Tragedi Simpang KKA |
Tanggal
3 Mei punya banyak makna bagi warga Aceh Utara, dan juga bagi
masyarakat Aceh pada umumnya. Tanggal tersebut selain bermakna
resistensi atau perlawanan rakyat melawan negara, juga sebuah kenangan
buruk, betapa negara begitu semena-mena terhadap rakyatnya. Karenanya,
saban tahun—meski tak rutin karena kondisi Aceh tak selalu kondusif
untuk mengenang tragedi—warga Aceh Utara khususnya para korban tragedi
Simpang KKAmemperingatinya.
Sekedar
merawat ingatan, Senin, 3 Mei 1999 atau tigabelas tahun silam, banyak
darah berceceran di sekitar simpang PT KKA. Jeritan dan tangisan para
korban memecah telinga siapa saja yang pernah mendengar. Saat itu, harga
peluru tentara begitu murahnya, karena bisa dihambur-hamburkan dengan
sangat mudah. Setelah itu, puluhan mayat dan ratusan korban tergelatak,
ada yang sudah kaku, banyak juga yang masih bernyawa sambil merintih,
yang lainnya berlarian seperti dikejar air tsunami, mencari tempat yang
bisa dijadikan tempat berlindung.
Saat tragedi itu, korban luka-luka tak terhitung. Hanya data yang dikumpulkan oleh Tim Pencari Fakta (TPF)
Aceh Utara menyebutkan 115 orang mengalami luka parah, sementara 40
orang lainnya meninggal dunia. Dari jumlah itu, ada 6 orang masih sangat
kanak-kanak, termasuk Saddam Husein (7 tahun) menjadi korban kebuasan
aparat negara.
Sementara
data yang dikeluarkan Koalisi NGO HAM Aceh, menyebutkan sekitar 46
orangmeninggal (dua orang meninggal ketika menjalani perawatan di RSUZA
Banda Aceh), sebanyak 156 mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang
dalam insiden tersebut.
Meskipun
banyak pihak melupakan peristiwa itu, tidak bagi para korban.
Jamaluddin, misalnya, sampai sekarang masih terkenang dengan tragedi
paling kejam dalam hidupnya. Jamal, kelahiran Sawang, Aceh Utara
mengisahkan, bahwa saat peristiwa itu terjadi, dirinya melihat banyak
sekali korban tembakan yang rubuh. Jamal juga mendengar jeritan tangis
dari para ibu dan bapak yang melihat warga tertembak.
Jamal
sendiri mengaku, saat tragedi itu, tubuh-tubuh warga yang kena tembakan
jatuh menindihnya. Dengan sisa tenaga yang ada, mayat-mayat diambil dan
diletakkan di tempat yang layak. Jamal mengaku, tak tahu harus berkata
apa saat itu. Jamal, sendiri luput dari maut.Jamal berharap Pemerintah
Aceh tidak melupakan peristiwa itu. Kalau memang ini pelanggaran HAM,
pelakunya harus diadili. Karena itulah keadilan bagi korban.
Kronologi Peristiwa
(Dihimpun dari koalisi NGO HAM Aceh)
Jumat malam, 30 April 1999.
Sekitar jam 20.30 WIB masyarakat Desa Cot Murong, Kecamatan Dewantara, mengadakan rapat akbar untuk memperingati 1 Muharram yang bertepatan dengan 30 April 1999. Oleh pihak keamanan, peringatan 1 Muharram yang biasa diselenggarakan oleh masyarakat Islam di manapun di seluruh Propinsi Aceh, disebut sebagai ceramah Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Sekitar jam 20.30 WIB masyarakat Desa Cot Murong, Kecamatan Dewantara, mengadakan rapat akbar untuk memperingati 1 Muharram yang bertepatan dengan 30 April 1999. Oleh pihak keamanan, peringatan 1 Muharram yang biasa diselenggarakan oleh masyarakat Islam di manapun di seluruh Propinsi Aceh, disebut sebagai ceramah Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Lalu muncul kabar bahwa seorang
anggota TNI dari kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom berpangkat Sersan,
bernama Adityawarman, hilang saat melakukan penyusupan di tengah
kegiatan ceramah (Keterangan Kapuspen TNI, nama anggotanya yang hilang
itu adalah Sersan Kepala Edi, dari Den Rudal 001/Pulo Rungkom, Aceh
Utara).
Tidak jelas apakah anggota TNI
itu benar hilang atau terjadi berbagai kemungkinan lainnya, tetapi yang
pasti tidak satupun dari penduduk yang mengetahui keberadaannya. Dan
yang pasti lagi, malam itu tidak terjadi apa-apa yang berarti di Desa
Cot Murong.
Sabtu malam, 1 Mei 1999
Sebuah truk militer dari
kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom berputar-putar dikawasan Desa Cot
Murong dengan aktivitas yang tidak jelas, tetapi hari itu tidak terjadi
apa-apa.
Minggu pagi, 2 Mei 1999
Mulai
pukul 05.00 WIB pasukan Den Rudal 001/Pulo Rungkom mulai melakukan
operasi di kawasan Desa Cot Murong. Pada minggu pagi itu masyarakat
sedang melakukan persiapan pelaksanaan kenduri memberi makan untuk
anak-anak yatim sehubungan dengan pringatan 1 Muharram yang dilaksanakan
sejak Jumat malam sebelumnya. Masyarakat memotong 4 ekor lembu di
halaman Masjid Al-Abror, Cot Murong.
Pada saaat itulah, sekitar jam
11.00 WIB datang pasukan Den Rudal ke tempat kenduri dan dengan dalih
menanyakan anggotanya yang hilang sehari sebelumnya mulai memuli warga
setempat. Dilaporkan, waktu itu ada tidak kurang 20 orang yang dianiaya
oleh anggota TNI tersebut. Praktek kekerasan dan penganiayaan dengan
bertindak kasar, menampar dan memukuli hingga cedera, telah terjadi.
Ketika sedang melancarkan aksinya, penduduk sempat mencatat kata-kata yang dikeluarkan para anggota TNI yaitu "Akan kami tembak semua orang Aceh apabila seorang anggota kami tidak ditemukan...".
Menyadari kondisi yang mulai
mencemaskan tersebut kemudian para warga dari Desa Murong dan desa-desa
tentangga seperti Desa Lancang Barat, Kecamatan Nisam dan Paloh Lada,
yang terdiri dari pemuda, wanita, orang tua serta anak-anak berkumpul
untuk mencegah kemungkinan penganiayaan lebih lanjut, apalagi aparat
militer telah mengeluarkan ancaman yang cukup menakutkan.
Tiba-tiba, pada pukul 13.00 WIB
datang lagi pasukan tambahan yang terdiri dari 7 truk anggota TNI ke
lokasi kenduri. Melihat itu, masyarakat yang telah berkumpul dari
berbagai penjuru Kecamatan mencoba menghadang.
Tepat pukul 14.00 WIB terjadi
negosiasi (membuat perjanjian) antara masyarakat Kecamatan Dewantara
dengan Danramil Kecamatan Dewantara yang diketahui pihak MUI Kecamatan,
yang isinya: "TNI tidak akan datang lagi ke Desa Cot Murong dengan
alasan apapun".
Minggu malam, 2 Mei 1999.
Masyarakat desa mengetahui adanya penyusupan anggota TNI antara jam 20.00 WIB sampai dinihari ke Desa Cot Murong dan Desa Lancang Barat. Bahkan penduduk pun mengetahui adanya sebuah boat yang diperkirakan milik militer berupaya untuk melakukan pendaratan di pantai Desa Cot Murong, namun batal karena terlanjur diketahui oleh warga setempat. Sampai waktu itu tidak terjadi apa-apa, namun kecemasan penduduk semakin memuncak, dan sejak saat itu mereka semua mulai berkumpul sampai Senin pagi.
Masyarakat desa mengetahui adanya penyusupan anggota TNI antara jam 20.00 WIB sampai dinihari ke Desa Cot Murong dan Desa Lancang Barat. Bahkan penduduk pun mengetahui adanya sebuah boat yang diperkirakan milik militer berupaya untuk melakukan pendaratan di pantai Desa Cot Murong, namun batal karena terlanjur diketahui oleh warga setempat. Sampai waktu itu tidak terjadi apa-apa, namun kecemasan penduduk semakin memuncak, dan sejak saat itu mereka semua mulai berkumpul sampai Senin pagi.
Senin pagi, 3 mei 1999.
Tepat pada pukul 09.00 WIB, 4 truk pasukan TNI datang lagi memasuki Desa Lancang Barat, desa tentangga Cot Murong. Massa rakyat yang berkumpul merasa cemas dan mulai mempersenjatai diri dengan kayu dan parang (tanpa senjata api).
Lalu datang Camat Dewantara, Drs. Marzuki Amin ke Simpang KKA dan mulai melakukan negosiasi dengan aparat TNI. Aparat berkeras dan negosiasi mentok. Camat tetap berpegang kepada perjanjian terdahulu yang telah disepakati oleh masyarakat dengan Koramil Dewantara yang intinya pihak TNI tidak lagi melakukan kegiatan operasi di daerah mereka. Negosiasi itu beralangsung cukup lama. Waktu sudaah menunjukkan hampir jam 12.00 WIB.
Tepat pada pukul 09.00 WIB, 4 truk pasukan TNI datang lagi memasuki Desa Lancang Barat, desa tentangga Cot Murong. Massa rakyat yang berkumpul merasa cemas dan mulai mempersenjatai diri dengan kayu dan parang (tanpa senjata api).
Lalu datang Camat Dewantara, Drs. Marzuki Amin ke Simpang KKA dan mulai melakukan negosiasi dengan aparat TNI. Aparat berkeras dan negosiasi mentok. Camat tetap berpegang kepada perjanjian terdahulu yang telah disepakati oleh masyarakat dengan Koramil Dewantara yang intinya pihak TNI tidak lagi melakukan kegiatan operasi di daerah mereka. Negosiasi itu beralangsung cukup lama. Waktu sudaah menunjukkan hampir jam 12.00 WIB.
Untuk menunjukkan kesungguhan
hati dan permohonan yang sangat besar agar pasukan segera ditarik dan
pihak TNI menghormati perjanjian yang telah dibuat, Camat Marzuki Amin
sempat mencopot tanda jabatan dari dadanya. Tetapi malah sang Camat
kemudian dipukuli oleh tentara.
Pada saat itu tiba-tiba satu
truk milik TNI bergerak dan sambil berlalu, dari atas truk para tentara
melempari batu ke arah masyarakat, dan masyarakat yang terpancing balas
melempari batu ke atas truk. Pada saat yang hampir bersamaan juga
seorang anggota tentara berlari kearah semak-semak dan masyarakat yang
terpancing mengejarnya. Tiba-tiba dari arah semak itu terdengar satu
letusan senjata. Letusan senjata itulah yang seperti sebuah "komando"
disusul oleh rentetan serangan. Pembantaian segera dimulai. Tepat jam
12.30 WIB.
Saat Kejadian.
Pukul 12.30 WIB, Suara gemuruh
dan teriakan manusia memenuhi Simpang KKA. Ribuan orang berlarian
menghindari serangan dari TNI. Dua wartawan RCTI (Umar HN dan Said
Kaban) yang kebetulan sudah berada di tempat itu sempat merekam
moment-moment penting yang terjadi baik dengan foto atau video. Dapat
dikatakan, hasil rekamannya itu menjadi salah-satu bukti yang paling
akurat dan tidak mungkin dapat dipungkiri tentang bagaimana peristiwa
yang sebenarnya.
Tembakan
yang dilakukan tanpa peringatan terlebih dahulu dan dengan posisi siap
tempur. Tentara yang dibagian depan jongkok dan yang berada pada barisan
belakang berdiri. Selain itu, tentara yang berada di atas truk juga
terus melakukan tembakan sambil melakukan gerakan-gerakan tempur. Saat
itu penduduk yang tidak lagi sempat lari melakukan tiarap tapi terus
diberondong.
Selain melakukan tembakan kearah
masa, TNI juga mengarahkan tembakan ke rumah-rumah penduduk, sehingga
banyak warga yang sedang di dalam rumah juga menjadi korban. Bahkan
mereka mengejar dan memasuki rumah-rumah penduduk dan melakukan
pembantaian di sana.
Ketika melakukan tembakan para anggota tentara itu juga berteriak-teriak. Kalimat yang paling sering diucapkan adalah "Akan kubunuh semua orang Aceh". Dalam
aksi pembantaian tersebut, 45 jiwa Tewas di tempat, 156 lainnya
Luka-luka kebanyakan karena luka tembak, dan 10 diantaranya Hilang
sampai saat ini tidak tahu keberadaannya. Banyak penduduk yang sudah
tertembak dan tidak bisa lari lagi masih terus diberondong oleh tentara
dari belakang. Mereka benar-benar melakukan pembantaian seperti sebuah
pesta.
Sumber: Koalisi NGO HAM Aceh
0 komentar:
Posting Komentar