09 November 2012

ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR (ISBD)


Ilmu Sosial Budaya Dasar atau yang disingkat dengan ISBD bukanlah suatu disiplin ilmu tersendiri, melainkan lebih merupakan kajian yang interdisipliner. Mata kuliah ini merupakan sumber nilai dan pedoman bagi penye1enggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadian, kepekaan sosial, kemampuan hidup bermasyarakat, pengetahuan tentang pelestarian, pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup, dan mempunyai wawasan tentang perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni.
ISBD memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji gejala-gejala sosial budaya. Standar kompetensi yang ingin dicapai adalah agar mahasiswa dapat menjadi ilmuwan dan profeosional yang berpikir kritis, kreatif, sistemik dan ilmiah, berwawasan luas, etis, memiliki kepekaan dan empati sosial, bersikap demokratis, berkeadaban serta dapat ikut berperan mencari solusi pemecahan masalah sosial dan budaya secara arif.
ISBD diharapkan dapat membekali kepada mahasiswa dalam menghadapi tantangan sosial budaya di lingkungan sekitarnya dan dalam memberi kontribusi bagi pemecahan masalah-masalah sosial budaya.

A.    Manusia Sebagai Makhluk Budaya
Manusia adalah mahluk berbudaya. Berbudaya merupakan kelebihan manusia dibanding mahluk lain. Dengan berbudaya, manusia dapat memenuhi kebutuhan dan menjawab tantangan hidupnya. Manusia menggunakan akal dan budinya dalam berbudaya. Kebudayaan merupakan perangkat yang ampuh dalam sejarah kehidupan manusia yang dapat berkembang dan dikembangkan melalui sikap-sikap budaya yang mampu mendukungnya.
Banyak pengertian tentang budaya atau kebudayaan. Kroeber dan Kluckholn (1952) menginventarisasi lebih dari 160 definisi tentang kebudayaan, namun pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang bersifat prinsip.
Konsep kebudayaan membantu dalam membandingkan berbagai mahluk hidup. Isu yang sangat penting adalah kemampuan belajar. Lebah melakukan aktifitasnya hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun dalam bentuk yang sama. Setiap jenis lebah mempunyai pekerjaan yang khusus dan melakukan kegiatannya secara kontinyu tanpa memperdulikan perubahan lingkungan disekitarnya. Lebah pekerja terus sibuk mengumpulkan madu untuk koloninya. Tingkah laku ini sudah terprogram dalam gen mereka yang berubah secara sangat lambat dalam mengikuti perubahan lingkungan di sekitarnya. Perubahan tingkah laku lebah akhirnya harus menunggu perubahan dalam gen. Hasilnya adalah tingkah-laku lebah menjadi tidak fleksibel.
Berbeda dengan binatang, tingkah laku manusia sangat fleksibel. Hal ini terjadi karena kemampuan dari manusia untuk belajar dan beradaptasi dengan apa yang telah dipelajarinya. Sebagai makhluk berbudaya, manusia mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat demi kesempurnaan hidupnya.
Kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya. Manusia berbeda dengan binatang, bukan saja dalam banyaknya kebutuhan, namun juga dalam cara memenuhi kebutuhan tersebut. Kebudayaanlah yang memberikan garis pemisah antara manusia dan binatang.
Ketidakmampuan manusia untuk bertindak instingtif diimbangi oleh kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar, berkomunikasi dan menguasai objek-objek yang bersifat fisik. Kemampuan untuk belajar dimungkinkan oleh berkembangnya inteligensi dan cara berfikir simbolik. Terlebih lagi manusia mempunyai budi yang merupakan pola kejiwaan yang di dalamnya terkandung dorongan-dorongan hidup yang dasar, insting, perasaan, dengan pikiran, kemauan dan hubungan yang bermakna dengan alam sekitarnya dengan jalan memberi penilaian terhadap obyek dan kejadian.
Manusia adalah mahluk yang berbudaya. Berbudaya merupakan ciri khas kehidupan manusia yang membedakannya dari mahluk lain. Manusia dilahirkan dalam suatu budaya tertentu yang mempengaruhi kepribadiannya. Pada umumnya manusia sangat peka terhadap budaya yang mendasari sikap dan perilakunya.
Kebudayaan merupakan induk dari berbagai macam pranata yang dimiliki manusia dalam hidup bermasyarakat. Etika merupakan bagian dari kompleksitas unsur-unsur kebudayaan. Ukuran etis dan tidak etis merupakan bagian dari unsur-unsur kebudayaan. Manusia membutuhkan kebudayaan, yang didalamnya terdapat unsur etika, untuk bisa menjaga kelangsungan hidup. Manusia yang berbudaya adalah manusia yang menjaga tata aturan hidup.
Etika dapat diciptakan, tetapi masyarakat yang beretika dan berbudaya hanya dapat diciptakan dengan beberapa persyaratan dasar, yang membutuhkan dukungan-dukungan, seperti dukungan politik, kebijakan, kepemimpinan dan keberanian mengambil keputusan, serta pelaksanaan secara konsekuen. Selain itu dibutuhkan pula ruang akomodasi, baik lokal maupun nasional di mana etika diterapkan, pengawasan, pengamatan, dan adanya pihak-pihak yang memelihara kehidupan etika. Kesadaran etis bisa tumbuh karena disertai akomodasi.
Berbudaya, selain didasarkan pada etika juga terkandung estetika di dalamnya. Jika etika menyangkut analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab, estetika membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya.
Hakikat kodrat manusia itu adalah 1) sebagai individu yang berdiri sendiri (memiliki cipta, rasa, dan karsa), 2) sebagai makhluk sosial yang terikat kepada lingkungannya (lingkungan sosial, ekonomi, politik, budaya dan alam), dan 3) sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Perbuatan-perbuatan baik manusia haruslah sejalan dan sesuai dengan hakikat kodratinya.  Manusia dipandang mulia atau terhina tidak berdasarkan aspek fisiologisnya. Aspek fisik bukanlah tolak ukur bagi derajat kemanusiaannya.
Hakikat kodrati manusia tersebut mencerminkan kelebihannya dibanding mahluk lain. Manusia adalah makhluk berpikir yang bijaksana (homo sapiens), manusia sebagai pembuat alat karena sadar keterbatasan inderanya sehingga memerlukan instrumen (homo faber), manusia mampu berbicara (homo languens), manusia dapat bermasyarakat (homo socious) dan berbudaya (homo humanis), manusia mampu mengadakan usaha (homo economicus), serta manusia berkepercayaan dan beragama (homo religious), sedangkan hewan memiliki daya pikir terbatas dan benda mati  cenderung tidak memliki perilaku dan tunduk pada hukum alam.
Keunggulan manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab berkat ketekunannya memantau berbagai gejala dan peristiwa alam. Manusia tidak lagi menemukan kenyataan sebagai sesuatu yang selesai, melainkan sebagai peluang yang membuka berbagai kemungkinan. Setiap kenyataan mengisyaratkan adanya kemungkinan. Transendensi manusia terhadap kenyataan yang ditemuinya sebagai pembuka berbagai kemungkinan itu merupakan kemampuannya yang paling mendasari perkembangan pengetahuannya.
Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki dua macam sistem budaya yang sama-sama harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistem budaya nasional dan sistem budaya etnik lokal. Sistem budaya nasional adalah sesuatu yang relatif baru dan sedang berada dalam proses pembentukannya. Sistem ini berlaku secara umum untuk seluruh bangsa Indonesia, tetapi sekaligus berada di luar ikatan budaya etnik local.

B.     Manusia Sebagai Individu dan Mahluk Sosial
Manusia sebagai individu dengan kepribadian khasnya berada di tengah-tengah kelompok individu lain yang sekaligus mematangkannya untuk menjadi pribadi. Proses dari individu untuk menjadi pribadi tidak hanya didukung dan dihambat oleh dirinya, melainkan juga oleh kelompok di sekitarnya. Dalam proses untuk menjadi pribadi, individu dituntut mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia berada, baik lingkungan fisik dan maupun non fisik (sosial budaya).
Manusia sejak dilahirkan adalah sebagai makhluk sosial ditengah keluarganya. Manusia tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sebagai individu, manusia dituntut untuk dapat mengenal serta memahami tanggung jawabnya bagi diri sendiri dan masyarakat.
Kecenderungan manusia untuk hidup berkelompok bukanlah sekedar naluri atau keperluan yang diwariskan secara biologis semata, melainkan dalam kenyataannya manusia berkumpul sampai batas-batas tertentu juga menunjukkan adanya suatu ikatan sosial. Mereka berkumpul dan saling berinteraksi satu sama lain.
Interaksi antarmanusia merupakan suatu kebutuhan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Individu akan membutuhkan individu lain, karena seorang individu tidak akan bisa hidup sendiri tanpa bantuan individu lain.
Kehidupan berkelompok merupakan kebutuhan setiap individu, sehingga timbullah kelompok-kelompok sosial dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Kelompok-kelompok sosial merupakan himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama. Suatu kelompok sosial cenderung untuk tidak menjadi kelompok yang statis, tetapi dinamis, selalu berkembang dan mengalami perubahan-perubahan baik dalam aktivitas maupun bentuknya.
Menurut Gillin dan Gillin, interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara orang perorangan, kelompok-kelompok manusia, maupun orang perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial dapat terjadi karena adanya komunikasi, jadi komunikasi di sini sangatlah penting artinya. Komunikasi berarti seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain baik berwujud pembicaraan, gerak, maupun sikap.
Interaksi sosial merupakan dasar dari proses sosial. Pengertian ini menunjukkan pada hubungan-hubungan yang dinamis. Interaksi sosial juga merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan bersama.
Secara umum, ada dua bentuk interaksi sosial dalam suatu komunitas masyarakat, yaitu: (1) interaksi asosiatif, dan (2) interaksi disasosiatif. Dalam perspektif asosiatif, bentuk-bentuk interaksi sosial yang berlangsung dalam suatu komunitas atau masyarakat yang bisa diklasifikasikan kepada tiga jenis interaksi sosial, yaitu: (1) kerjasama, (2) akomodasi, dan (3) asimilasi.
Dalam kehidupannya di tengah-tengah masyarakat terdapat saling ketergantungan antara individu yang satu dengan yang lain. Setiap individu berkepentingan dengan individu-individu lain dalam kelompoknya sendiri maupun di luar kelompoknya.
Rasa berkepentingan tersalurkan melalui proses sosialisasi dan interaksi sosial. Proses sosialisasi merupakan suatu proses pembelajaran sejak dini dengan tujuan untuk membentuk kepribadiannya. Interaksi sosial terjadi ketika seorang anak mulai bergaul dengan orang lain, baik dalam lingkungan keluarganya sendiri maupun dengan orang lain atau masyarakat di luar lingkungan keluarga.
Dalam interaksi sosial, manusia mengemban nilai-nilai dan norma- norma yang berlaku sebagai penuntun atau pedoman dalam kehidupannya di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai adalah sesuatu yang ideal atau das sollen yaitu sesuatu yang seharusnya, bukan das sein atau sesuatu yang senyatanya terjadi. Namun dalam kenyataannya, ada orang atau sekelompok orang yang dengan sengaja dan sadar melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Kenyataan-kenyataan seperti inilah yang akan menimbulkan kesenjangan dan pada akhirnya akan menimbulkan masalah-masalah dalam masyarakat. Apabila masalah-masalah itu menjadi berlarut-larut, maka gejala atau kenyataan itu akan menjadi masalah sosial. Salah satu masalah sosial yang seringkali terjadi karena dipicu oleh adanya benturan antara kepentingan umum dan kepentingan individu ataupun kelompok.
Di Indonesia yang menganut dasar negara Pancasila terdapat prinsip keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum. Di satu pihak kepentingan individu tidak boleh merugikan kepentingan umum, namun di lain pihak kepentingan individu juga tidak boleh terlalu terkalahkan oleh kepentingan umum.
Prinsip keseimbangan pada hakikatnya merupakan implikasi langsung dari kebenaran bahwa manusia diciptakan sederajat. Prinsip keseimbangan merupakan konsekuensi logis dari kenyataan bahwa eksistensi manusia sekaligus sebagai makhluk individual dan makhluk sosial. Hak yang melekat pada seseorang bukan hanya mengandaikan bahwa orang lain wajib menghormatinya, tetapi juga sekaligus ia wajib menghormati hak yang sama yang melekat pada orang lain. Demikian juga antara kepentingan individu dengan kepentingan umum.

C.    Manusia dan Peradaban
Istilah peradaban dipakai untuk menunjukkan pendapat dan penilaian terhadap perkembangan kebudayaan. Peradaban adalah kebudayaan yang bernilai tinggi. Perkembangan kebudayaan mencapai puncaknya berwujud unsur-unsur budaya yang bersifat halus, indah, tinggi, sopan, luhur, maka masyarakat pemilik kebudayaan tersebut dikatakan telah memiliki peradaban yang tinggi. Menurut Azyumardi Azra (2007), peradaban mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, sejak dari pandangan hidup, tatanilai, sosial budaya, politik, kesenian, ilmu pengetahuan, sains, teknologi, dan banyak lagi.
Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk beradab dan berbudaya yang tidak bisa hidup di luar adab dan budaya tertentu. Manusia beradab dan berbudaya yang hidup dalam suatu masyarakat beradab bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan diciptakan melalui berbagai upaya yang mendukung terciptanya manusia beradab dan masyarakat adab.
Di Indonesia, sila kelima Pancasila Kemanusiaan yang adil dan beradab memberi pengakuan bahwa manusia yang hidup di Indonesia diperlakukan secara adil dan beradab oleh penyelenggara negara. Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung nilai bahwa suatu tindakan yang berhubungan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat didasarkan atas sikap moral, kebajikan dan hasrat menjunjung tinggi martabat manusia, serta sejalan dengan norma-norma. Kemanusiaan yang adil dan beradab juga mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap budaya dan kebudayaan yang dikembangkan bangsa yang beragam etnik dan golongan.
Sila kelima Pancasila tersebut secara tegas mencita-citakan suatu masyarakat Indonesia yang beradab. Masyarakat yang beradab adalah masyarakat yang ditandai dengan ketenangan, kenyamanan, ketentraman, dan kedamaian sebagai makna hakiki manusia beradab. Konsep masyarakat adab dalam pengertian lain adalah suatu kombinasi yang ideal antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
Dari sejarah kita belajar bahwa secara nyata peradaban  manusia telah berubah dari waktu ke waktu. Hal ini merupakan kelebihan manusia dibanding makhluk lain. Burung membuat sarangnya tetap sama selama berabad-abad, namun manusia telah beranjak dari  gua-gua, rumah di atas pokok kayu, gubuk, rumah adat sampai dengan pencakar langit pada saat ini. Hal ini semata-mata disebabkan manusia mempunyai akal budi yang merupakan kelebihan dari makhluk hidup lainnya.
Berdasarkan akal budi manusia selalu berubah dari waktu ke-waktu dalam rangka melakukan perbaikan nilai hidup ataupun kualitas hidup. Dari kenyataan ini kita bisa belajar bahwa pada hakekatnya manusia tidak anti perubahan, walaupun perubahan bisa dilakukan secara sadar ataupun karena terpaksa berubah oleh karena suatu kondisi tertentu.
Perubahan peradaban manusia mengalami percepatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya sejak terjadinya revolusi industri di Eropa pada abad ke-15. Pada abad ke 20 yang disebutkan oleh Alvin Toffler sebagai awal dari Gelombang Ke Tiga (Abad Informasi), kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi menjadi pendukung utama perubahan yang sangat cepat. Perubahan yang terjadi di suatu negara bisa mengakibatkan pengaruh berantai secara global terhadap negara lain.
Globalisasi merupakan fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia global. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi mempercepat akselerasi proses globalisasi. Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan. Globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara mendasar.

D.    Manusia, Keragaman dan Kesetaraan
Keragaman atau kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan dalam kehidupan di masyarakat. Keragaman merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu mendatang (Azyumardi Azra, 2003).
Sebagai fakta,  keragaman sering disikapi secara berbeda. Di satu sisi diterima sebagai fakta yang dapat memperkaya kehidupan bersama, tetapi di sisi lain dianggap sebagai faktor penyulit. Kemajemukan bisa mendatangkan manfaat yang besar, namun juga bisa menjadi pemicu konflik yang dapat merugikan masyarakat sendiri jika tidak dikelola dengan baik.
Setiap manusia dilahirkan setara, meskipun dengan keragaman identitas yang disandang. Kesetaraan merupakan hal yang inheren yang dimiliki manusia sejak lahir. Setiap individu memiliki hak-hak dasar yang sama yang melekat pada dirinya sejak dilahirkan atau yang disebut dengan hak asasi manusia.
Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan dapat terwujud dalam praktik nyata dengan adanya pranata-pranata sosial, terutama pranata hukum, yang merupakan mekanisme kontrol yang secara ketat dan adil mendukung dan mendorong terwujudnya prinsip-prinsip kesetaraan dalam kehidupan nyata. Kesetaraan derajat individu melihat individu sebagai manusia yang berderajat sama dengan meniadakan hierarki atau jenjang sosial yang menempel pada dirinya berdasarkan atas asal rasial, sukubangsa, kebangsawanan, atau pun kekayaan dan kekuasaan.
Di Indonesia, berbagai konflik antarsukubangsa, antarpenganut keyakinan keagamaan, ataupun antarkelompok telah memakan korban jiwa dan raga serta harta benda, seperti kasus Sambas, Ambon, Poso dan Kalimantan Tengah. Masyarakat majemuk Indonesia belum menghasilkan tatanan kehidupan yang egalitarian dan demokratis.
Persoalan-persoalan tersebut sering muncul akibat adanya dominasi sosial oleh suatu kelompok. Adanya dominasi sosial didasarkan pada pengamatan bahwa semua kelompok manusia ditujukan kepada struktur dalam sistem hirarki sosial suatu kelompok. Di dalamnya ditetapkan satu atau sejumlah kecil dominasi dan hegemoni kelompok pada posisi teratas dan satu atau sejumlah kelompok subordinat pada posisi paling bawah. Di antara kelompok-kelompok yang ada, kelompok dominan dicirikan dengan kepemilikan yang lebih besar dalam pembagian nilai-nilai sosial yang berlaku. Adanya dominasi sosial ini dapat mengakibatkan konflik sosial yang lebih tajam.
Negara-bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dapat disebut sebagai masyarakat multikultural.  Berbagai keragaman masyarakat Indonesia terwadahi dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentuk dengan karakter utama mengakui pluralitas dan kesetaraan warga bangsa. NKRI yang mengakui keragaman dan menghormati kesetaraan adalah pilihan terbaik untuk mengantarkan masyarakat Indonesia pada pencapaian kemajuan peradabannya.
Cita-cita yang mendasari berdirinya NKRI yang dirumuskan para pendiri bangsa telah membekali bangsa Indonesia dengan konsepsi normatif negara bangsa Bhinneka Tunggal Ika, membekali hidup bangsa dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni. Hal tersebut merupakan kesepakatan bangsa yang bersifat mendasar.

E.     Manusia, Nilai, Moral dan Hukum
Nilai (value) adalah harga, makna, isi dan pesan, semangat, atau jiwa yang tersurat dan tersirat dalam fakta, konsep, dan teori sehingga bermakna secara fungsional (Djahiri, 1999).
Nilai merupakan suatu konsepsi tentang apa yang benar atau salah (nilai moral), baik atau buruk (nilai etika), serta indah atau jelek (nilai estetika). Dari sistem nilai kemudian tumbuh norma yang merupakan patokan atau rambu-rambu yang mengatur perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Norma-norma yang dihadapi manusia ada yang bercorak moral yaitu kewajiban moral dan nilai moral, dan ada pula yang bercorak bukan moral (nilai yang nonmoral) yang sifatnya teknis dan tidak mengandung pertimbangan-pertimbangan nilai.
Norma-norma moral ada yang bersifat evaluatif, artinya norma-norma itu berlaku dan dianggap baik bagi komunitas tertentu pada waktu tertentu, tetapi pada suatu saat dapat saja berubah, tidak lagi dapat diberlakukan karena mungkin sudah dianggap tidak baik lagi, atau norma-norma itu dapat berlaku baik bagi komunitas tertentu, tetapi belum tentu baik bagi komunitas lain.
Moral adalah tuntutan sikap dan perilaku yang diminta oleh norma dan nilai. Kata moral berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat. John Dewey mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai susila, sedangkan Baron, dkk (1980) mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar.
Frans Magnis Suseno (1987) mengemukakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Kesadaran moral hanya dimiliki oleh manusia yang berakal, mempunyai perasaan, dan memiliki kehendak yang bebas (otonomi) untuk selalu mewujudkan perbuatan baik semata. Manusia sebagai makhluk individual dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya akan berhadapan dengan kepentingan manusia lain. Konflik kepentingan secara alami akan mendorong manusia untuk saling berkompetisi dan saling mengalahkan di antara sesamanya. Kondisi ini jika tidak terkendali akan melahirkan kekacauan yang justru akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri.
Untuk mewujudkan keteraturan, mula-mula manusia membentuk tatanan sosial yang bernama masyarakat. Untuk membangun dan mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang teratur, maka dibutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal, yaitu aturan (hukum) dan si pengatur (kekuasaan). Dari sinilah hukum tercipta, yakni sebagai bagian pranata pengatur disamping pranata lain yaitu kekuasaan. Kedua unsur pranata pengatur ini berhubungan secara sistemik sehingga tidak bisa dipisah-pisahkan, keberadaan yang satu meniscayakan keberadaan yang lain.
Untuk menciptakan keteraturan dibuatlah hukum sebagai alat pengatur, dan agar hukum tersebut dapat memiliki kekuatan untuk mengatur, maka perlu suatu entitas lembaga kekuasaan yang dapat memaksakan keberlakuan hukum tersebut sehingga dapat bersifat imperatif. Sebaliknya, adanya entitas kekuasaan ini perlu diatur pula dengan hukum untuk menghindari terjadinya penindasan melalui kesewenang-wenangan ataupun dengan penyalah gunaan wewenang. Mengenai hubungan hukum dan kekuasaan ini, terdapat adagium yang populer: “Hukum tanpa kekuasaan hanyalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”.
Dalam negara hukum, semestinya hukumlah yang pertama-tama dianggap sebagai pemimpin dalam penyelenggaraan kehidupan bersama, bukan orang, “the rule of law, and not of man”. Orang bisa berganti, tetapi hukum sebagai satu kesatuan sistem diharapkan tetap tegak sebagai acuan dan sekaligus pegangan bersama. Prinsip inilah yang dinamakan dengan nomokrasi atau kekuasaan yang dipimpin oleh nilai hukum sebagai pendamping terhadap konsep demokrasi.

F.     Manusia, Sains, Teknologi dan Seni
Menurut Robert B. Sund (1973: 2), sains merupakan suatu tubuh pengetahuan (body of knowledge) dan proses penemuan pengetahuan. Dengan demikian, pada hakekatnya sains merupakan suatu produk dan proses. Produk sains meliputi fakta, konsep, prinsip, teori dan hukum. Proses sains meliputi cara-cara memperoleh, mengembangkan dan menerapkan pengetahuan yang mencakup cara kerja, cara berfikir, cara memecahkan masalah, dan cara bersikap. Sains dirumuskan secara sistematis, terutama didasarkan atas pengamatan eksperimen dan induksi.
Sebagian ahli mengatakan bahwa teknologi dimulai terlebih dahulu daripada sains, karena manusia sejak awal menggunakan benda sebagai alat. Sebagian ahli yang lain beranggapan sains tumbuh terlebih dahulu, karena benda sebelum digunakan pasti perlu diketahi terlebih dahulu. Namun demikian cukup dimengerti jika teknologi kemudian dirumuskan dengan pengertian yang lebar, yaitu alat atau pengetahuan manusia untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungannya atau keberlangsungan hidupnya.
Secara etimologis, teknologi berasal dari kata techne (Yunani) artinya keahlian dan logia artinya perkataan. Bell (2001) mendefinisikan teknologi sebagai seperangkat instrumen yang memungkinkan kekuatan manusia untuk mengubah sumber menjadi kesejahteraan. Heibish (2001) mendefinisikan teknologi sebagai pengetahuan yang telah ditransformasikan menjadi produk, proses dan jasa maupun struktur organisasi.
Pengembangan sains tidak selalu dikaitkan dengan aspek kebutuhan masyarakat, sedangkan teknologi, merupakan aplikasi sains yang terutama untuk kegiatan penemuan, berupa alat-alat atau barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Jadi pengembangan teknologi selalu dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian sains, teknologi dan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan (Poedjiadi, 1990 ; Yager, 1992: 4).
Kebutuhan manusia bukan semata melangsungkan hajat hidup, melainkan juga nilai-nilai etika dan estetika. Dalam konteks ini, seni menjadi kebutuhan dasar manusia secara kodrati. Seni berpengaruh terhadap kehidupan manusia.
Manusia tidak hanya dapat menggagas, melainkan juga mengekspresikan gagasannya. Semua bidang kehidupan manusia,  baik ekonomi, sosial politik, dan budaya, memerlukan ekspresi Dengan ekspresi, maka terjadi hubungan antar manusia.
Dalam ekspresi diri terdapat ekspresi khusus yang disebut kesenian. Dengan kesenian manusia mengekspresikan gagasan estetik atau pengalaman estetik. Kesenian merupakan penjelmaan pengalaman estetik untuk mewujudkan manusia dewasa yang sadar akan arti pentingnya berbudaya agar tidak kehilangan jati diri dan akal sehat.
Pada dasarnya iptek bersifat netral. Yang menjadikannya bermanfaat atau merusak adalah manusia yang menguasai dan mengendalikannya, yakni para pembuat keputusan atau pembuat kebijakan, termasuk ke dalamnya ilmuwan, teknolog, politisi, pengusaha, dan masyarakat umum. Dengan demikian, kunci keberhasilan bagi upaya pemanfaatan iptek bagi kesejahteraan manusia terletak pada pembinaan faktor manusia dalam mengembangkan dan menerapkan iptek ataupun mengkonsumsi produk-produk iptek.
Pada masyarakat Indonesia pada umumnya, budaya terhadap Iptek belum terbukti telah berkembang secara memadai. Hal ini tercermin dari pola pikir masyarakat yang belum bisa dianggap mempunyai penalaran objektif, rasional, maju, unggul, dan mandiri. Pola pikir masyarakat belum mendukung kegiatan berkreasi, mencipta, dan belajar.
Mekanisme yang menjembatani interaksi antara penyedia sains dan teknologi dengan kebutuhan pengguna juga belum optimal. Hal ini bisa dilihat dari belum tertatanya lembaga yang mengolah dan menterjemahkan hasil pengembangan sains dan teknologi menjadi teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi masyarakat. Di samping itu kebijakan keuangan juga dirasakan belum mendukung pengembangan kemampuan sains dan teknologi.
Lembaga penelitian dan pengembangan Iptek masih sering diartikan dengan institusi yang sulit berkembang. Selain itu, kegiatan penelitian yang dilakukan kurang didorong oleh kebutuhan penelitian yang jelas dan eksplisit. Ini menyebabkan lembaga-lembaga litbang tidak memiliki kewibawaan sebagai sebuah instansi yang memberi pijakan scientifik sehingga berakibat pada inefisiensi kegiatan penelitian. Dampak lainnya adalah merapuhnya budaya penelitian sebagai pondasi kelembagaan riset dan teknologi, seperti yang terjadi pada sektor pendidikan. Ini berarti pendidikan di Indonesia dapat dikatakan belum mampu menanamkan karakter budaya bangsa yang memiliki rasa ingin tahu, budaya belajar dan apresiasi yang tinggi pada pencapaian ilmiah (Zuhal, 2007). Masalah dan kendala tersebut secara langsung telah menghambat perkembangan sains dan teknologi di Indonesia.

G.    Manusia dan Lingkungan
Lingkungan hidup menurut UU No. 4 tahun 1982 adalah kesatuan ruang yang terdiri dari benda, daya, keadaan, makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Kerusakan lingkungan atau kelangkaan sumber daya alam banyak disebabkan oleh manusia. Eksploitasi sumber daya alam yang melebihi kapasitas pemulihannya menyebabkan penurunan jumlah dan kualitas, pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, dan akses terhadap lingkungan dan sumber daya alam yang tidak seimbang merupakan beberapa faktor penyebab kelangkaan atau penurunan sumber daya alam.
Perkembangan yang sangat pesat di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, serta pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, mengakibatkan pemborosan sumber daya alam yang juga mengakibatkan kemerosotan kualitas lingkungan.
Pelestarian lingkungan perlu dilakukan karena kemampuan daya dukung lingkungan hidup sangat terbatas baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Pengelolaan lingkungan hidup dilakukan secara sukarela baik oleh individu maupun kelompok masyarakat yang peduli terhadap pelestarian lingkungan, dan dilakukan berdasarkan pedoman yang ada yaitu dengan UndangUndang no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH). Adapun tujuan dari pedoman PLH adalah agar setiap kegiatan yang dilakukan oleh engguna lingkungan tidak merusak lingkungan, melainkan harus berwawasan lingkungan.

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...