Peta Aceh |
Aceh merupakan sebuah wilayah dalam konteks sebuah negeri, sebuah provinsi dan sebuah pemerintahan. Ungkapan tersebut dapat digunakan dalam masa-masa tertentu mengikut arus perputaran sejarah yang ada. Pada suatu ketika Aceh memang benar-benar sebuah negara tangguh, berdaulat yang menjadi ukuran bagi negara-negara lain di belahan bumi ini. Pada waktu yang berbeda Aceh merupakan sebuah provinsi dalam sebuah negara yang tidak banyak hal dapat dilakukan oleh bangsanya. Namun demikian, dalam dua masa tersebut Aceh memang punya sistem pemerintahan yang berbeda antara berkuasa dengan yang dikuasai.
Wilayah yang dihuni mayoritas ummat Islam tersebut mempunyai banyak gelar dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di nusantara dan kepulauan Melayu. Gelar Aceh Tanöh Rincông (Tanah Rencong) merupakan ciri khas utama bagi negeri ini karena di sinilah satu-satunya tempat produk rencong secara besar-besaran dari dahulu hingga sekarang. Dan dengan Rencong ini pula bangsa Aceh berjaya mempertahan Islam dari gangguan kafir dari benua Eropa. Rencong merupakan satu alat atau senjata tajam yang dibuat dalam bentuk kalimat bismillah yang dikhabarkan memiliki makna serta khasiat tertentu padanya. Aceh boleh berbangga dengan rencong ini sebab selain memiliki keberkatan ia juga tidak dimiliki oleh bangsa lain. Ini berbeda dengan keris yang ada di mana-mana seperti di Jawa, Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam. Ia juga berbeda dengan klewang yang dimiliki oleh hampir semua suku dan bangsa di belahan kepulauan melayu. Gelar Aceh Tanah Rencong merupakan satu nisbah otomatis bagi Aceh atas peran dan fungsi rencong dalam perlawanan melawan penjajah pada suatu masa dahulu.
Aceh Tanah Rencong semakin populer ketika beberapa kali wilayah ini bertarung mempertahankan aqidah dan maruah dengan kaum penceroboh (penjajah) mulai dari perlawanan terhadap Portugis, Inggris, Belanda, Jepang dan juga Indonesia. Hampir semua periode perlawanan bangsa Aceh menggunakan rencong untuk menusuk penceroboh walaupun dalam posisi satu lawan satu. Pada masa perlawanan terhadap Belanda banyak orang Aceh yang menusuk Belanda dengan rencong secara tiba-tiba dan spontan serta mematikan. Perihal yang sama juga terjadi dalam kancah perlawanan terhadap Indonesia pada periode DI/TII dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sehingga dengan sikap dan cara demikian Belanda menggelar istilah Aceh Pungo (Aceh Murden).
Rencong hampir tidak didapati di wilayah lain selain Aceh dan penggunaannya yang sangat spesifik dalam pertarungan ‘aqidah dan maruah', maka gelar Aceh Tanah Rencong pun melekat untuk Aceh. Gelar ini lebih dinisbahkan kepada makna dan fungsi serta filosofi rencong sebagai sebuah alat pertahanan dalam masa-masa sempit dan genting, ketika memasuki masa lega dan nyaman ia lebih berposisi sebagai hiasan dan benda sejarah yang bernilai tinggi. Karenanya gelar Aceh Tanah Rencong bukanlah sesuatu yang dibesar-besarkan apalagi kalau yang diada-adakan. Tetapi gelar ini menjadi sebuah kenyataan yang berpadanan serta berpatutan bagi Nanggroe Aceh Darussalam.
Gelar Bumi Iskandar Muda terhadap Aceh dikarenakan pada masa Iskandar Mudalah kerajaan serta Islam jaya raya di Aceh sehingga terkenal keseluruh penjuru dunia. Diantara sekian banyak raja dalam kerajaan Islam Aceh Darussalam hanya pada masa Iskandar Muda inilah Aceh sanggup menaklukkan lebih separuh Pulau Sumatera dan semenanjung Malaysia. Dan pada masa ini pula Aceh disegan oleh negara-negara di benua Eropa seperti Portugis, Inggris, Belanda dan juga Turki, sementara negeri-negeri sempadan sudah tunduk dan patuh kepadanya. Pada masa tersebut Aceh juga menjadi negara super power dalam bingkai lima besar kerajaan Islam dunia. Kelima negara tersebut adalah: Kerajaan Islam Turki Usmani di Istanbul Asia, Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara, Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah, Kerajaan Islam Akra di anak benua India, dan Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia Tenggara.
Gelar yang dinisbahkan kepada nama seorang raja agung ini sangat sepadan untuk Aceh mengingat bangsanya yang berani dan perkasa. Keturunan mereka juga sering disebut cucu-cucu Iskandar Muda manakala bangsa ini tengah bertarung merebut hak dan mempertahankan kebenaran seperti yang terjadi dalam kasus DI/TII dan GAM.
Pertarungan mempertahankan digniti menjadi bahagian daripada mempertahankan ‘aqidah dan iman bagi Bangsa Aceh, karena itu pula gelar Aceh Bumi Iskandar Muda sering dijuluki kepada Aceh, karena di bumi Aceh inilah raja agung tersebut berjaya mempertahankan aqidah Islamiyah dan digniti bangsa yang bermaruwah.
Tidaklah menjadi satu keanehan atau sesuatu yang dilebih-lebihkan apabila kita sedikit berbangga dengan gelar Aceh Bumi Iskandar Muda. Mengingat peran sertanya dalam mempertahankan agama, bangsa dan negara dari serbuan dan gangguan penjajah asing yang biadab. Malah dalam kajian dan pandangan para filosof dan historian perihal ini semestinya harus dilestarikan dan dipopulerkan kepada generasi mendatang guna memperkokoh watak revolusioner dan mempertahankan keutuhan digniti bangsa.
Aceh disebut Bumi Gajah Putéh karena pada masa Iskandar Muda Meukuta Alam menjadi raja, ia megah dengan seekor gajah berwarna putih. Gajah tersebut tunduk patuh dan menurut segala perintah raja sehingga menjadi perhatian orang ramai. Pada masa itu dikhabarkan sangat jarang terdapat gajah yang berwarna putih dan berperangai seperti manusia. Namun, gajah putih yang ada pada kerajaan Aceh tersebut memilki keistimewaan-keistimewaan yang amat luar biasa.
Sempena kehebatan gajah putih tersebut Aceh menjadi megah dengan gelaran Bumi Gajah Putéh. Gelar ini tentunya menjadi sebuah nilai sejarah yang amat berharga bagi Aceh sendiri sehingga ke hari ini. Sempena menghargai dan menghormati nilai sejarah tersebut. Di Takengon (Aceh Tengah) dibangun sebuah universitas dengan gelar Universitas Gajah Putéh. Nama ini ditabalkan pada universitas tersebut mengingat gajah putih dimaksud dahulu berada dan dipelihara di negeri antara (Takengon) tersebut.
Aceh juga digelar Daerah Modal, karena ketika Indonesia sudah ditaklukkan Belanda dalam agresi (serbuan) pertama dan kedua tahun 1947 & 1948 hanya Aceh-lah yang mempertahankannya sehingga Indonesia merdeka. Sementara semua wilayah lain di Indonesia dari Marauke sampai ke Sumatera Utara sudah berhasil dibungkam Belanda. Dengan izin Allah bangsa Aceh telah berhasil memerangi dan mengusir penjajah Belanda bukan hanya dari Aceh tetapi dari Indonesia secara keseluruhan. Artinya dengan perjuangan bangsa Aceh membuat Indonesia mendapat rekom merdeka dari PBB. Bangsa Aceh menyerbu Belanda di front Medan Area pada masa kepemimpinan Teungku Muhammad Daud Beureu-éh sebagai gubernur tentara untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo.
Selain itu, Aceh juga menyiarkan berita melalui Radio Rimba Raya ke seluruh dunia untuk membantah pernyataan Belanda yang mengatakan Indonesia sudah ditakluk kembali. Dengan siaran Radio Rimba Raya inilah Aceh terkenal gagah dan berani di mata dunia, apalagi pada masa itu Aceh belum dapat dipisahkan dengan Indonesia, maka imbasnya menjadikan Indonesia merdeka. Terakhir Aceh menyumbangkan dua pesawat terbang pertama kepada Indonesia sebagai dasar Garuda Indonesia Airways (GIA).
Pembelian dua pesawat Dakota tersebut terjadi melalui proses pengutipan sumbangan dari Bangsa Aceh yang diprakarsai oleh Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) pimpinan M. Joened Joesoef. Dikarenakan keseriusan Aceh membantu Indonesia untuk merdeka, maka dalam masa lawatannya ke Aceh tahun 1948 Presiden Soekarno dengan tegas mengatakan bahwa Aceh adalah Daerah Modal untuk Indonesia. Hal yang sangat disayangkan adalah, hanya satu pesawat terbang saja yang dibeli petinggi Indonesia, sementara dana untuk satu pesawat terbang lagi tidak jelas dibawa kemana. Begitulah permainan politik ngawur yang masih berimbas sampai hari ini. Sekarang Indonesia menepis nilai sejarah tersebut dalam wacana nina bobo untuk meredam nilai perjuangan bangsa Aceh dengan slogan Aceh Daerah Modal.
Aceh juga disebut Daerah Istimewa karena Aceh diistimewakan dalam tiga bidang yaitu; bidang agama, bidang pendidikan dan bidang adat istiadat dalam masa orde lama pimpinan Soekarno. Keistimewaan yang diisytiharkan bersamaan dengan Ikrar Lamteh tersebut dalam masa panjang dapat meredam kemarahan bangsa Aceh dengan penipuan halus pihak Indonesia. Keistimewaan tersebut diberikan kepada Aceh sebagai imbalan perdamaian antara pejuang-pejuang Islam Aceh yang bergabung dalam wadah DI/TII pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureu-éh dan rekan-rekannya. Proses keistimewaan ini terjadi sebagai sebuah hasil perdamaian antara pihak pejuang Islam Aceh dengan pemerintah pusat di Jakarta yang diprakarsai oleh Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi, sehingga proses ini terkenal dengan nama Misi Hardi. Memang tidak dapat dibantah bahwa Aceh memiliki banyak keistimewaan, namun keistimewaan itu selalu dikelabui oelh pemerintah pusat di Jakarta, termasuk tiga keistimewaan dalam Misi Hardi yang tidak pernah terwujud sampai hari ini. Sebuah keistimewaan yang tidak pernah istimewa.
Pada masa berkecamuknya perjuangan kemerdekaan Gerakan Aceh Merdeka dalam rentang waktu tahun 1976 sampai 2005, Aceh kembali mendapat empat keistimewaan dari Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan dikuatkan oleh UU.No. 18 Tahun 2001. Kali ini Aceh istimewa dalam bidang agama Islam, dalam bidang pendidikan Islam, dalam bidang Adat istiadat Islam dan peran kaum ulama. Hal yang harus disayangkan dalam kasus ini adalah; belum lagi 30 persen keistimewaan tersebut berjalan di Aceh, kini Aceh tertindih dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) yang disahkan bulan Juli 2006 yang lalu. Kembalilah Aceh menjadi sebuah wilayah istimewa yang tidak pernah istimewa. Namun semua kita tetap berharap dan menghayal sebuah Negeri Aceh yang super istimewa.
Sebagai efek dari pada dua Undang-undang tersebut (UU.No.44 1999 dan No. 18 2001) Aceh juga mendapatkan gelar Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Gelar ini hanya bertahan lebih kurang tujuh tahun terhitung Tahun 1999 sampai 2006. Selepas itu Aceh kembali diatur oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) yang baru disahkan Indonesia Juli 2006 dan belum tentu arahnya mau kemana. Undang-Undang terakhir ini wujud sebagai akibat implementasi hasil MoU Helsinki antara GAM dengan RI.
Terakhir gelar yang paling menyejukkan hati bagi negeri Aceh adalah Serambi Makkah. Gelar ini diperoleh Aceh sebagai efek beberapa peristiwa menarik yang pernah terjadi di negeri ini. Peristiwa menarik pertama adalah Aceh merupakan tempat pertama masuknya Islam di wilayah nusantara dan kepulauan Melayu. Peristiwa yang kedua adalah Aceh telah berjaya mengembangkan Islam itu keseluruh negara-negara Asia Tenggara. Peristiwa ketiga adalah Aceh memiliki ulama-ulama besar yang bertaraf internasional seperti Nuruddin Ar-Raniry, Abdul Rauf As-Singkili, Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani dan lain-lain. Persoalan yang keempat adalah Aceh memiliki karya sastra Islam yang bernilai sangat tinggi, seperti: Tajussalatin, Bustanussalatin dan lain-lain. Perkara yang kelima adalah Aceh memiliki institusi pendidikan tinggi yang bertaraf internasional seperti Zawiyah Bukét Cék Brék, Zawiyah Cot Kala, dan Jami’ah Baiturrahman. Yang keenam, Aceh pernah menjadi tempat berkumpul jamaah haji dari berbagai tempat di luar Aceh sebelum berangkat dan sekembalinya dari tanah suci untuk belajar berbagai ilmu, termasuk cara-cara menunaikan haji. Yang ketujuh, Aceh pernah menjadi salah satu negara super power dunia dalam bingkai lima besar super power Islam pada masa Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam.
Kelimanya adalah:
(1). Kerajaan Islam Turki Usmaniyah yang berpusat di Istanbul, Asia Minor,
(2). Kerajaan Islam Morokko di Afrika Utara,
(3). Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah,
(4). Kerajaan Islam Akra di benua India,
(5). Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia Tenggara.
Dan terakhir Aceh memiliki kerajaan-kerajaan Islam pertama di nusantara dan kepulauan Melayu.
Prof. Dr. Hamka memuji dan mengakui bahwa Aceh memang memiliki banyak ulama di masa silam, baik ulama-ulama tempatan maupun ulama-ulama yang berasal dari luar seperti dari Arab, Persia, India dan sebagainya. Umumnya para ulama itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi, dengan kemampuan itulah membuat bangsa luar kagum kepada Aceh sehingga Aceh digelar Serambi Makkah. Gelar Serambi Makkah ini menurut catatan Nuruddin Ar-raniry dalam kitabnya Bustanussalatin telah wujud sebelum pemerintahan Ratu Safiatuddin.
Dalam kesempatan lain Prof. Dr. Hamka menggambarkan situasi Aceh Serambi Makkah dari segi latarbelakang sejarah keagamaan dan keulamaan. Menurutnya; sebutan Serambi Makkah terhadap negeri Aceh bukanlah suatu hal yang dibuat-buat akan tetapi suatu kenyatan sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Untuk mengangkat nama sebuah negeri sehingga mencapai sebutan demikian mulia tidaklah menghendaki kepada ramai orang, apabila kita sebut nama dua orang ulama Aceh maka samalah artinya dengan 1000 atau 2000 orang lain.
Keberadaan dua orang ulama besar di Aceh seperti Syaikh Abdul Rauf As-Singkili dan Nuruddin Ar-Raniry telah membuat Aceh menjadi masyhur dan terkenal dalam bidang agama Islam. Dengan karya-karya merekalah nama Aceh terangkat di mata dunia, dan mereka sangat dekat dengan pihak istana raja, sehingga raja di waktu itu dapat dipengaruhi mereka untuk mempraktikkan Islam dalam implementasinya. Selain Syaikh Abdul Rauf As-Singkili dan Nuruddin Ar-Raniry banyak juga para ulama lainya di Aceh, tetapi karya sastra mereka tidak semua ditulis oleh ulama Aceh tersebut.
Salah satu karya Abdul Rauf yang sangat terkenal dan berkesan sampai hari ini adalah kitab tafsir Turjuman Al-Mastafiid. Tafsir ini merupakan tafsir pertama yang tercantum di dalamnya seluruh isi Al-Qur’an mulai dari surah Al-Fatihah sampai surah Al-Nash. Pemahaman tafsir ini masih terus berlanjut hingga ke abad ke-15 dan sampai sekarang ini masih dicetak ulang dan diterjemahkan oleh penulis buku terkenal di Mesir, Syaikh Mustafa al-Babi al-Halabi. Tafsir ini masih dibaca dengan tekun oleh penduduk Muslim di negeri Siam, Kamboja, Malaysia dan penduduk Banjar. Dengan keagungan nilai karya inilah salah satu faktor sehingga Aceh disebut Serambi Makkah.
Abdul Rauf yang oleh Dr. Rinkes, seorang sarjana Belanda menyebut nama penuhnya Syaikh Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili adalah ulama besar yang hidup di zaman kerajaan Iskandar Muda Mahkota Alam pada abad ke 17 masehi. Pada masa ini interaksi Aceh dengan ilmu dunia dan akhirat serta keteguhan kerajaan dan kemajuan agama Islam yang sudah demikian lama sampai sekarang belum hilang dan melahirkan pepatah Aceh yang terkenal: Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana (Adat dibawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda, Hukum Syara' dibawah kekuasaan Syiah Kuala/Abdul Rauf, Qanun bersama Puteri Pahang dan Resam diurus oleh Laksamana/Bentara).
Zakaria Ahmad mengaitkan Aceh Serambi Mekkah dalam konteks keulamaan, kedalam empat orang ulama besar di masa silam yaitu: Hamzah Fansuri yang hidup sekitar pertengahan abad ke 16 dan pertengahan abad 17--dimasa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukammil dan permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam. Tahun kelahiran dan wafat beliau sampai sekarang tidak diketahui secara pasti. Ada yang mengatakan Hamzah Fansuri lahir di Barus (Sumatera Utara) yang dahulu masuk wilayah Aceh, dan ada pula yang mengatakan lahirnya di Pansur dekat dengan Singkel (dulu Aceh Selatan, sekarang Aceh Singkil).
Ulama kedua adalah Syamsuddin As-Sumatrani yang tarikh lahirnya juga tidak dikenal pasti, namun asalnya dari Samudera Pasai dan meninggal 12 Rajab 1039 H/1630 masehi. Beliau dikenal sebagai pendukung kuat bagi Hamzah Fansuri serta seorang pembesar dalam istana kerajaan Aceh sebagai penasehat yang sangat dihormati sejak Sultan Al-Mukammal sampai pada sa’at wafatnya di zaman Sultan Iskandar Muda. Pengunjung-pengunjung barat seperti John Davis dan James Lancaster mengatakan bahwa perannya sangat besar dalam kerajaan Aceh, terutama sekali berkenaan dengan perkara-perkara agama.
Ulama ketiga menurut Zakaria adalah Nuruddin Ar-Raniry, beliau lahir di Gujarat dari hasil campuran Malaya (ibunya) dan Arab Hadramaut (ayahnya). Diketahui dari sejumlah hasil karyanya, baik dari buku-buku agama dan ilmu pengetahuan, ternyata Nuruddin Ar-Raniry bukan saja ulama besar tetapi juga seorang ahli pikir dan pakar sejarah yang terkenal. Beliau telah menulis banyak buku dan salah satu bukunya yang terkenal adalah Bustanussalatin. Beliau sempat disejajarkan sebagai mufti besar pada masa kerajaan Sultan Iskandar Thani, pengganti Sultan Iskandar Muda di Aceh.
Ulama yang keempat adalah Syaikh Abdurrauf Singkil yang diperkirakan lahir pada tahun 1620 di Singkil, Aceh. Nama lengkap beliau adalah Abdul Rauf bin Ali al-Jawi Alfansuri al-Singkeli. Ulama ini masyhur dalam abad ke 17 di masa Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam memerintah Negeri Aceh Darussalam.
Peran ulama ini sangat besar dalam kerajaan di masa itu sehingga lahir satu hadih maja (pepatah Aceh) :
Adat bak Po Teumeureuhôm
Hukôm Bak Syiah Kuala
Kanun Bak Putroe Phang
Reusam bak Laksamana
Hukôm Bak Syiah Kuala
Kanun Bak Putroe Phang
Reusam bak Laksamana
Artinya:
Persoalan adat diatur oleh raja yang bergelar Po Teumeureuhôm
Perkara hukum diputuskan oleh ulama/Abdul Rauf yang bergelar Syiah Kuala.
Hal-hal yang berkenaan dengan qanun berada pada Puteri Pahang/Kamaliah
Sementara reusam pada Laksamana (Bentara).
Perkara hukum diputuskan oleh ulama/Abdul Rauf yang bergelar Syiah Kuala.
Hal-hal yang berkenaan dengan qanun berada pada Puteri Pahang/Kamaliah
Sementara reusam pada Laksamana (Bentara).
Empat orang ulama inilah yang menjadi pencetus Aceh menjadi Serambi Makkah. Dalam uraian di atas, keempat ulama tersebut memiliki kemampuan dalam berbagai ilmu pengetahuan, sehingga mampu dan sanggup menyelesaikan semua perkara yang dihadapi kerajaan Islam Aceh Darussalam pada masa itu. Dan mereka pula sanggup menaklukkan hati raja untuk memastikan syari’at Islam berlaku dalam kerajaannya.
Para ulama tersebut sebagaimana diakui Hamka datang dari berbagai negara di belahan dunia, selain ada ulama-ulama tempatan yang memperdalam ilmu pengetahuannya di negera-negara Arab. Dengan percampuran semacam ini menjadikan Aceh dipenuhi oleh berbagai metode dan teknis penyampaian ilmu kepada rakyat dan menjadi bervariasi pula jenis ilmu pengetahuan yang tersebar di bumi Aceh, serta memperkuat rasa silaturrahmi sesama insan, sehingga Aceh disebut Serambi Makkah.
Aceh telah menjadi tempat bagi ulama-ulama besar dari seluruh penjuru dunia untuk bermastautin dan mendapat perlindungan sultannya. Sehubungan dengan perkembangan itulah Aceh kemudian menjadi Serambi Makkah atau The Gate of The Holy Land. Istilah ini bukanlah perkara yang dibuat-buat tanpa bukti, akan tetapi istilah ini merupakan kenyataan sejarah yang tidak boleh dibantah. Jama’ah Haji dari seluruh Indonesia dan Malaysia yang akan menunaikan ibadah haji menjadikan Aceh sebagai terminal keberangkatan maupun setelah kembali dari sana. Mereka kemudian berada di Aceh untuk beberapa lama guna memperdalam ilmu agama, termasuk kursus Haji. Kenyataan ini menjadi bukti betapa dekatnya Aceh dengan Makkah pada masa itu, keakraban ini diperkuat juga oleh persamaan aliran agama antara kedua belah pihak, sebagaimana yang dirangkum para ulama besar Aceh seperti Syamsuddin As-Samatrani, Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniry.
Mr.S.M.Amin seorang pakar sejarah dan bekas Gubernur Sumatera Utara menilai bahwa Aceh patut dan pantas digelar Serambi Makkah mengingat keteguhan dan rasa fanatik rakyatnya terhadap Islam yang sangat luar biasa. Mereka sangat cinta kepada Islam bahkan melebihi dari yang lainnya, sehingga dalam perang melawan Inggris, Portugis, Belanda, Jepang dan rezim sekuler Jakarta mereka rela syahid demi Islam, bukan demi harta dan keturunan.
Demi Islam orang Aceh telah rela menyumbangkan jiwa, raga, harta dan nyawa sebagaimana terlihat dalam setiap peperangan melawan penjajah. Untuk mempertahankan Islam di Indonesia, Aceh telah mempertahankan front Medan area di Sumatra Timur dalam tahun 1947-48, puluhan ribu ton beras, ribuan lembu dan kerbau, berkarung-karung amunisi telah dikirim ke Medan Area dan Tapanuli. Selain itu, mereka juga telah menampung dan membiayai sejumlah pelarian dari Sumatra Utara, Padang dan sekitarnya di bumi Aceh yang merupakan satu-satunya wilayah yang masih aman dari penjajahan. Pada saat itu semua pemimpin negara Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), mulai dari Presiden sementara Syafruddin Prawiranegara sampai kepada staf Angkatan Laut dan Udara berpindah tempat dari Bukit Tinggi Sumatra barat ke Kutaraja (Banda Aceh) dan mendapat perlindungan serta bantuan sepenuhnya daripada umat Islam Aceh.
Selain membiayai sepenuhnya PDRI, rakyat Aceh juga membiayai Dr. Sudarsono di India, L.N.Palar di Pertubuhan Bangsa-bangsa Bersatu (PBB) New York, perwakilan Republik Indonesia di Pulau Pinang dan Singapura. Selain itu, biaya bagi duta keliling Haji Agussalim dan biaya Konperensi Asia di New Delhi pun dikeluarkan dari dana perjuangan rakyat Aceh. Lebih jauh lagi, Aceh dengan ikhlas dan nyata telah menyumbangkan dana untuk membeli dua pesawat terbang dari hasil sumbangan masyarakat secara sukarela, dari dana inilah kemudian dibeli satu pesawat terbang RI-001 sementara sisa uang yang lain tidak jelas digunakan untuk apa. Dalam kondisi seperti ini Presiden Soekarno dengan jelas dan tegas menyebut Aceh sebagai Daerah Modal.
Selain itu, sejak 31 Maret 1949-11 Julai 1949 Aceh telah menyumbangkan dana kepada Mr.A.A.Maramis sebagai perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebanyak S$ 100.000, kepada Indonesian Office di Singapura S$ 50.000, kepada Angkatan Perang Indonesia S$ 250.000, Pengembalian pemerintah pusat ke Yogyakarta S$ 100.000 yang semuanya berjumlah S$ 500.000.
Dengan sejumlah keterangan dan kenyataan tersebut di atas, maka sulit bagi siapapun untuk membantah atau merubah sejarah keberadaan Aceh yang sebenarnya. Bahwa, orang Aceh itu memiliki keteguhan iman dan pendirian yang teguh serta memiliki sifat rela berkorban demi membela Islam sebagai sebagai bagian dari keyakinanya. Dengan kenyataan itu pula Aceh menjadi megah dan bergelar Serambi Makkah.
0 komentar:
Posting Komentar