Sudah bercampur-aduk dalam sturktur
pemikiran saya menenai ilmu pendidikan. Mulai dari buku-buku motivasi
pengajaran, metode pengajaran, pendekatan, media, etc. Semuanya mengarah
pada tujuan “duniawiyah”.
Sempat terbetik dalam pemikiran saya,
bahwa ada sebuah pendidikan yang akan meretas semua kasus, konflik dalam
dunia pendidikan ini. Inilah “Mosque Schooling”. Sudah lumrah jika saya
mengatakan “Home Schooling”, yang berdefenisi semua kurikulum
pendidikan berbasis pada orang-orang rumah. Namun, kini saya menwarkan
hal yang selama ini tertidur. Inilah yang saya sebut “pendikakan
berbasis di masjid”.
Mengapa saya mengambil basis pengajaran
di masjid? Bukankah secara umum pendidikan di kelas? Saya menilai selama
ini kita terlalu mengedepankan “pembangunan baru”, mengupdate
perkembangan, maka terdesainlah kelas, hingga menjadi sekolah. Itupun
bertingkat-tingkat. Tragisnya kita berlomba untuk itu.
Apalagi pada masa Nabi dan khulafa ar
Rasyidin, masjid berfungsi sebagai tempat beribadah, menuntut ilmu, dan
merencanakan kegiatan kemasyarakatan. Dan sekarang ini semua kabur.
Kemanakah semua ini? Terfokus pada menuntut ilmu?
Perhatikanlah, saya menilai itu semua terlalu ceroboh, bukankah ada sebuah lokasi “aman” di sana? Itulah masjid.
Definisi “Masjid”
Menurut istilah yang dimaksud masjid
adalah suatu bangunan yang memiliki batas-batas tertentu yang didirikan
untuk tujuan beribadah kepada Allah seperti shalat, dzikir, membaca
al-Qur’an dan ibadah lainnya. Dan lebih spesifik lagi yang dimaksud
masjid di sini adalah tempat didirikannya shalat berjama’ah, baik
ditegakkan di dalamnya shalat jum’at maupun tidak. Allah berfirman,
” . , (tetapi) janganlah kamu campuri
mereka (istri-istri kamu) itu sedang kamu ber-i’tikaf dalam mesjid .”
(QS. al-Baqarah: 187)
Keutamaan Mendatangi Masjid untuk Belajar
Banyak keutamaan yang disebutkan oleh hadits-hadits nabawiah. Kami mencukupkan dengan hanya menyebutkan sebagian di antaranya:
- “Barangsiapa yang berwudhu di rumahnya dan memperbaiki wudhunya kemudian dia mendatangi masjid, maka dia adalah orang yang berziarah kepada Allah, dan sudah kewajiban bagi yang diziarahi untuk memuliakan orang yang berziarah.”(Ath-Thabarani dalam Al-Kabir)
- “Barangsiapa yang pergi atau berangkat ke masjid maka Allah akan mempersiapkan untuknya hidangan di dalam surga setiap kali dia pergi atau berangkat.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2/117), Muslim (2/132)
- “Barangsiapa yang berangkat ke masjid jamaah, maka setiap langkahnya akan menghapuskan kejelekan dan setiap langkahnya akan dituliskan pahala, pergi dan pulangnya.” Ini berasal dari hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash.
- “Barangsiapa yang berjalan di kegelapan malam menuju ke masjid maka dia akan berjumpa dengan Allah -Azza wa Jalla- dengan cahaya pada hari kiamat.” Ini dibawakan oleh Al-Mundziri (1/129) dari hadits Abu Ad-Darda` secara marfu’.
Subhanallah, ini baru mendatangi masjid
untuk mendirikan konteks pelajaran di sini. Bagaimana lagi jika
diakumulasi dengan nilai pahala bagi pelajar yang menuntut ilmu? Saya
yakin akan menggunung kebaikan di sana. Sekarang kita timbulkan
pertanyaan, apakah ada pahala mendatangi sekolah? Apakah negeri atau
swasta? Yang saya maksudkan mendatangi bentuk fisiknya! Apakah ada
redaksi hadits bahwa Rasulullah merekomendasikan untuk mendatangi
sekolah? Saya yakin pendapat kita sama.
Sekarang kita bisa membahas mengenai
tujuan anak-anak ke sekolah. Survei pasti menyebut bahwa rata-ratas
siswa mendatangi sekolah hanyalah sebatas mencari teman, mencari pacar,
hiburan, kewajiban paksaan orang tua! Tidak ada niat ke arah mendapatkan
pahala ilmu. Sangat sedikit yang demikian.
Pengakuan Ilmuan tentang “Mosque Schooling”
Sejarawan asal Palestina, AL Tibawi,
menyatakan bahwa sepanjang sejarahnya, masjid dan pendidikan Islam
adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Di dunia Islam, sekolah dan
masjid menjadi satu kesatuan. “Sejak pertama kali berdiri, masjid telah
menjadi pusat kegiatan keislaman, tempat menunaikan shalat, berdakwah,
mendiskusikan politik, dan sekolah.”
Sejarah peradaban Islam mencatat,
aktivitas pendidikan berupa sekolah pertama kali hadir di masjid pada
tahun 653 M di kota Madinah. Pada era kekuasaan Dinasti Umayyah, sekolah
di Masjid pun mulai muncul di Damaskus pada tahun 744 M.
Di wilayah Spanyol Muslim, aktivitas
pendidikan pada umumnya bertempat di masjid. Masjid menjadi pusat
aktivitas belajar-mengajar di mulai di daerah kekuasaan Dinasti Umayyah
itu sejak berdirnya Masjid Cordoba pada abad ke-8 M. Kegiatan
belajar-mengajar di masjid memang terbilang unik dan sangat khas. Format
dasar pendidikan di masjid adalah belajar dengan melingkar.
Masjid-masjid besar yang
menyelenggarakan aktivitas pendidikan mampu menarik perhatian para
ilmuwan dan pelajar dari berbagai belahan di dunia Islam. Pada abad
ke-12 M, misalnya, aktivitas keilmuwan yang digelar di Masjid Sankore
Timbuktu, Mali Afrika Barat mampu mendatangkan 25 ribu siswa dari
berbagai negara. Pendidikan yang diselenggarakan di masjid pada masa
kejayaan Islam mampu melahirkan sederet tokoh Muslim terkemuka.
Pendidikan yang digelar di masjid pada
zaman kejayaan Islam ternyata mampu memberi pengaruh terhadap pendidikan
di Eropa. Menurut George Makdisi, guru besar Studi Islam di Universitas
Pennsylvania, pendidikan masjid yang diselenggarakan di era
kekhalifahan telah memberi pengaruh kepada peradaban Eropa melalui
sistem pendidikan, universalitas, metode pengajaran, dan gelar
kesarjanaan yang diberikan.
Pentolan Siswa “Mosque Schooling”
Inilah beberapa manusia teragung keluaran “Mosque Schooling”, meraka menghabiskan banyak waktunya di sana, diantaranya:
- Generasi shahabat yang langsung dipimpin oleh empat khalifah Ar-Rasyidin: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali.
- Generasi tabiin dan diantara tokoh mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyib (meninggal setelah tahun 90 H), ‘Urwah bin Az-Zubair (meninggal tahun 93 H), ‘Ali bin Husain Zainal Abidin (meninggal tahun 93 H), Muhammad bin Al-Hanafiyyah (meninggal tahun 80 H), ‘Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud (meninggal tahun 94 H atau setelahnya), Salim bin Abdullah bin ‘Umar (meninggal tahun 106 H), Al-Hasan Al-Basri (meninggal tahun 110 H), Muhammad bin Sirin (meninggal tahun 110 H), ‘Umar bin Abdul ‘Aziz (meninggal tahun 101 H), dan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (meninggal tahun 125 H).
- Generasi atba’ at-tabi’in dan diantara tokoh-tokohnya adalah Al-Imam Malik (179 H), Al-Auza’i (107 H), Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri (161 H), Sufyan bin ‘Uyainah (198 H), Ismail bin ‘Ulayyah (193 H), Al-Laits bin Sa’d (175 H), dan Abu Hanifah An-Nu’man (150 H).
- Generasi setelah mereka, diantara tokohnya adalah Abdullah bin Al-Mubarak (181 H), Waki’ bin Jarrah (197 H), Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (203 H), Abdurrahman bin Mahdi (198 H), Yahya bin Sa’id Al-Qaththan (198 H), ‘Affan bin Muslim (219 H).
- Murid-murid mereka, diantara tokohnya adalah Al-Imam Ahmad bin Hanbal (241 H), Yahya bin Ma’in (233 H), ‘Ali bin Al-Madini (234 H).
- Murid-murid mereka seperti Al-Imam Bukhari (256 H), Al-Imam Muslim (261 H), Abu Hatim (277 H), Abu Zur’ah (264 H), Abu Dawud (275 H), At-Tirmidzi (279 H), dan An-Nasai (303 H).
- Generasi setelah mereka, diantaranya Ibnu Jarir (310 H), Ibnu Khuzaimah (311 H), Ad- Daruquthni (385 H), Al-Khathib Al-Baghdadi (463 H), Ibnu Abdil Bar An-Numairi (463 H).
- Generasi setelah mereka, diantaranya adalah Abdul Ghani Al-Maqdisi, Ibnu Qudamah (620 H), Ibnu Shalah (643 H), Ibnu Taimiyah (728 H), Al-Mizzi (743 H), Adz-Dzahabi (748 H), Ibnu Katsir (774 H) berikut para ulama yang semasa mereka atau murid-murid mereka yang mengikuti manhaj mereka dalam berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sampai pada hari ini.
- Contoh ulama di masa ini adalah Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Muhammad Aman Al-Jami, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, dan selain mereka dari ulama yang telah meninggal di masa kita. Berikutnya Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Asy-Syaikh Zaid Al-Madkhali, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad, Asy-Syaikh Al-Ghudayyan, Asy-Syaikh Shalih Al- Luhaidan, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimi, Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri dan selain mereka yang mengikuti langkah-langkah mereka di atas manhaj Salaf. (Makanatu Ahli Hadits karya Asy-Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali dan Wujub Irtibath bi Ulama).
Gudang Ilmu itu Bernama Masjid
Oleh karena itu, mari menanam ilmu itu
dengan kembali ke kiblat pendidikan: MASJID. Jangan terlalu terkecoh
dengan pendidikan selain ini. Saya yakin, suatu saat pendidikan semua
kembali ke rumah Allah. Sudah saatnya, kita “menggeser” sekolah ke
kiblat “Mosque Schooling”.
Sumber: Pojok Pendidikan
0 komentar:
Posting Komentar