Istana Daruddunia - Kerajaan Aceh Darussalam Karya: Sayed Dahlan Al-Habsyi |
Penggabungan
kerajaan Islam Perlak, kerajaan Islam Samudra/Pasai, kerajaan Islam Benua,
Kerajaan Islam Lingga, Kerajaan Pidhi, kerajaan Islam Jaya kedalam kerajaan
Aceh dibawah nama kerajaan Aceh Darussalam dengan ibu kota Negara Banda Aceh
Darussalam pada masa Sulthan Alaidin Husain Syah, telah mempercepat Islamisasi
Aceh, sehingga dalam masa pemerintahan Sulthan Alaidin Ali Mughayat Syah
(916-936 H = 1511-1530 M), masa pemerintahan Sulthan Alaidin Riayat Syah II
Abdul Kahhar (945-979 H = 1539-1571 M), masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda
Darraa Wangsa Perkasa Alam Syah (916-1045 H = I607-I636 M) dan masa
pemerintahan Sulthanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Syah Berdaulat
(1050-1086 H = 1641-1675 M), Islam benar-benar telah menjiwai seluruh cabang
kehidupan Rakyat Aceh, baik kehidupan politik, kehidupan ekonomi, kehidupan
sosial ataupun kehidupan seni budaya.
Islamisasi
segala cabang kehidupan Rakyat Aceh dilambangkan oleh sebuah "Hadih
Maja" yang menjadi filsafah hidup dan filsafah politik bagi Rakyat dan
Kerajaan Aceh Darussalam, yang berbunyi:
"'Adat bak
Poteu Meureuhom, Hukom bak Syiah kuala, Kanun bak Putro Phang, Reusam bak
Laksamana"
"Hukom
ngoen adat, Lage zat ngon sifeut"
Terjemahan harfayah:
"Hukum
Adat ditangan raja, Hukum agama ditangan Ulama, Hak membuat undang-undang
ditangan Puteri Pahang sebagai lambaig dari Rakyat, Kekuasaan darurat/dalam keadaan
perang ditangan laksamana sebagai Panglima Besar Angkatan Perang"
"Hukum
agama dengan hukum adat, seperti zat dengan sifat"
Hadih Maja ini
dalam kedudukannya sebagai suatu filsafat politik telah menggariskan
pembahagian kekuasaan dalam Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu:
1. Sulthan Imam Malikul Adil sebagai Kepala
Negara/Pemerintahan adalah pemegang kekuasaan politik (adat), atau pemegang
kekuasaaneksekutif.
2. Kadli Malikul Adil (Ulama) sebagai ketua
Mahkamah Agung, adalah pemegang kekuasaan hukum (yudikatif)
3. Rakyat adalah pemegang kekuasaan pembuat
undang-undang (legeslatif), yang dalam Hadih Maja ini dilambangkan oleh Puteri
Pahang (Permaisuri Sulthan Iskandar Muda), yang mempelopori pembentukan Balai
Majlis Mahkamah Musyawarah Rakyat.
4. Pada waktu negara dalam keadaan bahaya/keadaan
perang, pemegang segala kekuasaan dalam negara adalah Panglima Besar Angkatan
Perang, yang dalam istilah Hadih Maja ini disebut Laksamana, yaitu Menteri
Peperangan atau Wazirul Harb.
Sungguhpun ada
pembahagian kekuasaan seperti yang tersebut diatas namun ada satu ketentuan
lain yang tidak boleh menyimpang dari padanya, seperti yang ditegaskan dalam
Hadih Maja tersebut pada dua baris terakhir yaitu: "Hukom ngoen adat, lage
zat ngon sifeut". Maksudnya, bahwa politik (adat) dengan hukum Islam
adalah seperti zat dengan sifat menjadi satu tidak boleh dipisahkan, sehingga
antara pemegang kekuasaan politik (Sulthan Imam Malikul Adil) dengan pemegang
kekuasaan hukum (Kadli Malikul Adil) haruslah selalu ada kerja sama, harus
menjadi seperti zat dengan sifa.
Hadih Maja
tersebut diatas dalam kedudukannya sebagai filsafat hidup dari Rakyat Aceh
berarti:
1. Segala cabang kehidupan negara dan rakyat,
haruslah berjiwa dan bersendi Islam.
2. Wajah politik dan wajah Agama Islam pada batang
tubuh masyarakat dan Negara Aceh telah menjadi satu.
3. Sifat gotong-royong yang menjadi ciri khas
Islam, telah menjadi landasan berpijak bagi Rakyat dan Kerajaan Aceh
Darussalam, yang dalam bahasa Aceh disebut "Meuseuraya".
Yang dimaksud
dengan "Hukum" dalam Hadih Maja tersebut yaitu Hukum Islam, karena
Undang-undang Dasar Aceh yang bernama Kanun Meukuta Alam menegaskan, bahwa
hukum yang berlaku dalam Kerajaan Aceh Darussalam, adalah Hukum Islam, dengan
sumber Hukumnya: Al-Quran, Al-Hadis, Al-Ijma' dan Al-Qiyas.
Berdasarkan Hadih
Maja tersebut. diatas yang telah menjadi filsafat hidup bagi Rakyat dan
Kerajaan Aceh Darussalam dan telah menjadi ketentuan pasti sebagai Jalan Hidup
(Way of Life) dari Rakyat Aceh, maka dengan sendirinya Hadih Maja itupun
menjadi sumbernya semangat Aceh, menjadi sumbernya Kebudayaan Aceh, termasuk
seni budaya, juga seni sastra, bahkan menjadi sumbernya cita dan cinta,
sehingga karenanya Aceh bergelar Serambi Mekkah.
Referensi : Dada Meuraxa, 1976, Ungkapan Sejarah Aceh, Kumpulan dari beberapa tulisan A. Hasymy.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar