19 April 2013

KENANGAN REFERENDUM ACEH 1999

November adalah bulan yang bersejarah bagi Rakyat Aceh, Memori seakan diputar pada 13 tahun lalu. Kenangan akan rakyat Aceh pada Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU-MPR) Aceh di Masjid Raya Baiturrahman, 8 November 1999. Kala itu, semua elemen masyarakat bersatu tekad mengakhiri konflik Aceh secara bermartabat. Salah satu isu yang mencuat adalah referendum. Saat itu, di keude kupi, terdengar sayup-sayup pekikan “merdeka” atau “referendum”.

Sidang rakyat yang diklaim dihadiri lebih dari 1,5 juta rakyat Aceh di pelataran Masjid Raya Baiturrahman tersebut, selain meluapkan kemarahan terhadap ketidakdilan yang menimpa Aceh, rakyat juga diajak mendengarkan orasi tokoh-tokoh Aceh. Rakyat Aceh dengan senang hati menggunakan ikat kepala bertuliskan “Referendum.” Emosi mereka diaduk-aduk oleh isi pidato heroik dari tokoh Aceh. Pelataran masjid menjadi saksi pekikan “Allahu Akbar”, alunan shalawat nabi, hikayat Perang Sabil, dan zikir.

Sidang tanpa kekerasan tersebut, dipandu sejumlah tokoh-tokoh Aceh dari atas mimbar. Ada Akmal Abzal (pemandu acara), Muhammad Nazar (SIRA), Faisal Ridha (Ketua Panitia), Tgk Nuruzzahri (HUDA), Tgk Bulqaini Tanjongan (pimpinan Rabithah Thaliban Aceh), Fajri M Kasim (tokoh mahasiswa), Cut Nur Asikin (aktivis perempuan), Tgk Muhammad Yus (Ketua DPRD Aceh), dan M Nasir Djamil (anggota DPRD Aceh).

Saat itu, tokoh pertama yang melakukan orasi adalah Nuruzzahri sebagai wakil dari kalangan ulama. Dalam orasinya, ia menyebutkan, Allah swt telah memperlihatkan kepada dunia hari ini, bagaimana hasrat dan keinginan suci rakyat Aceh yang tertindas, ditipu dan dizalimi puluhan tahun, telah bisa bersatu di Banda Aceh di rumah Tuhan menyuarakan tuntutan referendum.

Orasi kedua disampaikan oleh Fadjri M Kasem. Ia menyebutkan mahasiswa tetap berkomitmen terus memperjuangkan tuntutan rakyat Aceh. Tgk Bulqaini Tanjongan yang menyampaikan orasi ketiga saat itu menyebutkan, apa yang dikatakan pemerintah pusat bahwa hanya sebagian rakyat Aceh yang menuntut referendum Aceh adalah bohong. Ia meminta agar pejabat-pejabat Aceh jangan ada lagi yang melaporkan ke Jakarta kalau rakyat Aceh hanya sedikit meminta dilaksanakan Referendum. “Hari ini telah dibuktikan oleh seluruh rakyat Aceh bersatu padu ke Banda Aceh menyuarakan aspirasi dan tuntutannya terhadap Referendum,” tandas Bulkaini. (baca: Serambi Indonesia, 9 November 1999).

Orasi keempat disampaikan oleh Cut Nur Asikin. Pidato Cut Nur Asikin yang telah almarhum saat tsunami tahun 2004 bisa juga dilihat dalam film “Black Road” karya William Nessen. Dia dengan bersemangat mengatakan, rakyat Aceh akan memperjuangan referendum hingga titik darah penghabisan.

Pada pukul 11.05 Wib, tampil Tgk Muhammad Yus. Ketika itu ia berjanji akan meneruskan perjuangan yang dikehendaki rakyat Aceh. Muhammad Yus juga menjelaskan bahwa kedudukannya saat itu hanya baru sebatas sebagai ketua DPRD Aceh yang baru dipilih beberapa hari lalu dan sampai kemarin belum mendapat pengesahan. Karenanya, Muhammad Yus saat itu memanggil pimpinan sementara DPRD Aceh, Nasir Djamil (anggota termuda) untuk bersama-sama menyampaikan serta membaca komitmen DPRD Aceh dan Pemda Aceh. 

Komitmen itu antara lain, Pertama, mengakui bahwa tuntutan dan perjuangan untuk mendapatkan hak penentuan nasib sendiri rakyat Aceh melalui sebuah Referendum Damai dan Demokratis merupakan tuntutan dan perjuangan rakyat Aceh secara keseluruhan, serta mesti ditanggapi secara positif oleh semua pihak di tingkat nasional dan internasional.

Kedua, berjanji memperjuangkan terwujudnya pelaksanaan referendum di Aceh secara transparan, damai, dan demokratis. Ketiga, berjanji menolak segala bentuk militerisme di Aceh. Keempat, apabila kami mengingkari komitmen-komitmen tersebut, maka kami berhak diberikan hukuman sosial oleh seluruh rakyat Aceh.

Demikianlah satu penggal sejarah Aceh. Tahun 2000, kegiatan serupa diadakan lagi. Namun tidak sebagus tahun 1999. Dalam sidang kedua, tidak sedikit rakyat Aceh menjadi korban. Saat itu, mereka memberikan nyawa dan apapun demi Aceh. Kenangan pahit ini membuktikan bahwa rakyat Aceh bisa bersatu dalam kepedihan. Namun, rakyat tidak mungkin lagi bersatu dalam ketidakpedihan. Saat ini, tokoh-tokoh yang menyampaikan orasi dipelataran Masjid Raya Baiturrahman atau yang telah menggerakkan massa hingga berkumpul ke “Kutaraja” telah menjadi pemimpin atau wakil rakyat. Kita tentu tidak tahu, apakah mereka masih punya semangat seperti tahun 1999. Demikian pula, kita tidak bisa memastikan, apakah rakyat masih bisa menyampaikan sikap seperti tahun itu.

Amanat Sidang tersebut agaknya telah tenggelam dengan situasi Aceh sekarang. Sekarang Aceh miskin tokoh dan pemimpin kharismatik. Rindu dengan orasi yang mampu memberikan spirit perjuangan bagi rakyat Aceh. Kerinduan kita bukanlah menghadirkan kembali konflik melainkan menarik kembali spirit mengisi perdamaian Aceh. Pengalaman referendum tahun 1999 memberikan alasan kuat mengapa orang Aceh mampu bersatu dalam kepedihan dan berkonflik ketika damai?

Artinya, konflik bisa menyatukan rakyat Aceh yang beragam etnik dan bahasa dengan melupakan perbedaan-perbedaan. Namun ketika berada dalam satu gerbang perdamaian pasca-MoU Helsinki 15 Agustus 2005, yang terjadi malah saling sikut kiri kanan, lawan dianggap kawan sementara kawan diposisikan sebagai lawan, karena saat ini “pendapat” tidak perioritaskan tetapi “pendapatan” yang dituhankan.

Setelah satu dekade referendum, perjuangan politik rakyat Aceh berubah total. Kemesraan semua lini perjuangan rakyat Aceh telah sirna. Saya menginginkan semua elemen perjuangan tahun 1999 bisa bersatu kembali mengambil spirit referendum dalam menata Aceh lebik baik ke depan, buang perbedaan dikarenakan pendapatan, tetapi satukan pendapat demi masa depan anak cucu kita.

Akhirnya, mari kita tarik kembali semangat referendum ini menjadi semacam spirit baru dalam membangun Aceh yang bermartabat. Sebab, sangat disayangkan jika korban dan darah rakyat Aceh hanya menjadi alat untuk membangkitkan kepentingan pribadi atau kelompok, jauhkan prinsip “meunyoe kon ie leuhob, meunyoe kon droe mandum gob”.

Oleh: M. Adli Abdullah, Harian Serambi Indonesia, 8 November 2010
Sumber; ACW

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...