November adalah bulan yang bersejarah bagi Rakyat Aceh, Memori
seakan diputar pada 13 tahun lalu. Kenangan akan rakyat Aceh pada Sidang
Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU-MPR) Aceh di Masjid Raya
Baiturrahman, 8 November 1999. Kala itu, semua elemen masyarakat bersatu
tekad mengakhiri konflik Aceh secara bermartabat. Salah satu isu yang
mencuat adalah referendum. Saat itu, di keude kupi, terdengar
sayup-sayup pekikan “merdeka” atau “referendum”.
Sidang rakyat yang diklaim dihadiri lebih dari 1,5 juta rakyat Aceh di
pelataran Masjid Raya Baiturrahman tersebut, selain meluapkan kemarahan
terhadap ketidakdilan yang menimpa Aceh, rakyat juga diajak mendengarkan
orasi tokoh-tokoh Aceh. Rakyat Aceh dengan senang hati menggunakan ikat
kepala bertuliskan “Referendum.” Emosi mereka diaduk-aduk oleh isi
pidato heroik dari tokoh Aceh. Pelataran masjid menjadi saksi pekikan
“Allahu Akbar”, alunan shalawat nabi, hikayat Perang Sabil, dan zikir.
Sidang tanpa kekerasan tersebut, dipandu sejumlah tokoh-tokoh Aceh dari
atas mimbar. Ada Akmal Abzal (pemandu acara), Muhammad Nazar (SIRA),
Faisal Ridha (Ketua Panitia), Tgk Nuruzzahri (HUDA), Tgk Bulqaini
Tanjongan (pimpinan Rabithah Thaliban Aceh), Fajri M Kasim (tokoh
mahasiswa), Cut Nur Asikin (aktivis perempuan), Tgk Muhammad Yus (Ketua
DPRD Aceh), dan M Nasir Djamil (anggota DPRD Aceh).
Saat
itu, tokoh pertama yang melakukan orasi adalah Nuruzzahri sebagai wakil
dari kalangan ulama. Dalam orasinya, ia menyebutkan, Allah swt telah
memperlihatkan kepada dunia hari ini, bagaimana hasrat dan keinginan
suci rakyat Aceh yang tertindas, ditipu dan dizalimi puluhan tahun,
telah bisa bersatu di Banda Aceh di rumah Tuhan menyuarakan tuntutan
referendum.
Orasi kedua disampaikan oleh Fadjri M Kasem. Ia menyebutkan mahasiswa
tetap berkomitmen terus memperjuangkan tuntutan rakyat Aceh. Tgk
Bulqaini Tanjongan yang menyampaikan orasi ketiga saat itu menyebutkan,
apa yang dikatakan pemerintah pusat bahwa hanya sebagian rakyat Aceh
yang menuntut referendum Aceh adalah bohong. Ia meminta agar
pejabat-pejabat Aceh jangan ada lagi yang melaporkan ke Jakarta kalau
rakyat Aceh hanya sedikit meminta dilaksanakan Referendum. “Hari ini
telah dibuktikan oleh seluruh rakyat Aceh bersatu padu ke Banda Aceh
menyuarakan aspirasi dan tuntutannya terhadap Referendum,” tandas
Bulkaini. (baca: Serambi Indonesia, 9 November 1999).
Orasi keempat disampaikan oleh Cut Nur Asikin. Pidato Cut Nur Asikin
yang telah almarhum saat tsunami tahun 2004 bisa juga dilihat dalam film
“Black Road” karya William Nessen. Dia dengan bersemangat mengatakan,
rakyat Aceh akan memperjuangan referendum hingga titik darah
penghabisan.
Pada pukul 11.05 Wib, tampil Tgk Muhammad Yus. Ketika itu ia berjanji
akan meneruskan perjuangan yang dikehendaki rakyat Aceh. Muhammad Yus
juga menjelaskan bahwa kedudukannya saat itu hanya baru sebatas sebagai
ketua DPRD Aceh yang baru dipilih beberapa hari lalu dan sampai kemarin
belum mendapat pengesahan. Karenanya, Muhammad Yus saat itu memanggil
pimpinan sementara DPRD Aceh, Nasir Djamil (anggota termuda) untuk
bersama-sama menyampaikan serta membaca komitmen DPRD Aceh dan Pemda
Aceh.
Komitmen itu antara lain, Pertama, mengakui bahwa tuntutan dan
perjuangan untuk mendapatkan hak penentuan nasib sendiri rakyat Aceh
melalui sebuah Referendum Damai dan Demokratis merupakan tuntutan dan
perjuangan rakyat Aceh secara keseluruhan, serta mesti ditanggapi secara
positif oleh semua pihak di tingkat nasional dan internasional.
Kedua,
berjanji memperjuangkan terwujudnya pelaksanaan referendum di Aceh
secara transparan, damai, dan demokratis. Ketiga, berjanji menolak
segala bentuk militerisme di Aceh. Keempat, apabila kami mengingkari
komitmen-komitmen tersebut, maka kami berhak diberikan hukuman sosial
oleh seluruh rakyat Aceh.
Demikianlah satu penggal sejarah Aceh. Tahun 2000, kegiatan serupa
diadakan lagi. Namun tidak sebagus tahun 1999. Dalam sidang kedua, tidak
sedikit rakyat Aceh menjadi korban. Saat itu, mereka memberikan nyawa
dan apapun demi Aceh. Kenangan pahit ini membuktikan bahwa rakyat Aceh
bisa bersatu dalam kepedihan. Namun, rakyat tidak mungkin lagi bersatu
dalam ketidakpedihan. Saat ini, tokoh-tokoh yang menyampaikan orasi
dipelataran Masjid Raya Baiturrahman atau yang telah menggerakkan massa
hingga berkumpul ke “Kutaraja” telah menjadi pemimpin atau wakil rakyat.
Kita tentu tidak tahu, apakah mereka masih punya semangat seperti tahun
1999. Demikian pula, kita tidak bisa memastikan, apakah rakyat masih
bisa menyampaikan sikap seperti tahun itu.
Amanat Sidang tersebut agaknya telah tenggelam dengan situasi Aceh
sekarang. Sekarang Aceh miskin tokoh dan pemimpin kharismatik. Rindu
dengan orasi yang mampu memberikan spirit perjuangan bagi rakyat Aceh.
Kerinduan kita bukanlah menghadirkan kembali konflik melainkan menarik
kembali spirit mengisi perdamaian Aceh. Pengalaman referendum tahun 1999
memberikan alasan kuat mengapa orang Aceh mampu bersatu dalam kepedihan
dan berkonflik ketika damai?
Artinya, konflik bisa menyatukan rakyat Aceh yang beragam etnik dan
bahasa dengan melupakan perbedaan-perbedaan. Namun ketika berada dalam
satu gerbang perdamaian pasca-MoU Helsinki 15 Agustus 2005, yang terjadi
malah saling sikut kiri kanan, lawan dianggap kawan sementara kawan
diposisikan sebagai lawan, karena saat ini “pendapat” tidak
perioritaskan tetapi “pendapatan” yang dituhankan.
Setelah satu dekade referendum, perjuangan politik rakyat Aceh berubah
total. Kemesraan semua lini perjuangan rakyat Aceh telah sirna. Saya
menginginkan semua elemen perjuangan tahun 1999 bisa bersatu kembali
mengambil spirit referendum dalam menata Aceh lebik baik ke depan, buang
perbedaan dikarenakan pendapatan, tetapi satukan pendapat demi masa
depan anak cucu kita.
Akhirnya, mari kita tarik kembali semangat referendum ini menjadi
semacam spirit baru dalam membangun Aceh yang bermartabat. Sebab, sangat
disayangkan jika korban dan darah rakyat Aceh hanya menjadi alat untuk
membangkitkan kepentingan pribadi atau kelompok, jauhkan prinsip “meunyoe kon ie leuhob, meunyoe kon droe mandum gob”.
Oleh: M. Adli Abdullah, Harian Serambi Indonesia, 8 November 2010
Sumber; ACW
0 komentar:
Posting Komentar