Dayah berasal dari kata zawiyah, kata ini dalam bahasa Arab
mengandung makna sudut, atau pojok Mesjid. Kata zawiyah mula-mula
dikenal di Afrika Utara pada masa awal perkembangan Islam, zawiyah yang
dimaksud pada masa itu adalah satu pojok Mesjid yang menjadi halaqah
para Sufi, mereka biasanya berkumpul bertukar pengalaman, diskusi,
berzikir dan bermalam di Mesjid. Dalam khazanah pendidikan Aceh,
istilah zawiyah kemudian berubah menjadi Dayah, seperti halnya perubahan
istilah Madrasah menjadi Meunasah. Pada era Islam pertama masuk ke
Nusantara yaitu masa Kerajaan Pereulak telah dikenal adanya
temapat-tempat untuk menekuni dan mendiskusikan ajaran agama, salah satu
tempat yang terkenal kala itu adalah Zawiyah Cot Kala, tempat inilah
yang merupakan lembaga Pendidikan Agama pertama di Nusantara.
Merujuk kepada Sejarah Kerajaan Islam Pereulak, Dayah secara historis
telah ada sejak abad IX Masehi, demikian pendapat Tgk Muslim Ibrahim
dalam tulisannya masyarakat Yang Adil dan Bermartabat. Keberadaan Dayah
di Aceh telah ada bersamaan dengan masuknya Islam ke Aceh pada akhir
masa kekhalifahan Usman bin Affan. Beberapa Dayah yang berkembang saat
itu diantaranya; Dayah Cot Kala, Dayah Kuta Karang, Dar as-syariah
Mesjid Raya, namun semua Dayah ini telah diobrak-abrik Belanda. Pada
abad 5 Hijriah, Mesir menemukan kapal buatan Aceh yang terdampar di Laut
Tengah. Pada masa Iskandar Muda, sebuah kapal Spanyol rusak di perairan
Sabang, kemudian diderek ke pantai dengan gajah dan diperbaiki oleh
satri-santri dayah Dar as-syariah.
Menurut Abdul Qadir Djailani dalam bukunya Peran Ulama dan Santri
Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, Samudera Pasai merupakan
pusat pendidikan Islam pertama di Indonesia dan dari sini berkembang ke
berbagai daerah lain di Indonesia, hingga sampai ke Pulau Jawa. Salah
seorang santri alumni Samudera Pasai adalah Maulana Malik Ibrahim, ia
datang ke Gresik Jawa Timur pada tahun 1399 dan wafat pada tahun 1419,
setelah melakukan dakwah selama dua puluh tahun lamanya, sebelumnya,
Maulana Malik Ibrahim bertugas sebagai Muballigh di daerah Campa yang
merupakan daerah Kesultanan Samudera Pasai, setelah Maulana Malik
Ibrahim wafat, Dayah juga diteruskan oleh anak beliau Raden Rahmat
(Sunan Ampel).
Secara pasti tidak diketahui kapan sebenarnya Dayah masuk ke Aceh.
Namun, A. Hasyimi seorang Sejarawan Aceh, beliau berpendapat bahwa
Dayah masuk ke Aceh sejak awal berdirinya Kerajaan Islam Pereulak pada
Muharram 225 H/840 M. Salah satu penyebab sulitnya mengetahui dengan
pasti kapan sebenarnya Dayah masuk ke Aceh karena minimnya penelitian
dan perhatian yang cukup untuk menggali sejarah perkembangan Dayah,
walaupun Anthony Reid dalam bukunya The Rope God, membahas tentang
lembaga ini, tetapi hanya dibahas perkembangan pada masa abad ke-19 M
dan pertengahan abad ke 20 M. Tidak hanya Anthony Reid, Hasbi Amiruddin
dalam bukunya Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, juga membahas
tentang Dayah tetapi lebih terfokus pada peranan ulamanya, bukan pada
Dayah itu sendiri.
Jika merujuk pada hasil seminar tentang masuk dan berkembangnya Islam
di Nusantara yang dilaksanakan di Rantau Pereulak pada tanggal 25-30
September 1980, mengenai tahun berdirinya Kerajaan Islam Pereulak
sebagai Kerajaan Islam tertua, maka Dayah Cot Kala merupakan Dayah
pertama di Aceh bahkan di Asia Tenggara. Setelah lahirnya Dayah Cot
Kala, maka sesuai dengan tujuan pendirian dayah sendiri, yaitu untuk
mencetak kader ulama sebagai petunjuk ummat, maka Dayah Cot Kala kala
itu telah melahirkan para sarjananya yang dapat menyebarkan Islam ke
seluruh Aceh sehingga lahirlah Dayah-dayah baru seperti Dayah Serele di
bawah Pimpinan Tengku Syekh Sirajuddin yang didirikan pada tahun 1012
sampai dengan 1059 M, Dayah Blang Priya yang dipimpin oleh Tengku Ja`kob
yang didirikan antara tahun 1155-1233 M, Dayah Batu Karang di Kerajaan
Tamiang yang dipimpin oleh Tengku Ampon Tuan, Dayah Lam Keuneuen dari
Kerajaan Lamuria Islam di bawah pimpinan Tengku Syekh Abdullah Kan`an
yang didirikan antara 1196 sampai dengan 1225 M. Dayah Tanoeh Abee
antara Tahun 1823-1836 M dan Dayah Tiro di Kecamatan Tiro Kabupaten
Pidie antara tahun 1781-1795 M, dan dayah-dayah lainnya yang tersebar
di seluruh Aceh di kala itu. Perkembangan Dayah juga dilakukan pada masa
kemunduran Kerajaan Aceh Darussalam (Abad ke 18 dan ke 19 M). Dayah
yang dibangun pada masa tersebut adalah Dayah Tgk Syik Kuta Karang,
Dayah Lam Birah, Dayah Lamnyong, Dayah Lambhuk, Dayah Krueng Rumpet,
mengenai tahun pendirian dayah tersebut belum didapat data yang pasti.
Keberadaan Dayah pada masa perang melawan Belanda mengalami
kemunduran, ini karena seluruh Ulama Dayah dan santrinya itu ikut
berjuang melawan penjajah Belanda, sebagian besar para Ulama dan Tengku
dayah syahid di medan perang, di antaranya Tengku Chik Haji Ismail anak
Tengku Chik Pante Ya`kop (Pendiri Dayah Tgk Chik Pante Gelima), beliau
syahid dalam peperangan melawan Belanda dalam mempertahankan Kuta Glee
(Kawasan Batee Iliek Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen), bersama
dengan Tengku Chik Lueng Kebue dan Tengku Syiek Kuta Glee.
Faktor lain yang menghambat perkembangan Dayah saat itu disebabkan
karena Belanda melakukan upaya-upaya untuk menghambat pendidikan Agama
Islam, serta Belanda menyebarkan pendidikan Barat di Aceh, sehingga
menyebabkan Dayah terbengkalai. Selain itu, Belanda melakukan pembakaran
terhadap Dayah-dayah dan membunuh seluruh staf pengajarnya serta
membumihanguskan seluruh Perpustkaaan yang ada di Dayah, jika ada dayah
yang masih bertahan itupun dibangun di daerah terisolir dan jauh dari
pantauan Belanda.
Setelah usainya peperangan pada tahun 1904 M, barulah Dayah-dayah
yang telah terbengkalai tersebut dibangun dan dibenahi kembali untuk
dapat digunakan kembali ssebagai lembaga pendidikan, adapun Dayah yang
dibangun kembali setelah perang Aceh usai antara lain, di Aceh Besar:
Dayah Tanoeh Abee, Dayah Lambirah oleh Tengku Syik Lambirah, sedangkan
adiknya Tengku Haji Ja`far (Tengku Syik Lamjabat) membangun Dayah
Jeureula, selanjutnya juga dibenahi Dayah Lamnyong, Dayah Lambhuk, Dayah
Ulee Susu, Dayah Indrapuri, Dayah Lamsenouen, Dayah Krueng Kale, Dayah
Montasik dan masih banyak lagi Dayah-Dayah yang dibangun di Daerah Aceh
Besar. Tidak hanya di kawasan Aceh Besar, Pidie, Aceh Urata, Aceh Barat
dan beberapa daerah lainnya di Aceh juga ikut membenahi kembali Dayah
yang hancur atau ditinggalkan karena perang kala itu.
Perlu dicatat, saat itu banyak Ulama yang ikut berjuang namun tidak
sedikit juga diantara mereka yang mengasingkan diri keluar Aceh,
diantaranya ke Negeri Keudah (Malaysia Sekarang). Salah satu tempat
penting mereka berkumpul adalah Negeri Yan di Keudah, di sinilah mereka
melanjutkan tradisi pendidikan Dayah selama perang Aceh berlangsung,
setelah perang reda, mereka yang tadinya mengasingkan diri segera pulang
untuk kembali melanjutkan dan membangun kembali sistem pendidikan Dayah
yang telah mengalami kemunduran pada saat perang berkecamuk, di samping
tokoh Ulama yang pulang dari negeri Yan, ada juga yang langsung pulang
dari Mekkah, seperti Tengku Haji Muhmmad Thahir Cot Plieng, bahkan
beliau pernah bertemu dengan Snouck Hogrounje saat sama-sama berada di
Mekkah.
Setelah perang usai Dayah mengalami perkembangan, walaupun
perkembangan yang terjadi pada waktu itu tidak begitu berarti, karena
pada saat itu para Ulama Dayah disibukkan dengan perlawanan melawan
Jepang, serta kebijakan Jepang saat itu menerapkan kerja paksa serta
mengabaikan sisi-sisi lain dalam kehidupan masyarakat, termasuk
pendidikan di dalamnya. Beberapa hal tersebut membuat Dayah dalam kurun
waktu 3,5 Tahun masih jalan di tempat.
Pada masa kemerdekaan mulai tahun 1945 M, perkembangan Dayah sudah
menampakkan hasil yang cukup baik, ini dapat dilihat dari perkembangan
Dayah Darusslamam Labuhan Haji Acah Selatan, Dayah MUDI MESRA Samalanga, Dayah BUDI
Lamno, dan Dayah dayah yang lain. Tidak hanya Dayah, Sekolah pun mulai
berkembangan, sekolah bersifat Negeri dengan dukungan dan bantuan dari
pemerintah sedangkah Dayah umumnya bersifat pribadi yang dikelola oleh
Pimpinan Dayah sendiri dengan bentuan swadaya masyarakat.
Sumber: Kemenag Aceh
Sumber: Kemenag Aceh
0 komentar:
Posting Komentar