekan-rekannya
yang awas.
Usaha untuk menciptakan tulisan bagi orang tunanetra telah
dimulai sekurang-kurangnya 16 abad yang lalu, ketika seorang cendekiawan
tunanetra Jepang pada abad ke-4 mengukir huruf-huruf pada kayu dan
mendirikan sebuah perpustakaan yang cukup besar untuk menghimpun
karya-karyanya itu. Hingga awal abad ke-19, orang-orang di Eropa masih
memusatkan usaha membantu tunanetra belajar membaca dan menulis itu
dengan memperbesar huruf Latin atau Romawi dengan menggunakan
tali-temali, potongan-potongan logam, kulit atau kertas, tetapi hasilnya
masih jauh dari memuaskan. Puncak keberhasilan usaha-usaha ini dicapai
oleh Louis Braille, seorang anak tukang sepatu yang menjadi buta akibat
tergores matanya oleh pisau pemotong kulit milik ayahnya.
Louis Braille mendapatkan inspirasi bagi ciptaannya itu dari
Kapten Charles Barbier, seorang bekas perwira artileri Napoleon. Dalam
peperangan Napoleon, Barbier menciptakan tulisan sandi yang terdiri dari
titik-titik dan garis-garis timbul yang dinamakannya "tulisan malam".
Dia menggunakan tulisan ini untuk memungkinkan pasukannya membaca
perintah-perintah militer dalam kegelapan malam dengan merabanya melalui
ujung-ujung jari.
Meskipun ciptaan Barbier ini telah terbukti berhasil untuk
keperluan militer, tetapi tidak cocok untuk keperluan membaca dan
menulis biasa. Akan tetapi, ini memberi petunjuk yang sangat berharga
bagi Louis Braille ke arah apa yang sedang dicari-carinya.
Setelah pertemuannya dengan Charles Barbier, Louis Braille
selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk membuat titik-titik
dan garis-garis pada kartu-kartu untuk berusaha menciptakan tulisan
yang cocok bagi tunanetra. Dia selalu mencobakan setiap perkembangan
tulisannya itu kepada kawan-kawannya yang tunanetra. Menyadari bahwa
jari jari kawan-kawannya lebih peka terhadap titik daripada terhadap
garis, maka dia memutuskan untuk hanya menggunakan titik-titik saja dan
mengesampingkan garis-garis bagi tulisannya itu.
Akhirnya, pada tahun 1834, ketika Louis Braille berusia awal
20-an, sempurnalah sistem tulisan yang terdiri dari titik-titik timbul
itu. Louis Braille hanya menggunakan enam titik domino sebagai kerangka
sistem tulisannya itu. Satu atau beberapa dari enam titik itu
divariasikan letaknya sehingga dapat membentuk sebanyak 63 macam
kombinasi yang cukup untuk menggambarkan abjad, angka, tanda-tanda baca,
matematika, musik, dan sebagainya.
Ketika Louis Braille masih sedang menyederhanakan sistem
tulisannya itu, dia diangkat sebagai guru di L'Institution Nationale des
Jeunes Aveugles (Lembaga Nasional untuk Anak-anak Tunanetra) di Paris
yang didirikan oleh Monsieur Valentin Hauy pada tahun 1783. Dia segera
menjadi guru yang sangat disukai. Dia dipercaya untuk mengajar sejarah,
geografi, matematika, tata bahasa Perancis, dan musik.
KETIKA sistem tulisannya sudah cukup sempurna, dia mulai
mencobakannya kepada murid-muridnya. Mereka menyambutnya dengan gembira
dan sangat merasakan manfaatnya. Meskipun Dr. Pignier, kepala lembaga
itu, mengizinkan sistem tulisan itu dipergunakan dalam pengajaran di
sekolah itu, namun tak seorang pun di luar lembaga itu mau menerima
keberadaannya. Karena mereka belum pernah melihat betapa baiknya sistem
tulisan ini, mengajarkan tulisan yang berbeda dari tulisan umum
dianggapnya sebagai sesuatu yang amat ganjil dan tidak masuk akal.
Karena badan pembina lembaga itu pun tidak menyukai sistem tulisan ini,
maka mereka memecat Dr. Pignier ketika ia merencanakan menyalin buku
sejarah ke dalam braille.
Kepala yang baru, Dr. Dufau tidak menyetujui sistem Braile itu dan melarang keras penggunaannya.
Karena murid-muridnya telah mengetahui kebaikan tulisan Braille
itu, mereka tidak kurang kecewanya daripada Braille sendiri. Maka
mereka meminta Braille mengajarnya secara diam-diam. Demi murid-muridnya
itu, dia setuju mengajar mereka di luar jam sekolah.
Karena guru dan semua murid di dalam kelas itu tunanetra, maka
tidaklah mustahil bagi guru guru lain untuk mengintip kelas rahasia itu
dan memperhatikannya tanpa mereka ketahui. Kepala staf pengajar, Dr.
Guadet, sering mengamati pelajaran rahasia ini dengan penuh minat dan
simpati. Setelah melihat betapa cepatnya murid-murid itu memahami
pengajaran yang disampaikan oleh Braille itu, maka Dr. Guadet mengimbau
kepada Dr. Dufau agar mengubah pendiriannya dan mengizinkan penggunaan
sistem tulisan itu. Akhirnya Dr. Dufau sejuju, dan menjelang tahun 1847
Louis Braille kembali dapat mengajarkan ciptaannya itu secara leluasa.
Pada tahun 1851 Dr. Dufau mengajukan ciptaan Braille itu kepada
Pemerintah Perancis dengan permohonan agar ciptaan tersebut mendapat
pengakuan pemerintah, dan agar Louis Braille diberi tanda jasa. Tetapi,
hingga dia meninggal pada tanggal 6 Januari 1852, tanda jasa ataupun
pengakuan resmi terhadap ciptaannya itu tidak pernah diterimanya. Baru
beberapa bulan setelah wafatnya, ciptaan Louis Braille itu diakui secara
resmi di L'institution Nationale des Jeunes Aveugles, dan
beberapa,tahun kemudian dipergunakan di beberapa. sekolah tunanetra di
negara-negara lain. Baru menjelang akhir abad ke-19 sistem tulisan ini
diterima secara universal dengan nama tulisan "Braille".
KINI, sudah lebih dari satu setengah abad sejak tulisan braille
itu tercipta dengan sempurna, namun kemajuan teknologi masih belum
dapat menyaingi kehebatannya. Bahkan akhir-akhir ini tulisan braille
sekali lagi telah membuktikan kesempurnaannya karena dengan mudah dapat
diadaptasikan untuk keperluan transmisi informasi dari alat-alat
pengolah data seperti komputer.
Untuk mengenang jasanya yang tak terhingga itu, pada tahun 1956
The World Council for the Welfare of the Blind (Dewan Dunia untuk
Kesejahteraan Tunanetra) menjadikan bekas rumah kediaman Louis Braille
yang terletak di Coupvray, 40 km sebelah timur Paris, sebagai museum
Louis Braille. Karena pada tahun 1984 WCWB melebur diri dengan
International Federation of the Blind (Federasi Tunanetra Internasional)
menjadi World Blind Union (Perhimpunan Tunanetra Dunia), maka sejak
tahun itu pemeliharaan dan penngembangan museum ini menjadi tanggung
jawab WBU.
*PERTUNI (Persatuan Tunanetra Indonesia)
0 komentar:
Posting Komentar