Dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia
senatiasa terkagum atas apa yang dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak
ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi
itu banyak yang berpaling kepada agama atau kepercayaan Ilahiah. Tetapi sudah sejak awal sejarah,
ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi
dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala
kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pencerahan. Jika proses itu memiliki
ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat
dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang
khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu
tentang seluruh kenyataan (realitas). Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang
sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita
mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia
lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka
lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah
jawaban filsafati.
Kajian Filsafat
Definisi kata filsafat bisa dikatakan sebagai sebuah problem
falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi
yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis
dan mendasar (radikal). Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak
dan berada di awang-awang (tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu
dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari-hari. Benar, filsafat bersifat
tidak konkrit (atau lebih bisa dikatakan tidak tunggal), karena menggunakan
metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita.
Ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen
dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis,
mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk
solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah
proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah
bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan
logika bahasa.
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang
filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster
(dalam Ahmad, 2008), filsafat merupakan pengetahuan tentang
kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat
manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan
teori pengetahuan.
Beberapa filsuf mengajukan beberapa definitif pokok filsafat
seperti: Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta
lengkap tentang seluruh realitas. Upaya untuk melukiskan hakekat realitas akhir
dan dasar serta nyata, Upaya untuk menentukan batas-batas jangkauan
pengetahuan: sumbernya, hakekatnya, keabsahannya, dan nilainya. Penyelidikan
kritis dan radikal atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang
diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan. Sesuatu yang berupaya untuk membantu
kita melihat apa yang kita katakan dan untuk mengatakan apa yang kita lihat.
Kalau menurut tradisi filsafati yang diambil dari zaman
Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos
ialah Pytagoras (592-497 S.M.), setelah dia membaca
tulisan Herakleides Pontikos (penganut ajaran Aristoteles) yang memakai kata sophia.
Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya
kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan.
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan
kata serapan dari bahasa Arab فلسة, yang juga diambil dari bahasa Yunani;
philosophia (Φιλοσοφία) Dalam bahasa ini, kata tersebut merupakan kata majemuk
dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia =
“kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda
juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya.
Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut
“filsuf”.
Dalam istilah Inggris, philosophy, yang berarti
filsafat, juga berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan
ke dalam bahasa tersebut sebagai cinta kearifan. Menurut pengertiannya
yang semula dari zaman Yunani Kuno itu, filsafat berarti cinta kearifan. Namun,
cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia
tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama,
pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian
pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang
Gie, 1999).
Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti semesta
dalam hal makna (hakikat) dan nilai-nilainya (esensi) yang tidak cukup
dijangkau hanya dengan panca indera manusia sekalipun.Bidang filsafat sangatlah
luas dan mencakup secara keseluruhan sejauh dapat dijangkau oleh pikiran.
Filsafat berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dan
sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan
hidupnya. Filsafat menggunakan bahan-bahan dasar deskriptif yang disajikan
bidang-bidang studi khusus dan melampaui deskripsi tersebut dengan menyelidiki
atau menanyakan sifat dasarnya, nila-nilainya dan kemungkinannya.Tujuannya
adalah pemahaman dan kebijaksanaan. Karena itulah filsafat merupakan pendekatan
yang menyeluruh terhadap kehidupan dan dunia. Suatu bidang yang berhubungan
erat dengan bidang-bidang pokok pengalaman manusia.
2.2 Munculnya Filsafat
Akibat dari berkembangnya kesusasteraan Yunani dan masuknya
ilmu pengetahuan serta semakin hilangnya kepercayaan akan kebenaran yang
diberikan oleh pemikiran keagamaan, peran mitologi yang sebelumnya mengikat
segala aspek pemikiran kemudian secara perlahan-lahan digantikan oleh logos
(rasio/ ilmu).
Pada saat inilah, para filsofof kemudian mencoba memandang
dunia dengan cara yang lain yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu
berpikir secara ilmiah. Dalam mencari keterangan tentang alam semesta, mereka
melepaskan diri dari hal-hal mistis yang secara turun-temurun diwariskan oleh
tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai berpikir sendiri. Di balik aneka kejadian
yang diamati secara umum, mereka mulai mencari suatu keterangan yang
memungkinkan mereka mampu mengerti kejadian-kejadian itu. Dalam artian inilah,
mulai ada kesadaran untuk mendekati problem dan kejadian alam semesta secara
logis dan rasional.
Sebab hanya dengan cara semacam ini, terbukalah kemungkinan
bagi pertanyaan-pertanyaan lain dan penilaian serta kritik dalam memahami alam
semesta. Semangat inilah yang memunculkan filosof-filosof pada jaman Yunani.
Filsafat dan ilmu menjadi satu.
Filsafat, terutama Filsafat Barat, muncul di Yunani semenjak
kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai
berfikir-fikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di
sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama pada saat itu yang
dianggap sebagai “tirai besi keilmuan” lagi untuk mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani
dan tidak di daerah yang berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea
(Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah
lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih
bebas.
Sejarah Perkembangan Awal Filsafat
Dunia
Meski istilah philosophia (Φιλοσοφία) pertama kali
dimunculkan oleh Pythagoras, namun orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar
filsuf ialah Thales (640-546 S.M.) dari Mileta (sekarang di pesisir barat
Turki). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta
atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat
adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya,
unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).
Dalam buku History and Philosophy of Science karangan L.W.H.
Hull (1950), menulis setidaknya sejarah filsafat dan ilmu dapat dibagi dalam
beberapa periode, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh yang terkenal pada periode
itu.
1. Periode Pertama, Filsafat Yunani abad 6 SM
Pada masa ini ahli filsafatnya adalah Thales, Anaximandros,
dan Anaximenes yang dianggap sebagai bapak-bapak fisafat dari Mileta. Thales
berpendapat bahwa sumber kehidupan adalah air. Makhluk yang pertama kali hidup
adalah ikan dan menusia yang pertama kali terlahir dari perut ikan. Thales juga
berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang bumi, Anaximandros
mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama
terhadap semua badan yang lain. Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai
pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan jagat
raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam
tubuh manusia.
Setelah mereka bertiga, Yunani kemudian memiliki
pemikir-pemikir terkenal yang lebih berpengaruh lagi terhadap perkembangan
fisafat, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Phythagoras, Hypocrates, dan
lain sebagainya.
2. Periode Kedua, Periode Setelah Kelahiran Al Masih (Abad 0-6
M)
Pada masa ini pertentangan antara gereja yang diwakili oleh
para pastur dan para raja yang pro kepada gereja, dengan para ulama filsafat.
Sehingga pada masa ini filsafat mengalami kemunduran. Para raja membatasi
kebebasan berfikir sehingga filsafat seolah-olah telah mati suri. Ilmu menjadi
beku, kebenaran hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan para raja yang berhak
mengatakan dan menjadi sumber kebenaran.
3. Periode Ketiga, Periode Kejayaan Islam (Abad 6-13 M)
Pada masa ini dunia Kristen Eropa mengalami abad kegelapan,
ada juga yang menyatakan periode ini sebagai periode pertengahan. Masa keemasan
atau kebangkitan Islam ditandai dengan banyaknya ilmuan-ilmuan Islam yang ahli
dibidang masing-masing, berbagai buku inilah diterbitkan dan ditulis. Di antara
tokoh-tokoh tersebut adalah Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam
hokum Islam, Al-farabi ahli astronomi dan matematika, Ibnu Sina ahli kedokteran
dengan buku terkenalnya yaitu The Canon of Medicine. Al-kindi ahli filsafat,
Al-ghazali intelek yang meramu berbagai ilmu sehingga menjadi kesatuan dan
kesinambungan dan mensintesis antara agama, filsafat, mistik dan sufisme . Ibnu
Khaldun ahali sosiologi, filsafat sejarah, politik, ekonomi, social dan
kenegaraan. Anzahel ahli dan penemu teori peredaran planet. Tetapi setelah
perang salib terjadi umat Islam mengalami kemundurran, umat Islam dalam keadaan
porak-poranda oleh berbagai peperangan.
Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam
terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof
Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine
(354 – 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480 –
524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah belajar
filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan
Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya,
karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories
dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi
mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang
oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan
Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa,
maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak
akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari
terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam.
Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar
dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM)
adalah Socrates (469 – 399 SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM).
Setelah itu diteruskan oleh muridnya yang bernama Aristoteles (384 – 322 SM).
Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat lagi generasi penerus hingga
munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab
filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan Raja Harun
Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya
Plato dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab. Sepeninggal Al-Kindi, muncul
filosof-filosof Islam kenamaan yang terus mengembangkan filsafat.
Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina, Jamaluddin
Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhamad Iqbal, dan Ibnu Rushd.
Berbeda dengan filosof-filosof Islam pendahulunya yang lahir
dan besar di Timur, Ibnu Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol). Filosof Islam
lainnya yang lahir di barat adalah Ibnu Baja (Avempace) dan Ibnu Tufail
(Abubacer). Ibnu baja dan Ibnu Tufail merupakan
pendukung rasionalisme Aris-toteles. Akhirnya kedua orang ini bisa menjadi
sahabat.
Sedangkan Ibnu Rushd yang lahir dan
dibesarkan di Cordova, Spanyol meskipun seorang dokter dan telah mengarang Buku
Ilmu Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Canon
karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat
merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang
ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemuka-pemuka agama,
sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk
menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu
Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam bukunya Falsafah El-Ula (First
Philosophy). Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan
kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang
bernilai.
Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd
dan kaum ulama yang diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya
karangan Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan
pula oleh pihak gereja untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah
pada Zaman Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat
menyebabkan seseorang menjadi atheis. Untuk mencapai kebenaran sejati menurut
Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf (mistisisme). Buku
karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam karyanya
Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of the Incoherence).
Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd
telah menyebabkan dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai
perguruan-perguruan Islam. Hoesin (1961) menyatakan bahwa pelarangan penyebaran
filsafat Ibnu Rushd merupakan titik awal keruntuhan peradaban Islam yang
didukung oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini
sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002) yang menyatakan bahwa perkembangan
ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya filsafat dan mengalami
kemunduran dengan kematian filsafat.
Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor
terhadap karangan Ibnu Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham
pembela Ibnu Rushd (Averroisme) dan paham yang menentangnya. Kalangan yang
menentang ajaran filsafat Ibnu Rushd ini antara lain pendeta Thomas Aquinas,
Ernest Renan dan Roger Bacon. Mereka yang menentang Averroisme umumnya banyak
menggunakan argumentasi yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya
Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang diperdebatkan
oleh kalangan filosof di Eropah Barat pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah
masalah yang diperdebatkan oleh filosof Islam.
4. Periode Keempat, Periode Kebangkitan Eropa (Abad 12-17)
Bersamaannya dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropah
mengalami kebangkitan. Pada masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan
karangan dan terjemahan filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina
dan Ibnu Rushd diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Pada zaman itu Bahasa Latin
menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa Eropah. Penterjemahan karya-karya kaum
muslimin antara lain dilakukan di Toledo, ketika Raymund menjadi uskup Besar
Kristen di Toledo pada Tahun 1130 – 1150 M. Hasil terjemahan dari Toledo ini
menyebar sampai ke Italia. Dante menulis Divina Comedia setelah terinspirasi
oleh hikayat Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW. Universitas Paris menggunakan
buku teks Organon karya Aristoteles yang disalin dari Bahasa Arab ke dalam
Bahasa Latin oleh John Salisbury pada tahun 1182.
Seperti halnya yang dilakukan oleh pemuka agama Islam,
berkembangnya filsafat ajaran Ibnu Rushd dianggap dapat membahayakan iman
kristiani oleh para pemuka agama Kristen, sehingga sinode gereja mengeluarkan
dekrit pada Tahun 1209, lalu disusul dengan putusan Papal Legate pada
tahun 1215 yang melarang pengajaran dan penyebaran filsafat ajaran Ibnu Rushd.
Pada Tahun 1215 saat Frederick II menjadi Kaisar Sicilia,
ajaran filsafat Islam mulai berkembang lagi. Pada Tahun 1214, Frederick
mendirikan Universitas Naples, yang kemudian memiliki akademi yang bertugas
menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam Bahasa latin. Pada tahun
1217 Frederick II mengutus Michael Scot ke Toledo untuk mengumpulkan
terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa latin karangan kaum muslimin.
Berkembangnya ajaran filsafat Ibnu Rushd di Eropah Barat tidak lepas dari hasil
terjemahan Michael Scot. Banyak orientalis menyatakan bahwa Michael Scot telah
berhasil menterjemahkan Komentar Ibnu Rushd dengan judul de coelo et de mundo
dan bagian pertama dari Kitab Anima.
Pekerjaan yang dilakukan oleh Kaisar Frederick II untuk
menterje-mahkan karya-karya filsafat Islam ke dalam Bahasa Latin, guna
mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Eropah Barat, serupa dengan
pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Raja Al-Makmun dan Harun Al-Rashid dari
Dinasti Abbasiyah, untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Jazirah
Arab.
Setelah Kaisar Frederick II wafat, usahanya untuk
mengembangkan pengetahuan diteruskan oleh putranya. Untuk tujuan ini putranya
mengutus orang Jerman bernama Hermann untuk kembali ke Toledo pada tahun 1256.
Hermann kemudian menterjemahkan Ichtisar Manthiq karangan Al-Farabi dan
Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd. Pada pertengahan abad 13 hampir seluruh
karya Ibnu Rushd telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, termasuk kitab
tahafut-et-tahafut, yang diterjemahkan oleh Colonymus pada Tahun 1328.
5.
Periode Filsafat Modern (Abad 17-20 M)
Dikenal Juga sebagai abad Äufklarung. Pada masa ini Kristen
yang berkuasa dan menjadi sumber otoritas kebenaran mengalami kehancuran, dan
juga awal abad kemunduran bagi umat Islam. Berbagai pemikiran
Yunani muncul, alur pemikiran yang mereka anut adalah rasionalitas,
empirisrme, dan Kritisme. Peradaban Eropa bangkit melampaui dunia
islam. Masa ini juga memunculkan intelektual Gerard Van Cromona yang menyalin
buku Ibnu Sina, ”The canon of medicine”, Fransiscan Roger Bacon, yang menganut
aliran pemikiran empirisme dan realisme berusaha menentang berbagai kebijakan
gereja dan penguasa pada waktu itu. Dalam hal ini Galileo dan Copernicus juga
mengalami penindasan dari penguasa. Masa ini juga menyebabkan perpecahan dalam
agama Kristen, yaitu Kristen Katolik dan Protestan. Perlawanan terhadap gereja
dan raja yang menindas terus berlangsung Revolusi ilmu pengetahuan makin gencar
dan meningkat. Pada masa ini banyak muncul para ilmuwan seperti Newton dengan
teori gravitasinya, John Locke yang menghembuskan perlawanan kepada pihak
gereja dengan mengemukakan bahwa manusia bebas untuk berbicara, bebas
mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, serta hak berfikir.
Hal serupa juga dilakuklan ole J.J .Rousseau mengecam penguasa dalam bukunya
yang berjudul Social Contak.
Hal berbeda terjadi didunai Islam, pada masa ini umat Islam
tertatih untuk bangkit dari keterpurukan spiritual. Intelektual Islam yang
gigih menyeru umat Islam untuk kembali pada ajaran al-Quran dan Hadis. Pada
masa krisis moral dan peradaban muncul ilmuwan lainnya yaitu Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh berusaha membangkitkan umat Islam untuk menggunakan akalnya. Ia
berusaha mengikis habis taklid. Hal tersebut dilakukan oleh Muhammad Abduh
agara umat Islam menemukan ilmu yang berasal dari al-Quran dan hadis.
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak
berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa,
tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada
beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah
rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya,
meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang
inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat
berbeda itu.
Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes
(1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode tahun
1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua
pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu
kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu
100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata
hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini
bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan
sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan lain kata
kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah Cogito Ergo Sum (saya berpikir, jadi saya ada atau
berada). Saya berpikir = saya ragu-ragu; jadi saya ada = jadi saya tidak
ragu-ragu lagi (Soelaiman, TT:74). Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. —
Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan
terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”,
“clara et distincta”. Artinya, yang
jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu
menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran. Descartes adalah pelopor kaum
rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam
pikiran.
Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume
(1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan.
Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun
yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan
inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa
seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada
batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui
persepsi indera kita.
Mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang
bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar
separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia
berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang
menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi
tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia.
Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa
dunia “itu sendiri” (”das Ding an sich”),
namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun,
menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia
tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu
yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita.
Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu
materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia
mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak
terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik atas seluruh
pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka
aliran filsafat masa kini.
Begitulah pergulatan antar aliran filsafat Modern.
Rasionalist diwakili Descartes, Empirist diwakili Hume, dan Kritisme oleh Kant
saling menkritik satu sama lain.
Penutup
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang
sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita
mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia
lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka
lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah
jawaban filsafati. Kalau ilmu diibiratkan sebagai sebuah pohon yang
memiliki berbagai cabang pemikiran, ranting pemahaman, serta buah solusi, maka
filsafat adalah tanah dasar tempat pohon tersebut berpijak dan tumbuh.
Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal
filsafat adalah ratio yang bertanya. Sedang objek materinya ialah semua
yang ada yang bagi manusia perlu dipertanyakan hakikatnya. Maka menjadi tugas
filsafat mempersoalkan segala sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan
kebijaksanaan universal.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani
dan tidak di daerah yang berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea
(Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah
lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih
bebas.
Dalam perkembanganya, filsafat Yunani sempat mengalami masa
pasang surut. Ketika peradaban Eropa harus berhadapan dengan otoritas Gereja
dan imperium Romawi yang bertindak tegas terhadap keberadaan filsafat di mana
dianggap mengancam kedudukannya sebagai penguasa ketika itu.
Filsafat Yunani kembali muncul pada masa kejayaan Islam
dinasti Abbasiyah sekitar awal abad 9 M. Tetapi di puncak kejayaannya, dunia
filsafat Islam mulai mengalami kemunduran ketika antara para kaum filsuf yang
diwakili oleh Ibnu Rusd dengan para kaum ulama oleh Al-Ghazali yang menganggap
filsafat dapat menjerumuskan manusia ke dalam Atheisme bergolak. Hal ini setelah
Ibnu Rusd sendiri menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk
mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli atau mistikus
agama.
Setelah abad ke-13, peradaban filsafat islam benar-benar
mengalami kejumudan setelah kaum ulama berhasil memenangkan perdebatan panjang
dengan kaum filosof. Kajian filsafat dilarang masuk kurikulum pendidikan.
Pemerintahan mempercayakan semua konsep berfikir kepada para ulama dan ahli
tafsir agama. Beriringan dengan itu, di Eropa, demam filsafat sedang menjamur.
Banyak buku-buku karangan filosof muslim yang diterjemahkan kedalam bahasa
latin. Ini sekaligus menunjukkan bahwa setelah pihak gereja berkuasa pada
masanya dan sebelum peradaban Islam mulai menerjemahkan teks-teks aristoteles
dan lain sebagainya oleh Al Kindhi, di Eropa benar-benar tidak ditemukan lagi
buku-buku filsafat hasil peradaban Yunani.
Entah kebetulan atau tidak, ketika filsafat di dunia islam
bisa dikatakan telah usai dan berpindah ke eropa, peradaban islam pun mengalami
kemunduran sementara di eropa sendiri mengalami masa yang disebut sebagai abad
Renaissance atau abad pencerahan, pada sekitar abad ke-15 M. Tapi tidak demikian halnya dalam
komunitas gereja. Periode ini juga menghantarkan dunia kristen menjadi
terbelah. Doktrin para pendeta katolik terus mendapatkan protes dari kaum
Protestan.
Adapun para filsuf zaman modern setelah masa
aufklarung, abad ke-17 M, menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab
suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia
sendiri. Para filsuf modern yang tercatat dalam sejarah ialah Descartes, Karl
Marx, Nietsche, JJ Rosseau, dan lain sebagainya
0 komentar:
Posting Komentar