KABAR tanaman Khat dilabelkan dalam golongan Narkoba sontak
membuat geger masyarakat lantaran tanaman yang biasa disebut teh Arab
ini mengandung zat Katinona. Tanaman Khat menjadi buah bibir sejak
mencuatnya kasus narkoba yang melibatkan artis Jakarta, sebelumnya
tidak disangka-sangka jika daun dari tanaman ini bakal masuk dalam
narkoba golongan I, sama seperti ganja.
Bicara masalah Ganja, UNODC (United Nation on Drug and Crimes)
memposisikan Indonesia adalah salah satu negara penyuplai ganja terbesar
di wilayah Asia Tenggara. Sementara wilayah Indonesia yang identik
dengan tanaman ganja adalah Provinsi Aceh.
Selain Thailand, diperkirakan Aceh memiliki ladang ganja terbesar di
Asia Tenggara yang tersebar di hutan-hutan, mulai dari Kabupaten Aceh
Utara, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Barat Daya, Aceh Besar hingga
Kabupaten Bireuen. Luasnya tanaman ganja di Aceh membuat Wakil Gubernur
Aceh, Muhammad Nazar menargetkan Aceh terbebas dari tanaman ganja pada
tahun 2015 (majalah Sinar BNN, edisi 4/2010).
Struktur tanah yang subur di Aceh dan curah hujan yang tinggi
memungkinkan pertumbuhan tanaman Cannabis Sativa, nama lain dari ganja
sulit terbendung. Tanaman ini awalnya hanya berfungsi sebagai penyedap
masakan untuk gulai kambing, dodol Aceh, mie Aceh, kopi Aceh dan
sebagainya untuk menambah cita rasa makanan. Kelihaian orang Aceh
meracik masakan dengan penyedap dari ganja (daun, biji dan batang)
membuat kuliner Aceh pernah identik dengan tanaman terlarang ini.
Menurut sejarah, tanaman ganja masuk ke wilayah Aceh sejak abad ke-19
dari India. Ketika itu, Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran
Tinggi Gayo dan menggunakan ganja sebagai obat alami untuk menghindari
serangan hama pohon kopi. Sejak itu, tanaman Cannabis tumbuh dan
menyebar diberbagai wilayah di Aceh. Sementara di India, biji ganja
disantap sebagai makanan ringan karena ternyata bijinya mengandung 20-25
persen protein. Ganja atau Cannabis sebenarnya jenis tanaman liar, namun tidak bisa
tumbuh pada sembarang jenis tanah. Tumbuhan ini hanya cocok tumbuh pada
karakter tanah di Aceh, Thailand, dan Cina. Karakter tanah di wilayah
Eropa, Amerika dan Afrika tidak memungkinkan tanaman Cannabis tumbuh
subur, kecuali dengan sentuhan teknologi.
Ganja dalam Dunia Medis
Tanaman ganja sejak dahulu ketika
pertama kali ditemukan di Cina pada tahun 2737 SM berfungsi sebagai
pengobatan. Pada masa kekaisaran Shen Neng di Cina, ganja diracik
sebagai minuman sejenis teh dan digunakan untuk obat malaria, beri-beri
dan rematik.
Berbagai penyakit yang diterapi hingga sembuh dengan menggunakan ganja
ketika itu mulai dari penyakit rematik, hingga sakit perut. Selain itu
untuk pengobatan, masyarakat Cina kuno memanfaatkan ganja untuk bahan
tenun pakaian, dan acara ritual keagamaan seperti upacara kematian dan
memuja dewa.
Tanaman ganja berada dalam famili Cannabaceae. Genus Cannabis (ganja)
memiliki 15 jenis spesies lain di Indonesia, seperti Cannabis intersita,
Cannabis altissima, Cannabis ericana, Cannabis chinensis, Cannabis
arratica, Cannabis foetens, Cannabis frondosa, Cannabis generalis,
Cannabis gigantea, Cannabis jamaicensis, Cannabis kafiristanica,
Cannabis lupulus, Cannabis macrosperma, dan Cannabis ruderalis.
Sementara diluar negeri, masih ada 13 jenis ganja lainnya. Cannabis
Sativa adalah jenis ganja yang banyak beredar dalam pasar gelap di
Indonesia, selain Cannabis altissima dan Cannabis chinensi. (Bowo
Nurcahyo, 2010).
Pada beberapa negara, ganja digunakan untuk keperluan industri dan
medis. Misalnya di Inggris yang memiliki lembaga Marijuana Center,
lembaga yang melakukan penelitian tanaman untuk keperluaan medis dan
farmasi. Berbagai hasil penelitian lembaga ini menetapkan bahwa
mariyuana dapat menjadi obat yang ampuh. Misalnya, seseorang yang
menderita lumpuh dapat disembuhkan dengan menggunakan mariyuana sebagai
alat terapi dan berhasil sembuh kembali seperti sedia kala dan
mengembalikan daya ingat yang tinggi dan tidak mengalami impoten.
Sementara di Kanada, pemerintah setempat berencana melegalkan ganja dan
obat-obatan lainnya untuk kebutuhan farmasi. Banyak pasien melaporkan
bahwa ganja mengurangi rasa mual pada penderita AIDS dan penyakit
lainnya sehingga mendorong pemerintah Kanada melakukan legalisasi
terhadap ganja. Pemerintah Kanada mulai mengizinkan ganja dengan resep
dokter pada apotik-apotik di negara tersebut. Dalam satu ons, ganja
dijual sekitar $ 113 kemudian dikirim kepada pasien atau dokter yang
membutuhkan melalui kurir.
Ganja yang digunakan untuk keperluan
tersebut adalah ganja jenis Hemp, sementara ganja jenis Cannabis
dinyatakan terlarang. Penyebab ganja menjadi terlarang karena berpotensi
disalahgunakan kandungan zat THZ yang bisa mengakibatkan pengguna
menjadi mabuk. Namun bila dikontrol kualitas dan kadarnya dengan proses
yang benar, sebenarnya kadar zat THZ tidak membahayakan. Komposisi kimia yang terkandung dalam ganja adalah Cannibanol,
Cannabidinol atau THZ terdiri dari Delta-9-THZ dan Delta-8-THZ serta 61
unsur kimia lagi yang sejenis dan lebih 400 bahan kimia lainnya yang
beracun. Delta-9-THZ mempunyai efek mempengaruhi otak manusia hingga
menjalar pada pola pikir melalui organ penglihatan dan pendengaran dan
berefek pada suasana hati penggunanya.
*Fatmah Afrianty Gobel | Dosen Kesmas, Alumnus Pascasarjana FKM UI Jakarta.
Sumber: ACW
Pada daun dan biji yang mengandung Delta-9-THZ diyakini para ahli medis
memiliki kandungan yang dapat menjadi obat-obatan untuk menyembuhkan
berbagai macam penyakit seperti penyakit tumor dan kanker. Sementara
akar dan batang bisa dibuat ramuan jamu untuk menyembuhkan penyakit
disentri, antrax, asma, keracunan darah, batuk, diare, bronchitis, luka
bakar, kejang perut, dan lain-lain. Dalam dunia kedokteran, kandungan
kimia dalam tanaman Cannabis bisa membantu penyembuhan penyakit didalam
tubuh seperti antispasmodicanodyne (penenang), tonic (penguat),
intoxicant (racun keras), analgesic dan stomachic. (penghilang rasa
sakit).
Pecandu ganja memiliki risiko terkena schizophrenia, suatu gejala
paranoid yang dapat menyebabkan seseorang sakit jiwa. Hal ini
berdasarkan hasil penelitian para ahli di Universitas Cardiff dan
Universitas Bristol, Inggeris. Ciri-ciri orang yang terkena
schizophrenia adalah mudah panik, mengalami depresi, merasa ketakutan,
kebingungan dan sering berhalusinasi. Bagi perempuan yang sudah
berkeluarga, ganja dapat mengganggu kehamilan dan pertumbuhan janin.
Serat tanaman ganja yang disebut hemp memiliki keunggulan dibanding
serat kapas. Tanaman hemp bisa diproduksi untuk keperluan tekstil,
kertas, lapisan rem dan kopling hingga tali. Konon, tanaman hemp
digunakan Amerika Serikat pada Perang Dunia II untuk tali kapal bagi
para tentara angkatan lautnya. Serat ganja juga memiliki kandungan yang
bisa menjadi bahan minyak bakar. Kandungan minyaknya aman dan berbeda
dengan minyak olahan dari kelapa sawit.
Dalam kajian ilmiah tentang tanaman ganja, mulai dari batang, biji
hingga daun memiliki manfaat bagi dunia kesehatan untuk terapi medis.
Batang ganja dapat digunakan sebagai bahan baku kertas yang memiliki
kualitas lebih bagus dari kayu. Perbandingannya: pada batang ganja
terkandung sellulose 85 persen dan rendah lignin 5 persen, sementara
pada kayu memiliki kandungan sellulose 50 persen dan tinggi lignin 34
persen. Batang tanaman ganja juga digunakan untuk pembuatan tekstil.
Calvin Klein (CK) Garmen menghasilkan pakaian dari tanaman ganja karena
dapat menyerap 95 persen radiasi sinar ultra violet. Selain kertas dan
tekstil, batang ganja juga dapat menjadi minyak bakar kendaraan. Mobil
Henry Ford pertama dijalankan dengan minyak ganja. Tanaman ganja dalam 1
hektar dapat menghasilkan 1.000 galon methanol. Sementara pada biji
ganja dapat dijadikan suplemen nutrisi yang mengandung omega 3 EFA yang
berfungsi mengoreksi secara cepat defesiensi Omega-3 dalam tubuh.
Sedang daun ganja berguna untuk penyuplai industry farmasi sebagai obat
antikanker, anti glaucoma, obesitas dan sebagainya.
Sangat disayangkan bila Aceh yang memiliki potensi besar penghasil ganja
apabila dimusnahkan begitu saja. Pemerintah Aceh dapat menjadikan ganja
sebagai produk andalan untuk keperluan industri dan medis. Karena itu,
tugas pemerintah Aceh melokalisir ladang ganja agar tidak
disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab karena
sesungguhnya ganja dapat “dibenargunakan” untuk keperluan medis dan
industri farmasi.
*Fatmah Afrianty Gobel | Dosen Kesmas, Alumnus Pascasarjana FKM UI Jakarta.
Sumber: ACW