KOPI sejatinya ditemukan oleh
bangsa Etiopia, yang pada zaman itu menggunakan biji kopi sebagai
suplemen penambah tenaga yang dicampur dengan lemak hewan ataupun
anggur, dipercaya dapat memenuhi kebutuhan protein dan energi tubuh.
Kata kopi sendiri berasal dari
bahasa arab Qahwah, yang berarti kekuatan. Kata qahwah diadaptasi ke
dalam bahasa Turki menjadi Kahfeh. Yang kemudian dibawa ke Eropa oleh
bangsa Belanda dan berubah nama menjadi Koffie, kata yang banyak disadur
ke dalam berbagai bahasa di dunia seperti Coffe (Inggris), Kaffe
(Jerman), dan Kopi (Indonesia).
Secara umum kopi terbagi menjadi
dua, Arabika yang merupakan kualitas paling baik, dan Robusta. Selain
itu terdapat juga Kopi Luwak, yang sering disebut-sebut sebagai kopi
dengan kualitas tertinggi, karena diperoleh dengan susah payah. Itu pun
harus menunggu beberapa hari untuk menghasilkan hanya beberapa biji kopi
yang konon katanya berasal dari (maaf) kotoran Luwak (sejenis musang).
Tentu saja hal ini menjadikan kopi luwak menjadi kopi termahal, dan
hanya segelintir orang yang beruntung saja yang pernah menikmati kopi
jenis ini.
Berbangga hatilah Aceh dimana
Kopi Gayo, yang berasal dari dataran tinggi tanah Gayo merupakan salah
satu varietas kopi Arabika berkualitas tinggi. Bahkan di disebut-sebut
sebagai kopi organik terbaik di dunia. Hal ini yang menyebabkan kopi
sangat identik dengan orang-orang Aceh. 7 dari 10 orang pria di Aceh
adalah peminum kopi, walaupun bukan pecandu berat. Belum lagi kalau kita
berbicara mengenai warung kopi. Sebelum terjadinya Tsunami saja warung
kopi sudah menjamur di seluruh daerah Aceh, baik di pelosok desa maupun
di kota besar khususnya kota Banda Aceh. Hal ini yang saya rasakan
sewaktu menjadi penduduk aceh kurun waktu 2001-2002.
Bagi kami anak muda Aceh, tiada
sah satu hari itu berlalu tanpa disertai dengan aktifitas nongkrong di
warung kopi. Aktifitas ini bahkan bisa menyita waktu sampai 3 kali
sehari, yaitu pagi, siang, dan malam. Pagi hari pun, sebelum memulai
aktifitas baik itu kuliah ataupun pergi kerja, masih disempat-sempatkan
untuk singgah sebentar ke warung kopi. Hanya untuk bisa merasakan
hangatnya seruput kopi di pagi hari yang dingin.
Pengalaman saya pada waktu itu
merasakan betapa kuatnya daya tarik warung kopi sebagaimana yang
dirasakan oleh sebagian besar pria di Aceh. Sebagai mahasiswa tingkat
satu pada waktu itu, warung kopi bukan hanya tempat untuk menikmati
secangkir kopi, namun juga sebagai wadah anak-anak muda Aceh berkumpul
dan saling bersilaturahmi. Pulang kuliah siang hari, sudah menjadi
rutinitas kami untuk ngumpul-ngumpul di warung kopi untuk melepas penat
sesaat dan lari dari padatnya jadwal kuliah yang sudah menguras tenaga
dan pikiran. Tempat yang menjadi favorit pada waktu itu dimana lagi
kalau bukan di Ulee Kareng, yang terkenal dengan kopi Ulee Karengnya
bukan hanya dikenal oleh orang-orang Aceh, namun juga turis-turis
mancanegara yang sama-sama sebagai pecinta kopi.
Sebut saja nama-nama Cafe
Flamboyan, Terapung, dan Solong. Semua anak muda kota Banda Aceh pasti
pernah menikmati kopi di situ. Aktifitas itu kadang kami ulangi lagi di
malam harinya di saat pikiran perlu di-refresh akibat pusing sehabis
belajar, atau cuma karena suntuk tak ada kerjaan di rumah. Karena kemana
lagi kami harus mencari pelampiasan kesenangan, di tempat dimana tidak
adanya tempat hiburan semacam mall, apalagi klab malam. Tapi untunglah,
karena tanpa adanya tempat-tempat sejenis itu, kami masih bisa menjaga
akidah kami menjadi seperti sekarang.
Saya pernah baca sebuah cerita
di salah satu artikel mengenai kebiasaan orang Aceh untuk duduk
berlama-lama di warung kopi. Saya rasa sangat tepat menunjukkan kondisi
“sosial” pria-pria Aceh pecinta warung kopi. Ceritanya tentang seorang
suami yang setiap hari menghabiskan waktunya semalaman di warung kopi.
Hanya dengan bermodalkan secangkir kecil kopi, ia bisa duduk tiap
sepulang kerja dari jam 7 sampai jam 11 malam. Setiap malam.
Sampai-sampai istrinya tak habis pikir.
Padahal setiap malam ia juga
menyajikan kopi ke suaminya, tapi tetap saja sang suami keluar setiap
malamnya. Dengan alasan kopi yang dijual di warung lebih enak terasa di
lidah. Diam-diam si istri membeli bubuk kopi yang sama seperti yang
dijual di warung kopi tersebut, dan menyajikan ke suaminya keesokan
malam. Namun apa lacur, si suami tetap berkata bahwa kopi yang dijual di
warung terasa lebih nikmat. Jadi apa sebenarnya daya tarik warung kopi
di Aceh?
Budaya kumpul-kumpul itu yang
sebenarnya menjadi inti dari budaya ngopi masyarakat Aceh. Memang
kualitas kopi tetap berpengaruh, tapi hal itu sama sekali bukan
satu-satunya indikator larisnya suatu warung kopi di Aceh. Teman sewaktu
minum kopi lah yang menjadi faktor kunci dari kenikmatan menghabiskan
waktu berjam-jam di warkop (istilah mereka). Tak masalah mau di warung
gubuk kecil, maupun di cafe sekelas international, yang penting dengan
siapa mereka menghabiskan waktu bersama.
Fenomena ini menunjukkan hal
yang positif, setidaknya bagi saya. Dimana saya melihat orang Aceh
terbukti sangat senang bersilaturahmi, berkumpul dengan sesamanya.
Meskipun hanya untuk membicarakan omongan-omongan ringan yang tak
berbobot dan cenderung penuh khayalan (cat langet istilah orang Aceh,
atau kombur istilah orang Medan). Kalau tidak percaya, lihatlah warung
kopi yang terletak di sudut persimpangan tujuh jalan Ulee Kareng.
Mulai dari pejabat dengan
mobil-mobil mewah terparkir di depan warung sampai mahasiswa dengan
motor-motor bebek terparkir di halaman belakang. Hal yang dibicarakan
juga beragam, dari soal politik negara yang carut marut, harga bensin
yang terus naik, tender proyek, sampai masalah bagaimana mendapatkan
hati sang gadis pujaan.
Pengalaman itu yang saya rasakan
kembali ketika saya menginjakkan kaki di tanah Jerman ini. Perasaan
seolah bagaikan de javu dimana sewaktu saya melihat pemandangan puluhan
orang Jerman tua dan muda (mayoritas pria) duduk dalam sebuah warung
minum dan menikmati segelas besar bir. Ya, bir memang, bukan kopi.
Tetapi dengan atmosfer yang sama dengan yang saya rasakan ketika di Aceh
dulu. Hanya jenis minuman yang disajikan saja yang berbeda. Hampir di
setiap sudut jalan di semua kota di Jerman bisa ditemukan warung bir.
Hal yang sama terjadi di Aceh
dengan warung kopinya. Ketika saya bertanya ke salah seorang teman
Jerman saya, hal apa yang menarik dari acara kumpul-kumpul dan menikmati
segelas bir itu? “Well, bukan rasa bir nya yang membuat kami enjoy,”
jawabnya. “Kami bisa saja menikmati bir di rumah. Tetapi berkumpul
bersama kerabat dan teman-teman lah yang membuat kami sangat menikmati
saat-saat itu”, tambahnya. Wow, hal yang sama yang saya rasakan ketika
di Aceh, pikir saya.
Bukan maksud saya untuk
menyamakan budaya minum bir dengan budaya minum kopi. Saya tau bir haram
bagi agama Islam. Namun hal itu (bir) merupakan hal yang lumrah dan
sangat lazim ditemukan di Jerman. Sama halnya dengan kopi di Aceh.
Biarlah mereka hidup dengan agama dan keyakinannya, tak usahlah kita
permasalahkan. Yang mau saya ulas di sini adalah kesamaan tingkah yang
membuat saya amazed. Bahwasanya orang barat yang biasanya terkenal
sangat individualis, ternyata di belahan Eropa sini masih juga
menjunjung budaya silaturahmi, saling menjaga persaudaraan.
Seperti halnya pengalaman saya
ketika mengunjungi Volkfest (mirip seperti Oktoberfest) lalu, dimana
dalam satu area luas terdapat beberapa warung minum bagaikan hangar
pesawat yang didalamnya dapat menampung sampai 100 orang. Didalamnya lah
berkumpul orang-orang Jerman menikmati bir sambil berbincang-bincang
dengan kerabatnya. Tidak ada gap antara si kaya dan si miskin, semuanya
sama di dalam situ. Mulai dari pengusaha berjas sampai petani dengan
jeans belelnya duduk di satu meja mengobrol seru. Inilah orang Jerman,
batin saya.
Saya yakin, tidak semua hal yang
berhubungan dengan budaya barat bisa kita justifikasikan negatif. Dari
apa yang saya alami selama di Jerman ini bisa menjadi bukti konkret
bahwa masih ada hal-hal positif lainnya yang bisa kita pelajari dari
budaya barat. Bukan ajakan untuk minum bir tentunya. Buang jauh-jauh
pikiran itu. Petiklah hal-hal yang baik kemudian buanglah hal-hal yang
buruk.
Oleh: Teuku Furqan, mahasiswa Aceh di Jerman
Sumber: ACW, FokusAceh
Oleh: Teuku Furqan, mahasiswa Aceh di Jerman
Sumber: ACW, FokusAceh
0 komentar:
Posting Komentar