Ilmu Sosial
Budaya Dasar atau yang disingkat dengan ISBD bukanlah suatu disiplin ilmu
tersendiri, melainkan lebih merupakan kajian yang interdisipliner. Mata kuliah
ini merupakan sumber nilai dan pedoman bagi penye1enggaraan program studi guna
mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadian, kepekaan sosial, kemampuan
hidup bermasyarakat, pengetahuan tentang pelestarian, pemanfaatan sumber daya
alam dan lingkungan hidup, dan mempunyai wawasan tentang perkembangan ilmu
pengetahuan teknologi dan seni.
ISBD memberikan
pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan
untuk mengkaji gejala-gejala sosial budaya. Standar kompetensi yang ingin
dicapai adalah agar mahasiswa dapat menjadi ilmuwan dan profeosional yang berpikir
kritis, kreatif, sistemik dan ilmiah, berwawasan luas, etis, memiliki kepekaan
dan empati sosial, bersikap demokratis, berkeadaban serta dapat ikut berperan
mencari solusi pemecahan masalah sosial dan budaya secara arif.
ISBD diharapkan
dapat membekali kepada mahasiswa dalam menghadapi tantangan sosial budaya di
lingkungan sekitarnya dan dalam memberi kontribusi bagi pemecahan
masalah-masalah sosial budaya.
A. Manusia
Sebagai Makhluk Budaya
Manusia adalah
mahluk berbudaya. Berbudaya merupakan kelebihan manusia dibanding mahluk lain.
Dengan berbudaya, manusia dapat memenuhi kebutuhan dan menjawab tantangan
hidupnya. Manusia menggunakan akal dan budinya dalam berbudaya. Kebudayaan
merupakan perangkat yang ampuh dalam sejarah kehidupan manusia yang dapat
berkembang dan dikembangkan melalui sikap-sikap budaya yang mampu mendukungnya.
Banyak
pengertian tentang budaya atau kebudayaan. Kroeber dan Kluckholn (1952)
menginventarisasi lebih dari 160 definisi tentang kebudayaan, namun pada
dasarnya tidak terdapat perbedaan yang bersifat prinsip.
Konsep
kebudayaan membantu dalam membandingkan berbagai mahluk hidup. Isu yang sangat
penting adalah kemampuan belajar. Lebah melakukan aktifitasnya hari demi hari,
bulan demi bulan dan tahun demi tahun dalam bentuk yang sama. Setiap jenis
lebah mempunyai pekerjaan yang khusus dan melakukan kegiatannya secara kontinyu
tanpa memperdulikan perubahan lingkungan disekitarnya. Lebah pekerja terus
sibuk mengumpulkan madu untuk koloninya. Tingkah laku ini sudah terprogram
dalam gen mereka yang berubah secara sangat lambat dalam mengikuti perubahan
lingkungan di sekitarnya. Perubahan tingkah laku lebah akhirnya harus menunggu
perubahan dalam gen. Hasilnya adalah tingkah-laku lebah menjadi tidak fleksibel.
Berbeda dengan
binatang, tingkah laku manusia sangat fleksibel. Hal ini terjadi karena
kemampuan dari manusia untuk belajar dan beradaptasi dengan apa yang telah
dipelajarinya. Sebagai makhluk berbudaya, manusia mendayagunakan akal budinya
untuk menciptakan kebahagiaan, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat demi
kesempurnaan hidupnya.
Kebudayaan
mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya. Manusia
berbeda dengan binatang, bukan saja dalam banyaknya kebutuhan, namun juga dalam
cara memenuhi kebutuhan tersebut. Kebudayaanlah yang memberikan garis pemisah
antara manusia dan binatang.
Ketidakmampuan
manusia untuk bertindak instingtif diimbangi oleh kemampuan lain yakni
kemampuan untuk belajar, berkomunikasi dan menguasai objek-objek yang bersifat
fisik. Kemampuan untuk belajar dimungkinkan oleh berkembangnya inteligensi dan
cara berfikir simbolik. Terlebih lagi manusia mempunyai budi yang merupakan
pola kejiwaan yang di dalamnya terkandung dorongan-dorongan hidup yang dasar,
insting, perasaan, dengan pikiran, kemauan dan hubungan yang bermakna dengan
alam sekitarnya dengan jalan memberi penilaian terhadap obyek dan kejadian.
Manusia adalah
mahluk yang berbudaya. Berbudaya merupakan ciri khas kehidupan manusia yang
membedakannya dari mahluk lain. Manusia dilahirkan dalam suatu budaya tertentu
yang mempengaruhi kepribadiannya. Pada umumnya manusia sangat peka terhadap
budaya yang mendasari sikap dan perilakunya.
Kebudayaan
merupakan induk dari berbagai macam pranata yang dimiliki manusia dalam hidup
bermasyarakat. Etika merupakan bagian dari kompleksitas unsur-unsur kebudayaan.
Ukuran etis dan tidak etis merupakan bagian dari unsur-unsur kebudayaan.
Manusia membutuhkan kebudayaan, yang didalamnya terdapat unsur etika, untuk
bisa menjaga kelangsungan hidup. Manusia yang berbudaya adalah manusia yang
menjaga tata aturan hidup.
Etika dapat
diciptakan, tetapi masyarakat yang beretika dan berbudaya hanya dapat
diciptakan dengan beberapa persyaratan dasar, yang membutuhkan
dukungan-dukungan, seperti dukungan politik, kebijakan, kepemimpinan dan
keberanian mengambil keputusan, serta pelaksanaan secara konsekuen. Selain itu
dibutuhkan pula ruang akomodasi, baik lokal maupun nasional di mana etika
diterapkan, pengawasan, pengamatan, dan adanya pihak-pihak yang memelihara
kehidupan etika. Kesadaran etis bisa tumbuh karena disertai akomodasi.
Berbudaya,
selain didasarkan pada etika juga terkandung estetika di dalamnya. Jika etika
menyangkut analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan
tanggung jawab, estetika membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan
bagaimana seseorang bisa merasakannya.
Hakikat kodrat
manusia itu adalah 1) sebagai individu yang berdiri sendiri (memiliki cipta,
rasa, dan karsa), 2) sebagai makhluk sosial yang terikat kepada lingkungannya
(lingkungan sosial, ekonomi, politik, budaya dan alam), dan 3) sebagai makhluk
ciptaan Tuhan. Perbuatan-perbuatan baik manusia haruslah sejalan dan sesuai
dengan hakikat kodratinya. Manusia dipandang mulia atau terhina tidak
berdasarkan aspek fisiologisnya. Aspek fisik bukanlah tolak ukur bagi derajat
kemanusiaannya.
Hakikat kodrati
manusia tersebut mencerminkan kelebihannya dibanding mahluk lain. Manusia
adalah makhluk berpikir yang bijaksana (homo sapiens), manusia sebagai pembuat
alat karena sadar keterbatasan inderanya sehingga memerlukan instrumen (homo
faber), manusia mampu berbicara (homo languens), manusia dapat bermasyarakat
(homo socious) dan berbudaya (homo humanis), manusia mampu mengadakan usaha
(homo economicus), serta manusia berkepercayaan dan beragama (homo religious),
sedangkan hewan memiliki daya pikir terbatas dan benda mati cenderung
tidak memliki perilaku dan tunduk pada hukum alam.
Keunggulan
manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab berkat ketekunannya memantau
berbagai gejala dan peristiwa alam. Manusia tidak lagi menemukan kenyataan
sebagai sesuatu yang selesai, melainkan sebagai peluang yang membuka berbagai
kemungkinan. Setiap kenyataan mengisyaratkan adanya kemungkinan. Transendensi
manusia terhadap kenyataan yang ditemuinya sebagai pembuka berbagai kemungkinan
itu merupakan kemampuannya yang paling mendasari perkembangan pengetahuannya.
Sebagai bangsa
yang majemuk, Indonesia memiliki dua macam sistem budaya yang sama-sama harus
dipelihara dan dikembangkan, yakni sistem budaya nasional dan sistem budaya
etnik lokal. Sistem budaya nasional adalah sesuatu yang relatif baru dan sedang
berada dalam proses pembentukannya. Sistem ini berlaku secara umum untuk
seluruh bangsa Indonesia ,
tetapi sekaligus berada di luar ikatan budaya etnik local.
B. Manusia
Sebagai Individu dan Mahluk Sosial
Manusia sebagai
individu dengan kepribadian khasnya berada di tengah-tengah kelompok individu
lain yang sekaligus mematangkannya untuk menjadi pribadi. Proses dari individu
untuk menjadi pribadi tidak hanya didukung dan dihambat oleh dirinya, melainkan
juga oleh kelompok di sekitarnya. Dalam proses untuk menjadi pribadi, individu
dituntut mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia berada, baik
lingkungan fisik dan maupun non fisik (sosial budaya).
Manusia sejak
dilahirkan adalah sebagai makhluk sosial ditengah keluarganya. Manusia tidak
dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia memerlukan mitra untuk
mengembangkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sebagai individu, manusia
dituntut untuk dapat mengenal serta memahami tanggung jawabnya bagi diri
sendiri dan masyarakat.
Kecenderungan
manusia untuk hidup berkelompok bukanlah sekedar naluri atau keperluan yang
diwariskan secara biologis semata, melainkan dalam kenyataannya manusia
berkumpul sampai batas-batas tertentu juga menunjukkan adanya suatu ikatan
sosial. Mereka berkumpul dan saling berinteraksi satu sama lain.
Interaksi antarmanusia merupakan suatu kebutuhan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Individu akan membutuhkan individu lain, karena seorang individu tidak akan bisa hidup sendiri tanpa bantuan individu lain.
Interaksi antarmanusia merupakan suatu kebutuhan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Individu akan membutuhkan individu lain, karena seorang individu tidak akan bisa hidup sendiri tanpa bantuan individu lain.
Kehidupan
berkelompok merupakan kebutuhan setiap individu, sehingga timbullah
kelompok-kelompok sosial dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.
Kelompok-kelompok sosial merupakan himpunan atau kesatuan manusia yang hidup
bersama. Suatu kelompok sosial cenderung untuk tidak menjadi kelompok yang
statis, tetapi dinamis, selalu berkembang dan mengalami perubahan-perubahan
baik dalam aktivitas maupun bentuknya.
Menurut Gillin
dan Gillin, interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis,
menyangkut hubungan antara orang perorangan, kelompok-kelompok manusia, maupun
orang perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial dapat terjadi karena
adanya komunikasi, jadi komunikasi di sini sangatlah penting artinya.
Komunikasi berarti seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain baik
berwujud pembicaraan, gerak, maupun sikap.
Interaksi sosial
merupakan dasar dari proses sosial. Pengertian ini menunjukkan pada
hubungan-hubungan yang dinamis. Interaksi sosial juga merupakan kunci dari
semua kehidupan sosial, karena tanpa interaksi sosial tidak akan mungkin ada
kehidupan bersama.
Secara umum, ada
dua bentuk interaksi sosial dalam suatu komunitas masyarakat, yaitu: (1)
interaksi asosiatif, dan (2) interaksi disasosiatif. Dalam perspektif
asosiatif, bentuk-bentuk interaksi sosial yang berlangsung dalam suatu
komunitas atau masyarakat yang bisa diklasifikasikan kepada tiga jenis
interaksi sosial, yaitu: (1) kerjasama, (2) akomodasi, dan (3) asimilasi.
Dalam
kehidupannya di tengah-tengah masyarakat terdapat saling ketergantungan antara
individu yang satu dengan yang lain. Setiap individu berkepentingan dengan individu-individu
lain dalam kelompoknya sendiri maupun di luar kelompoknya.
Rasa
berkepentingan tersalurkan melalui proses sosialisasi dan interaksi sosial.
Proses sosialisasi merupakan suatu proses pembelajaran sejak dini dengan tujuan
untuk membentuk kepribadiannya. Interaksi sosial terjadi ketika seorang anak
mulai bergaul dengan orang lain, baik dalam lingkungan keluarganya sendiri
maupun dengan orang lain atau masyarakat di luar lingkungan keluarga.
Dalam interaksi
sosial, manusia mengemban nilai-nilai dan norma- norma yang berlaku sebagai
penuntun atau pedoman dalam kehidupannya di tengah-tengah masyarakat.
Nilai-nilai adalah sesuatu yang ideal atau das sollen yaitu sesuatu yang
seharusnya, bukan das sein atau sesuatu yang senyatanya terjadi. Namun dalam
kenyataannya, ada orang atau sekelompok orang yang dengan sengaja dan sadar
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat. Kenyataan-kenyataan seperti inilah yang akan menimbulkan
kesenjangan dan pada akhirnya akan menimbulkan masalah-masalah dalam
masyarakat. Apabila masalah-masalah itu menjadi berlarut-larut, maka gejala
atau kenyataan itu akan menjadi masalah sosial. Salah satu masalah sosial yang
seringkali terjadi karena dipicu oleh adanya benturan antara kepentingan umum
dan kepentingan individu ataupun kelompok.
Di Indonesia
yang menganut dasar negara Pancasila terdapat prinsip keseimbangan antara
kepentingan individu dan kepentingan umum. Di satu pihak kepentingan individu
tidak boleh merugikan kepentingan umum, namun di lain pihak kepentingan
individu juga tidak boleh terlalu terkalahkan oleh kepentingan umum.
Prinsip
keseimbangan pada hakikatnya merupakan implikasi langsung dari kebenaran bahwa
manusia diciptakan sederajat. Prinsip keseimbangan merupakan konsekuensi logis
dari kenyataan bahwa eksistensi manusia sekaligus sebagai makhluk individual
dan makhluk sosial. Hak yang melekat pada seseorang bukan hanya mengandaikan
bahwa orang lain wajib menghormatinya, tetapi juga sekaligus ia wajib
menghormati hak yang sama yang melekat pada orang lain. Demikian juga antara
kepentingan individu dengan kepentingan umum.
C. Manusia
dan Peradaban
Istilah
peradaban dipakai untuk menunjukkan pendapat dan penilaian terhadap
perkembangan kebudayaan. Peradaban adalah kebudayaan yang bernilai tinggi.
Perkembangan kebudayaan mencapai puncaknya berwujud unsur-unsur budaya yang
bersifat halus, indah, tinggi, sopan, luhur, maka masyarakat pemilik kebudayaan
tersebut dikatakan telah memiliki peradaban yang tinggi. Menurut Azyumardi Azra
(2007), peradaban mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, sejak dari
pandangan hidup, tatanilai, sosial budaya, politik, kesenian, ilmu pengetahuan,
sains, teknologi, dan banyak lagi.
Manusia pada
hakikatnya merupakan makhluk beradab dan berbudaya yang tidak bisa hidup di
luar adab dan budaya tertentu. Manusia beradab dan berbudaya yang hidup dalam
suatu masyarakat beradab bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan diciptakan
melalui berbagai upaya yang mendukung terciptanya manusia beradab dan
masyarakat adab.
Di Indonesia,
sila kelima Pancasila Kemanusiaan yang adil dan beradab memberi pengakuan bahwa
manusia yang hidup di Indonesia diperlakukan secara adil dan beradab oleh
penyelenggara negara. Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung nilai bahwa
suatu tindakan yang berhubungan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat
didasarkan atas sikap moral, kebajikan dan hasrat menjunjung tinggi martabat
manusia, serta sejalan dengan norma-norma. Kemanusiaan yang adil dan beradab
juga mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap budaya dan kebudayaan yang
dikembangkan bangsa yang beragam etnik dan golongan.
Sila kelima
Pancasila tersebut secara tegas mencita-citakan suatu masyarakat Indonesia yang
beradab. Masyarakat yang beradab adalah masyarakat yang ditandai dengan
ketenangan, kenyamanan, ketentraman, dan kedamaian sebagai makna hakiki manusia
beradab. Konsep masyarakat adab dalam pengertian lain adalah suatu kombinasi
yang ideal antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
Dari sejarah
kita belajar bahwa secara nyata peradaban manusia telah berubah dari
waktu ke waktu. Hal ini merupakan kelebihan manusia dibanding makhluk lain.
Burung membuat sarangnya tetap sama selama berabad-abad, namun manusia telah
beranjak dari gua-gua, rumah di atas pokok kayu, gubuk, rumah adat sampai
dengan pencakar langit pada saat ini. Hal ini semata-mata disebabkan manusia
mempunyai akal budi yang merupakan kelebihan dari makhluk hidup lainnya.
Berdasarkan akal
budi manusia selalu berubah dari waktu ke-waktu dalam rangka melakukan
perbaikan nilai hidup ataupun kualitas hidup. Dari kenyataan ini kita bisa
belajar bahwa pada hakekatnya manusia tidak anti perubahan, walaupun perubahan
bisa dilakukan secara sadar ataupun karena terpaksa berubah oleh karena suatu
kondisi tertentu.
Perubahan
peradaban manusia mengalami percepatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya
sejak terjadinya revolusi industri di Eropa pada abad ke-15. Pada abad ke 20
yang disebutkan oleh Alvin Toffler sebagai awal dari Gelombang Ke Tiga (Abad
Informasi), kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi menjadi pendukung
utama perubahan yang sangat cepat. Perubahan yang terjadi di suatu negara bisa
mengakibatkan pengaruh berantai secara global terhadap negara lain.
Globalisasi
merupakan fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus dalam
masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia global. Kehadiran
teknologi informasi dan teknologi komunikasi mempercepat akselerasi proses
globalisasi. Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting kehidupan. Globalisasi
menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab,
dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan.
Globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara mendasar.
D. Manusia,
Keragaman dan Kesetaraan
Keragaman atau
kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan dalam kehidupan di
masyarakat. Keragaman merupakan salah satu realitas utama yang dialami
masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu mendatang
(Azyumardi Azra, 2003).
Sebagai
fakta, keragaman sering disikapi secara berbeda. Di satu sisi diterima
sebagai fakta yang dapat memperkaya kehidupan bersama, tetapi di sisi lain
dianggap sebagai faktor penyulit. Kemajemukan bisa mendatangkan manfaat yang
besar, namun juga bisa menjadi pemicu konflik yang dapat merugikan masyarakat
sendiri jika tidak dikelola dengan baik.
Setiap manusia
dilahirkan setara, meskipun dengan keragaman identitas yang disandang.
Kesetaraan merupakan hal yang inheren yang dimiliki manusia sejak lahir. Setiap
individu memiliki hak-hak dasar yang sama yang melekat pada dirinya sejak
dilahirkan atau yang disebut dengan hak asasi manusia.
Kesetaraan dalam
derajat kemanusiaan dapat terwujud dalam praktik nyata dengan adanya
pranata-pranata sosial, terutama pranata hukum, yang merupakan mekanisme
kontrol yang secara ketat dan adil mendukung dan mendorong terwujudnya
prinsip-prinsip kesetaraan dalam kehidupan nyata. Kesetaraan derajat individu
melihat individu sebagai manusia yang berderajat sama dengan meniadakan
hierarki atau jenjang sosial yang menempel pada dirinya berdasarkan atas asal
rasial, sukubangsa, kebangsawanan, atau pun kekayaan dan kekuasaan.
Di Indonesia,
berbagai konflik antarsukubangsa, antarpenganut keyakinan keagamaan, ataupun
antarkelompok telah memakan korban jiwa dan raga serta harta benda, seperti
kasus Sambas, Ambon, Poso dan Kalimantan Tengah. Masyarakat majemuk Indonesia
belum menghasilkan tatanan kehidupan yang egalitarian dan demokratis.
Persoalan-persoalan
tersebut sering muncul akibat adanya dominasi sosial oleh suatu kelompok.
Adanya dominasi sosial didasarkan pada pengamatan bahwa semua kelompok manusia
ditujukan kepada struktur dalam sistem hirarki sosial suatu kelompok. Di
dalamnya ditetapkan satu atau sejumlah kecil dominasi dan hegemoni kelompok
pada posisi teratas dan satu atau sejumlah kelompok subordinat pada posisi
paling bawah. Di antara kelompok-kelompok yang ada, kelompok dominan dicirikan
dengan kepemilikan yang lebih besar dalam pembagian nilai-nilai sosial yang
berlaku. Adanya dominasi sosial ini dapat mengakibatkan konflik sosial yang
lebih tajam.
Negara-bangsa
Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dapat
disebut sebagai masyarakat multikultural. Berbagai keragaman masyarakat Indonesia
terwadahi dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentuk
dengan karakter utama mengakui pluralitas dan kesetaraan warga bangsa. NKRI yang
mengakui keragaman dan menghormati kesetaraan adalah pilihan terbaik untuk
mengantarkan masyarakat Indonesia
pada pencapaian kemajuan peradabannya.
Cita-cita yang
mendasari berdirinya NKRI yang dirumuskan para pendiri bangsa telah membekali
bangsa Indonesia dengan konsepsi normatif negara bangsa Bhinneka Tunggal Ika,
membekali hidup bangsa dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni. Hal tersebut
merupakan kesepakatan bangsa yang bersifat mendasar.
E. Manusia,
Nilai, Moral dan Hukum
Nilai (value) adalah harga, makna, isi dan
pesan, semangat, atau jiwa yang tersurat dan tersirat dalam fakta, konsep, dan
teori sehingga bermakna secara fungsional (Djahiri, 1999).
Nilai merupakan
suatu konsepsi tentang apa yang benar atau salah (nilai moral), baik atau buruk
(nilai etika), serta indah atau jelek (nilai estetika). Dari sistem nilai
kemudian tumbuh norma yang merupakan patokan atau rambu-rambu yang mengatur
perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Norma-norma yang
dihadapi manusia ada yang bercorak moral yaitu kewajiban moral dan nilai moral,
dan ada pula yang bercorak bukan moral (nilai yang nonmoral) yang sifatnya
teknis dan tidak mengandung pertimbangan-pertimbangan nilai.
Norma-norma
moral ada yang bersifat evaluatif, artinya norma-norma itu berlaku dan dianggap
baik bagi komunitas tertentu pada waktu tertentu, tetapi pada suatu saat dapat
saja berubah, tidak lagi dapat diberlakukan karena mungkin sudah dianggap tidak
baik lagi, atau norma-norma itu dapat berlaku baik bagi komunitas tertentu,
tetapi belum tentu baik bagi komunitas lain.
Moral adalah
tuntutan sikap dan perilaku yang diminta oleh norma dan nilai. Kata moral
berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan
atau adat istiadat. John Dewey mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang
berhubungan dengan nilai-nilai susila, sedangkan Baron, dkk (1980) mengatakan
bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang
membicarakan salah atau benar.
Frans Magnis
Suseno (1987) mengemukakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya
manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia
dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Kesadaran moral hanya dimiliki
oleh manusia yang berakal, mempunyai perasaan, dan memiliki kehendak yang bebas
(otonomi) untuk selalu mewujudkan perbuatan baik semata. Manusia sebagai
makhluk individual dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya akan berhadapan dengan
kepentingan manusia lain. Konflik kepentingan secara alami akan mendorong
manusia untuk saling berkompetisi dan saling mengalahkan di antara sesamanya.
Kondisi ini jika tidak terkendali akan melahirkan kekacauan yang justru akan
mengancam eksistensi manusia itu sendiri.
Untuk mewujudkan
keteraturan, mula-mula manusia membentuk tatanan sosial yang bernama
masyarakat. Untuk membangun dan mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang
teratur, maka dibutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal, yaitu
aturan (hukum) dan si pengatur (kekuasaan). Dari sinilah hukum tercipta, yakni
sebagai bagian pranata pengatur disamping pranata lain yaitu kekuasaan. Kedua
unsur pranata pengatur ini berhubungan secara sistemik sehingga tidak bisa
dipisah-pisahkan, keberadaan yang satu meniscayakan keberadaan yang lain.
Untuk
menciptakan keteraturan dibuatlah hukum sebagai alat pengatur, dan agar hukum
tersebut dapat memiliki kekuatan untuk mengatur, maka perlu suatu entitas
lembaga kekuasaan yang dapat memaksakan keberlakuan hukum tersebut sehingga
dapat bersifat imperatif. Sebaliknya, adanya entitas kekuasaan ini perlu diatur
pula dengan hukum untuk menghindari terjadinya penindasan melalui
kesewenang-wenangan ataupun dengan penyalah gunaan wewenang. Mengenai hubungan
hukum dan kekuasaan ini, terdapat adagium yang populer: “Hukum tanpa kekuasaan
hanyalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”.
Dalam negara
hukum, semestinya hukumlah yang pertama-tama dianggap sebagai pemimpin dalam
penyelenggaraan kehidupan bersama, bukan orang, “the rule of law, and not of
man”. Orang bisa berganti, tetapi hukum sebagai satu kesatuan sistem diharapkan
tetap tegak sebagai acuan dan sekaligus pegangan bersama. Prinsip inilah yang
dinamakan dengan nomokrasi atau kekuasaan yang dipimpin oleh nilai hukum
sebagai pendamping terhadap konsep demokrasi.
F. Manusia,
Sains, Teknologi dan Seni
Menurut Robert
B. Sund (1973: 2), sains merupakan suatu tubuh pengetahuan (body of knowledge) dan proses penemuan
pengetahuan. Dengan demikian, pada hakekatnya sains merupakan suatu produk dan
proses. Produk sains meliputi fakta, konsep, prinsip, teori dan hukum. Proses
sains meliputi cara-cara memperoleh, mengembangkan dan menerapkan pengetahuan
yang mencakup cara kerja, cara berfikir, cara memecahkan masalah, dan cara
bersikap. Sains dirumuskan secara sistematis, terutama didasarkan atas
pengamatan eksperimen dan induksi.
Sebagian ahli
mengatakan bahwa teknologi dimulai terlebih dahulu daripada sains, karena
manusia sejak awal menggunakan benda sebagai alat. Sebagian ahli yang lain
beranggapan sains tumbuh terlebih dahulu, karena benda sebelum digunakan pasti
perlu diketahi terlebih dahulu. Namun demikian cukup dimengerti jika teknologi
kemudian dirumuskan dengan pengertian yang lebar, yaitu alat atau pengetahuan
manusia untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungannya atau keberlangsungan
hidupnya.
Secara
etimologis, teknologi berasal dari kata techne (Yunani) artinya keahlian dan
logia artinya perkataan. Bell (2001) mendefinisikan teknologi sebagai
seperangkat instrumen yang memungkinkan kekuatan manusia untuk mengubah sumber
menjadi kesejahteraan. Heibish (2001) mendefinisikan teknologi sebagai
pengetahuan yang telah ditransformasikan menjadi produk, proses dan jasa maupun
struktur organisasi.
Pengembangan sains tidak selalu dikaitkan dengan aspek kebutuhan masyarakat, sedangkan teknologi, merupakan aplikasi sains yang terutama untuk kegiatan penemuan, berupa alat-alat atau barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Jadi pengembangan teknologi selalu dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian sains, teknologi dan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan (Poedjiadi, 1990 ; Yager, 1992: 4).
Pengembangan sains tidak selalu dikaitkan dengan aspek kebutuhan masyarakat, sedangkan teknologi, merupakan aplikasi sains yang terutama untuk kegiatan penemuan, berupa alat-alat atau barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Jadi pengembangan teknologi selalu dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian sains, teknologi dan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan (Poedjiadi, 1990 ; Yager, 1992: 4).
Kebutuhan
manusia bukan semata melangsungkan hajat hidup, melainkan juga nilai-nilai
etika dan estetika. Dalam konteks ini, seni menjadi kebutuhan dasar manusia
secara kodrati. Seni berpengaruh terhadap kehidupan manusia.
Manusia tidak
hanya dapat menggagas, melainkan juga mengekspresikan gagasannya. Semua bidang
kehidupan manusia, baik ekonomi, sosial politik, dan budaya, memerlukan
ekspresi Dengan ekspresi, maka terjadi hubungan antar manusia.
Dalam ekspresi
diri terdapat ekspresi khusus yang disebut kesenian. Dengan kesenian manusia
mengekspresikan gagasan estetik atau pengalaman estetik. Kesenian merupakan
penjelmaan pengalaman estetik untuk mewujudkan manusia dewasa yang sadar akan
arti pentingnya berbudaya agar tidak kehilangan jati diri dan akal sehat.
Pada dasarnya
iptek bersifat netral. Yang menjadikannya bermanfaat atau merusak adalah
manusia yang menguasai dan mengendalikannya, yakni para pembuat keputusan atau
pembuat kebijakan, termasuk ke dalamnya ilmuwan, teknolog, politisi, pengusaha,
dan masyarakat umum. Dengan demikian, kunci keberhasilan bagi upaya pemanfaatan
iptek bagi kesejahteraan manusia terletak pada pembinaan faktor manusia dalam
mengembangkan dan menerapkan iptek ataupun mengkonsumsi produk-produk iptek.
Pada masyarakat
Indonesia pada umumnya, budaya terhadap Iptek belum terbukti telah berkembang
secara memadai. Hal ini tercermin dari pola pikir masyarakat yang belum bisa
dianggap mempunyai penalaran objektif, rasional, maju, unggul, dan mandiri.
Pola pikir masyarakat belum mendukung kegiatan berkreasi, mencipta, dan
belajar.
Mekanisme yang
menjembatani interaksi antara penyedia sains dan teknologi dengan kebutuhan
pengguna juga belum optimal. Hal ini bisa dilihat dari belum tertatanya lembaga
yang mengolah dan menterjemahkan hasil pengembangan sains dan teknologi menjadi
teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi masyarakat.
Di samping itu kebijakan keuangan juga dirasakan belum mendukung pengembangan
kemampuan sains dan teknologi.
Lembaga
penelitian dan pengembangan Iptek masih sering diartikan dengan institusi yang
sulit berkembang. Selain itu, kegiatan penelitian yang dilakukan kurang
didorong oleh kebutuhan penelitian yang jelas dan eksplisit. Ini menyebabkan
lembaga-lembaga litbang tidak memiliki kewibawaan sebagai sebuah instansi yang
memberi pijakan scientifik sehingga berakibat pada inefisiensi kegiatan
penelitian. Dampak lainnya adalah merapuhnya budaya penelitian sebagai pondasi
kelembagaan riset dan teknologi, seperti yang terjadi pada sektor pendidikan.
Ini berarti pendidikan di Indonesia
dapat dikatakan belum mampu menanamkan karakter budaya bangsa yang memiliki
rasa ingin tahu, budaya belajar dan apresiasi yang tinggi pada pencapaian
ilmiah (Zuhal, 2007). Masalah dan kendala tersebut secara langsung telah
menghambat perkembangan sains dan teknologi di Indonesia .
G. Manusia
dan Lingkungan
Lingkungan hidup
menurut UU No. 4 tahun 1982 adalah kesatuan ruang yang terdiri dari benda,
daya, keadaan, makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya,
yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk
hidup lainnya.
Kerusakan
lingkungan atau kelangkaan sumber daya alam banyak disebabkan oleh manusia.
Eksploitasi sumber daya alam yang melebihi kapasitas pemulihannya menyebabkan
penurunan jumlah dan kualitas, pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, dan
akses terhadap lingkungan dan sumber daya alam yang tidak seimbang merupakan
beberapa faktor penyebab kelangkaan atau penurunan sumber daya alam.
Perkembangan yang sangat pesat di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, serta pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, mengakibatkan pemborosan sumber daya alam yang juga mengakibatkan kemerosotan kualitas lingkungan.
Perkembangan yang sangat pesat di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, serta pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, mengakibatkan pemborosan sumber daya alam yang juga mengakibatkan kemerosotan kualitas lingkungan.
Pelestarian lingkungan perlu dilakukan karena
kemampuan daya dukung lingkungan hidup sangat terbatas baik secara kuantitas
maupun kualitasnya. Pengelolaan lingkungan hidup dilakukan secara sukarela baik
oleh individu maupun kelompok masyarakat yang peduli terhadap pelestarian
lingkungan, dan dilakukan berdasarkan pedoman yang ada yaitu dengan
UndangUndang no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH).
Adapun tujuan dari pedoman PLH adalah agar setiap kegiatan yang dilakukan oleh
engguna lingkungan tidak merusak lingkungan, melainkan harus berwawasan
lingkungan.
0 komentar:
Posting Komentar