Mengejutkan. Ternyata negara yang paling oke tata kelola pendidikannya
bukanlah Amerika Serikat, Jepang atau Jerman. Akan tetapi, kiblat
pendidikan dunia saat ini mengarah ke negara Findlandia.
Amerika Serikat sendiri berada jauh dibawah level Finlandia, tepatnya di urutan ke-17. Lalu, dimana daya tariknya sistem pendidikan di Finlandia dengan negara-negara lainnya khususnya Indonesia? Jawabannya adalah di kemandirian siswa dan gurunya.
Di Finlandia kemandirian dalam mengikuti proses belajar mengajar itu tidak hanya dinikmati oleh guru-gurunya yang begitu dihormati tetapi juga ditularkan kepada para pelajar melalui berbagai kesempatan-kesempatan penting.
Salah satunya dimana setiap pelajar diberi otonomi khusus untuk menentukan jadwal ujiannya untuk mata pelajaran yang menurutnya sudah dia kuasai.
Sistem inilah yang dipertahankan oleh Finlandia hingga akhirnya berhasil mengantarkan negara ini berada pada posisi puncak sebagai negara yang paling berhasil mengelola pendidikan nasionalnya.
Fantastiknya, dalam evaluasi belajar, angka ketidak lulusan secara nasional tidak pernah melebihi 2 persen pertahunnya. Finlandia juga tidak mengenal istilah ujian semester apalagi ujian nasional layaknya ditanah air.
Evaluasi belajar secara nasional dilakukan tanpa ada intervensi pemerintah sekali pun. Karena setiap sekolah bahkan guru berkuasa penuh untuk menyusun kurikulumnya sendiri.
Jadi jangan pernah berhayal bahwa guru-guru di Finlandia disibukkan untuk mengejar terget-target tertentu karena di negeri ini guru selalu menyesuaikan bahan ajarnya dengan kebutuhan setiap pelajar.
Jadi, di Finlandia siapa pun presidennya dan menteri pendidikannya tidak akan berpengaruh signifikan terhadap masa depan pendidikan. Karena fungsi pemerintah dalam memajukan sektor pendidikan adalah dukungan finansial dan legalitas.
Mau bagaimana caranya, maka gurulah yang berwewenang atas itu karena guru dipandang sebagai sosok yang paling mengerti mau dimana wajah pendidikan Finlandia dibawa dimasa yang akan datang.
Sistem ini telah berdampak positif kepada pola cara mengajar guru yang tidak terlalu dipusingkan oleh hiruk pikuknya politik nasional negaranya.
Keseriusan negara Finlandia menyokong keberhasilan pendidikan nasionalnya dibuktikan dengan diterapkannya kebijakan gratis sekolah 12 tahun. Kerenkan?
Ada hal menarik lainnya. Bila ditanah air setiap tahun selalu saja ada perubahan guru yang masuk silih berganti tidak demikian halnya di Finlandia. Jangankan berganti bahkan setiap kelas akan diasuh oleh 3 orang guru sekaligus.
Dua orang guru bertindak sebagai guru mata pelajaran sedangkan satu orang lagi menjadi pengawas dan pembimbing setiap siswa dalam memahami setiap bidang studi.
Jadi, bila di Indonesia belajar 12 tahun berarti mengenal belasan bahkan puluhan guru maka di Finlandia selama 12 tahun setiap kelas hanya dibimbing oleh 3 orang guru.
Gado-gado dong? Ops, tunggu dulu. Guru-guru di Finlandia bukanlah guru asal-asalan yang dipungut ditengah jalan atau otomatis jadi guru karena dekat dengan penguasa.
Guru-guru Finlandia adalah lulusan terbaik setiap perguruan tinggi dan mereka harus masuk dalam kelompok 10 besar lulusan terbaik. Jika tidak, jangan pernah bermimpi jadi guru di negeri ini.
Itulah sebabnya guru-guru di Finlandia betul-betul berdedikasi tinggi. Gajinya besar dong? Tidak. Guru-guru Finlandia justru digaji dengan gaji secukupnya bahkan bisa dikatakan kurang memadai.
Tetapi gurunya begitu menikmati profesinya hal ini karena mayoritas masyarakat Finlandia begitu menghormati dan menghargai profesi seorang guru. Bagaimana ditanah air?
Dengan alasan melanggar HAM seorang guru bisa dipidanakan hanya karena menghukum seorang murid yang kebetulan indisipliner. Alasan bahwa setiap anak disekolahkan untuk pintar bukan untuk dianiaya menjadi senjata jitu siapa pun untuk memperkarakan setiap guru.
Kalau begini seharusnya setiap orangtua jangan pernah menyekolahkan anaknya kalau etika dan moralnya belum bisa dipertanggungjawabkan karena dalam sistem pendidikan nasional kita, etika moral adalah tanggungjawab orang tua sedangkan pencerdasan adalah tanggungjawab guru.
Oleh karena itu salah besar menyalahkan guru bila setiap pelajar tidak beretika karena etika dan moral adalah tanggungjawab orangtua.
Jadi, wajarkah kita menyalahkan guru bila diperistiwa tertentu harus bertindak tegas terhadap para pelajar?
Bukankah orangtua yang bersangkutan harusnya lebih malu karena jelas-jelas gagal mempersiapkan anaknya lebih bermoral sebelum menempuh pendidikan formalnya.
Ditanah air Indonesia, sebenarnya sistem pendidikan Finlandia telah terterapkan sejak tahun 1961 melalui wadah gerakan pramuka. Apa yang berlaku di Finlandia jelas-jelas merupakan sistem pendidikan yang berlalu di gerakan pramuka.
Dimana setiap kecakapan dan keterampilan dibidang tertentu yang dimiliki oleh setiap anggota pramuka, bila sudah merasa mampu bisa mengusulkan diri untuk di uji.
Disamping itu, setiap 32 orang anggota pramuka dibina oleh 3 orang pembina secara terus menerus. Akan tetapi sistem pendidikan kepanduan ditanah air ini tidak mendapat respon yang positif ditanah air.
Buktinya kendati berhasil melahirkan kader-kader bangsa yang mandiri, negara ternyata tidak berani mengalokasikan dana BOS yang ada pada setiap sekolah untuk sepersekian persen wajib dipergunakan untuk mengelola gerakan pramuka di gugus depan.
Pendidikan nasional kita yang masih sarat dengan kepentingan politik kepala daerah menjadikan potret pendidikan begitu semraut. Pelaksanaan UN yang jelas lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya selalu dipertahankan untuk alasan yang tidak jelas.
Bahkan ironisnya lagi, UN telah mengajarkan bangsa ini bagaimana berlaku curang dan menipu. Gilanya lagi peserta UN dikawal dan diamati setiap detik melalui layar CCTV.
Seperti teroriskan. Cara-cara gila ini begitu dibangga-banggakan oleh pemerintah bahkan institusi pendidikan sendiri. Padahal metode ini punya dampak physicologi bagi para pelajar dimana UN benar-benar menjadi beban berat.
Jadi jangan heran bila di Nias pada hari pertama UN ada siswa yang meninggal dunia begitu menerima lembar soal ujian.
Finlandia tidak pernah membebani muridnya untuk hal-hal yang kurang bermutu atau mengurangi ke-kreativitasan seorang anak setelah meninggalkan rumah sekolah.
Maka, tugas tugas (PR), les tambahan dan bimbingan ini dan itu nyaris tidak pernah ada di Finlandia. Bagaimana dengan tanah air? Tekanan yang begitu berat sangat terasa apalagi menjelang ujian nasional.
Setiap murid selalu diberi les tambahan yang berlebihan, pelajar di wajibkan mengikuti Tryout hampir tiap bulan dengan alasan untuk mengukur kemampuan siswa.
Dirumah disuguhi lagi dengan tugas-tugas berat bahkan ada lagi menu les tambahan yang ditawarkan padahal nuansa bisnisnya lebih terasa daripada urgensinya bagi peserta didik. Repot bukan?
Alhasil, pelajar tanah air lahir dan besar tanpa pernah mempergunakan otaknya untuk berkreativitas. Generasi muda pun besar penuh dengan tekanan. Jadi jangan heran, walaupun lulus UN 100 persen ternyata persentasi lulus SMPTN berbanding terbalik dengan kelulusan UN.
Inilah setidaknya potret pendidikan kita dewasa ini. Indonesia jatuh kepada tingkat kekhawatiran yang terlalu berlebihan. Alih-alih untuk mencerdaskan bangsa tetapi cara-cara yang dilakukan justru mengantarkan bangsa ini kelembah kehancuran.
Oleh karena itu kita perlu berbenah. Mengembalikan sistem pendidikan kezaman dahulu kala (seperti cerita orangtua kita) dimana setiap anak dan orangtua begitu menghormati guru perlu kita lakukan.
Guru harus diberi otoritas penuh untuk mengatur kurikulumnya sendiri. Setiap anak juga tidak dibebani dengan tugas ini dan itu. Bahkan birokrasi pendidikan kita yang berbelit-belit perlahan-lahan harus dikurangi.
Wajib belajar 12 tahun mutlak harus dilakukan tentunya dengan biaya gratis. Tidak hanya itu wajar 12 tahun itu harus dengan satu izajah saja yaitu izajah SMA.
Sedangkan untuk SD dan SMP tidak lagi mengeluarkan izajah mengingat tuntutan dunia kerja saat ini pun izajah dua jenjang pendidikan ini tidak begitu diperlukan.
Oleh karena itu, perpindahan dari tingkat SD ke SMP cukuplah dengan nilai rapor begitu juga dari SMP ke SMA.
Maka evaluasi belajar secara nasional hanya dilakukan dijenjang SMA ketika yang bersangkutan akan melanjut keperguruan tinggi atau merambah dunia kerja.
Menggratiskan pendidikan dinegara ini bukanlah hal yang mustahil. Bukankah 40 persen APBN kita mark-up dan 30 persennya dikorupsi.
Jadi andai pengelolaan keuangan negara kita ditata dengan baik maka tidak mustahil dimasa-masa yang akan datang biaya pendidikan kita yang saat ini ditampung 20 persen dalam APBN kedepannya akan meningkat menjadi 50 persen.
Oleh: Samsul Pasaribu
Sumber: DetikNews
Amerika Serikat sendiri berada jauh dibawah level Finlandia, tepatnya di urutan ke-17. Lalu, dimana daya tariknya sistem pendidikan di Finlandia dengan negara-negara lainnya khususnya Indonesia? Jawabannya adalah di kemandirian siswa dan gurunya.
Di Finlandia kemandirian dalam mengikuti proses belajar mengajar itu tidak hanya dinikmati oleh guru-gurunya yang begitu dihormati tetapi juga ditularkan kepada para pelajar melalui berbagai kesempatan-kesempatan penting.
Salah satunya dimana setiap pelajar diberi otonomi khusus untuk menentukan jadwal ujiannya untuk mata pelajaran yang menurutnya sudah dia kuasai.
Sistem inilah yang dipertahankan oleh Finlandia hingga akhirnya berhasil mengantarkan negara ini berada pada posisi puncak sebagai negara yang paling berhasil mengelola pendidikan nasionalnya.
Fantastiknya, dalam evaluasi belajar, angka ketidak lulusan secara nasional tidak pernah melebihi 2 persen pertahunnya. Finlandia juga tidak mengenal istilah ujian semester apalagi ujian nasional layaknya ditanah air.
Evaluasi belajar secara nasional dilakukan tanpa ada intervensi pemerintah sekali pun. Karena setiap sekolah bahkan guru berkuasa penuh untuk menyusun kurikulumnya sendiri.
Jadi jangan pernah berhayal bahwa guru-guru di Finlandia disibukkan untuk mengejar terget-target tertentu karena di negeri ini guru selalu menyesuaikan bahan ajarnya dengan kebutuhan setiap pelajar.
Jadi, di Finlandia siapa pun presidennya dan menteri pendidikannya tidak akan berpengaruh signifikan terhadap masa depan pendidikan. Karena fungsi pemerintah dalam memajukan sektor pendidikan adalah dukungan finansial dan legalitas.
Mau bagaimana caranya, maka gurulah yang berwewenang atas itu karena guru dipandang sebagai sosok yang paling mengerti mau dimana wajah pendidikan Finlandia dibawa dimasa yang akan datang.
Sistem ini telah berdampak positif kepada pola cara mengajar guru yang tidak terlalu dipusingkan oleh hiruk pikuknya politik nasional negaranya.
Keseriusan negara Finlandia menyokong keberhasilan pendidikan nasionalnya dibuktikan dengan diterapkannya kebijakan gratis sekolah 12 tahun. Kerenkan?
Ada hal menarik lainnya. Bila ditanah air setiap tahun selalu saja ada perubahan guru yang masuk silih berganti tidak demikian halnya di Finlandia. Jangankan berganti bahkan setiap kelas akan diasuh oleh 3 orang guru sekaligus.
Dua orang guru bertindak sebagai guru mata pelajaran sedangkan satu orang lagi menjadi pengawas dan pembimbing setiap siswa dalam memahami setiap bidang studi.
Jadi, bila di Indonesia belajar 12 tahun berarti mengenal belasan bahkan puluhan guru maka di Finlandia selama 12 tahun setiap kelas hanya dibimbing oleh 3 orang guru.
Gado-gado dong? Ops, tunggu dulu. Guru-guru di Finlandia bukanlah guru asal-asalan yang dipungut ditengah jalan atau otomatis jadi guru karena dekat dengan penguasa.
Guru-guru Finlandia adalah lulusan terbaik setiap perguruan tinggi dan mereka harus masuk dalam kelompok 10 besar lulusan terbaik. Jika tidak, jangan pernah bermimpi jadi guru di negeri ini.
Itulah sebabnya guru-guru di Finlandia betul-betul berdedikasi tinggi. Gajinya besar dong? Tidak. Guru-guru Finlandia justru digaji dengan gaji secukupnya bahkan bisa dikatakan kurang memadai.
Tetapi gurunya begitu menikmati profesinya hal ini karena mayoritas masyarakat Finlandia begitu menghormati dan menghargai profesi seorang guru. Bagaimana ditanah air?
Dengan alasan melanggar HAM seorang guru bisa dipidanakan hanya karena menghukum seorang murid yang kebetulan indisipliner. Alasan bahwa setiap anak disekolahkan untuk pintar bukan untuk dianiaya menjadi senjata jitu siapa pun untuk memperkarakan setiap guru.
Kalau begini seharusnya setiap orangtua jangan pernah menyekolahkan anaknya kalau etika dan moralnya belum bisa dipertanggungjawabkan karena dalam sistem pendidikan nasional kita, etika moral adalah tanggungjawab orang tua sedangkan pencerdasan adalah tanggungjawab guru.
Oleh karena itu salah besar menyalahkan guru bila setiap pelajar tidak beretika karena etika dan moral adalah tanggungjawab orangtua.
Jadi, wajarkah kita menyalahkan guru bila diperistiwa tertentu harus bertindak tegas terhadap para pelajar?
Bukankah orangtua yang bersangkutan harusnya lebih malu karena jelas-jelas gagal mempersiapkan anaknya lebih bermoral sebelum menempuh pendidikan formalnya.
Ditanah air Indonesia, sebenarnya sistem pendidikan Finlandia telah terterapkan sejak tahun 1961 melalui wadah gerakan pramuka. Apa yang berlaku di Finlandia jelas-jelas merupakan sistem pendidikan yang berlalu di gerakan pramuka.
Dimana setiap kecakapan dan keterampilan dibidang tertentu yang dimiliki oleh setiap anggota pramuka, bila sudah merasa mampu bisa mengusulkan diri untuk di uji.
Disamping itu, setiap 32 orang anggota pramuka dibina oleh 3 orang pembina secara terus menerus. Akan tetapi sistem pendidikan kepanduan ditanah air ini tidak mendapat respon yang positif ditanah air.
Buktinya kendati berhasil melahirkan kader-kader bangsa yang mandiri, negara ternyata tidak berani mengalokasikan dana BOS yang ada pada setiap sekolah untuk sepersekian persen wajib dipergunakan untuk mengelola gerakan pramuka di gugus depan.
Pendidikan nasional kita yang masih sarat dengan kepentingan politik kepala daerah menjadikan potret pendidikan begitu semraut. Pelaksanaan UN yang jelas lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya selalu dipertahankan untuk alasan yang tidak jelas.
Bahkan ironisnya lagi, UN telah mengajarkan bangsa ini bagaimana berlaku curang dan menipu. Gilanya lagi peserta UN dikawal dan diamati setiap detik melalui layar CCTV.
Seperti teroriskan. Cara-cara gila ini begitu dibangga-banggakan oleh pemerintah bahkan institusi pendidikan sendiri. Padahal metode ini punya dampak physicologi bagi para pelajar dimana UN benar-benar menjadi beban berat.
Jadi jangan heran bila di Nias pada hari pertama UN ada siswa yang meninggal dunia begitu menerima lembar soal ujian.
Finlandia tidak pernah membebani muridnya untuk hal-hal yang kurang bermutu atau mengurangi ke-kreativitasan seorang anak setelah meninggalkan rumah sekolah.
Maka, tugas tugas (PR), les tambahan dan bimbingan ini dan itu nyaris tidak pernah ada di Finlandia. Bagaimana dengan tanah air? Tekanan yang begitu berat sangat terasa apalagi menjelang ujian nasional.
Setiap murid selalu diberi les tambahan yang berlebihan, pelajar di wajibkan mengikuti Tryout hampir tiap bulan dengan alasan untuk mengukur kemampuan siswa.
Dirumah disuguhi lagi dengan tugas-tugas berat bahkan ada lagi menu les tambahan yang ditawarkan padahal nuansa bisnisnya lebih terasa daripada urgensinya bagi peserta didik. Repot bukan?
Alhasil, pelajar tanah air lahir dan besar tanpa pernah mempergunakan otaknya untuk berkreativitas. Generasi muda pun besar penuh dengan tekanan. Jadi jangan heran, walaupun lulus UN 100 persen ternyata persentasi lulus SMPTN berbanding terbalik dengan kelulusan UN.
Inilah setidaknya potret pendidikan kita dewasa ini. Indonesia jatuh kepada tingkat kekhawatiran yang terlalu berlebihan. Alih-alih untuk mencerdaskan bangsa tetapi cara-cara yang dilakukan justru mengantarkan bangsa ini kelembah kehancuran.
Oleh karena itu kita perlu berbenah. Mengembalikan sistem pendidikan kezaman dahulu kala (seperti cerita orangtua kita) dimana setiap anak dan orangtua begitu menghormati guru perlu kita lakukan.
Guru harus diberi otoritas penuh untuk mengatur kurikulumnya sendiri. Setiap anak juga tidak dibebani dengan tugas ini dan itu. Bahkan birokrasi pendidikan kita yang berbelit-belit perlahan-lahan harus dikurangi.
Wajib belajar 12 tahun mutlak harus dilakukan tentunya dengan biaya gratis. Tidak hanya itu wajar 12 tahun itu harus dengan satu izajah saja yaitu izajah SMA.
Sedangkan untuk SD dan SMP tidak lagi mengeluarkan izajah mengingat tuntutan dunia kerja saat ini pun izajah dua jenjang pendidikan ini tidak begitu diperlukan.
Oleh karena itu, perpindahan dari tingkat SD ke SMP cukuplah dengan nilai rapor begitu juga dari SMP ke SMA.
Maka evaluasi belajar secara nasional hanya dilakukan dijenjang SMA ketika yang bersangkutan akan melanjut keperguruan tinggi atau merambah dunia kerja.
Menggratiskan pendidikan dinegara ini bukanlah hal yang mustahil. Bukankah 40 persen APBN kita mark-up dan 30 persennya dikorupsi.
Jadi andai pengelolaan keuangan negara kita ditata dengan baik maka tidak mustahil dimasa-masa yang akan datang biaya pendidikan kita yang saat ini ditampung 20 persen dalam APBN kedepannya akan meningkat menjadi 50 persen.
Oleh: Samsul Pasaribu
Sumber: DetikNews
0 komentar:
Posting Komentar